Pikiran Rakyat
Kamis, 13 Desember 2007     

Mengkritisi Gerakan Literasi Lokal

Oleh Tarlen Handayani



"Jika gerakan literasi sekadar ajakan membaca, saya kira semua orang sepakat. 
Namun, ada apa di balik ajakan itu dan bagaimana implementasinya, itu yang 
sulit," hal itu terlontar dari Puthut E. A., penulis dan aktivis komunitas 
Tanda Baca, dalam diskusi "Gerakan Literasi Lokal dan Peluang Membangun 
Jaringan", beberapa waktu lalu di UGM, Yogyakarta. Apa yang disampaikan Puthut 
menjadi gugatan atas persoalan klasik negeri ini bahwa gerakan-gerakan sosial 
seringkali berhenti sebatas jargon belaka. 

PADA tahun 2003, UNESCO mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk 
mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, menciptakan, mengomunikasikan, dan 
kemampuan berhitung melalui materi-materi tertulis dan tercetak termasuk juga 
variasi bahan yang sesuai dengan konteks definisi literasi itu sendiri. Dari 
definisi tersebut, Koiichiro Matsuura, Director-General UNESCO menjelaskan 
bahwa literasi lebih dari sekadar membaca dan menulis. Melainkan juga mencakup 
bagaimana kita berkomunikasi dalam masyarakat. Karena literasi berarti juga 
praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan 
budaya. 

Dalam lima tahun terakhir ini, masyakarat yang diwakili oleh individu, 
kelompok, maupun kolektif, secara aktif mendorong lahirnya gerakan literasi di 
tingkat lokal. Indikatornya dapat dilihat dari bermunculannya toko-toko buku 
"independen" di berbagai kota besar di Indonesia. Peta Komunitas Literer yang 
diterbitkan Tobucil dan Komunitas Dipan Senja mencatat, pada tahun 2005 
terdapat 40 toko buku dan komunitas literer yang tersebar di seluruh Bandung.

Jumlah ini membuat Bandung menjadi inspirasi pendekatan baru dari gerakan 
literasi bagi banyak kota di Indonesia. Pendekatan komunitas yang ditawarkan 
toko-toko buku independen di Bandung ini membawa semangat kemandirian komunitas 
dalam gerakannya. Hal ini dapat disimak dari liputan media nasional maupun 
lokal dalam kurun waktu 2003-2005 yang ramai membicarakan soal toko buku 
independen di Bandung sebagai gerakan literasi. 

Ironisnya, semangat gerakan literasi di Bandung ini harus mengahadapi kenyataan 
pahit. Pada tahun 2007, jumlah toko buku independen menyusut drastis. Dari 40 
yang tercatat, kini tinggal 8 saja yang tersisa; Rumah Buku, Omuniuum, Tobucil 
& Klabs, Komunitas Nalar, Reading Light, Lawang Buku, Ultimus, dan Baca-baca.

Gerakan sosial

Jika apa yang dilakukan oleh komunitas literer di Bandung ini mau disebut 
sebagai sebuah gerakan sosial, setidaknya menurut sosiolog Amerika, Charles 
Tilly, ada tiga elemen yang harus dipenuhi sebagai syaratnya. Pertama, 
melakukan kegiatan kampanye. Kedua, sebagai sebuah gerakan politik. Ketiga, 
mengandung unsur keterwakilan dari anggota masyarakat.

Aktivitas literasi yang muncul, hampir semuanya menyuarakan ajakan untuk 
meningkatkan minat baca dengan berbagai macam strategi dan pendekatan serta 
sasaran yang berbeda. Syarat pertama terpenuhi. Meski belum merata dirasakan 
masyarakat, upaya untuk mengubah kebijakan politik di bidang pendidikan dan 
khususnya regulasi perbukuan, terus-menerus dilakukan. Termasuk upaya untuk 
terus memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat yang 
sesungguhnya dijamin oleh UUD 1945. 

Persoalan keterwakilan pun menjadi pilihan dari strategi gerakan yang dibuat 
oleh masing-masing individu maupun kelompok. Dengan demikian, syarat kedua dan 
ketiga juga dipenuhi oleh komunitas literer di Bandung.

Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa masalah yang selama ini membuat 
gerakan literasi yang muncul di Bandung timbul tenggelam. Pertama, pemaknaan 
literasi menentukan bentuk, tujuan, target gerakan literasi itu sendiri. 

Sejauh ini, pemahaman literasi seringkali dibatasi pada dunia perbukuan sesuai 
dengan pemaknaan harfiahnya. Sehingga gerakan-gerakan literasi identik dengan 
pameran buku dan berhenti pada ajakan meningkatkan minat baca. Sementara 
hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya tidak 
banyak dieksplorasi dalam kerangka pendekatan gerakan literasi. Terus-menerus 
mengidentikkan literasi dengan dunia perbukuan membuat gerakan literasi menjadi 
mandeg karena dunia perbukuan sendiri selama ini bergelut dengan rumitnya 
persoalan regulasi, produksi, distribusi, dan konsumsi. 

Membuka sekat dan memperluas koridor pemahaman literasi akan membantu gerakan 
literasi menemukan bentuk-bentuk dan pendekatan yang baru untuk mencapai 
tujuannya. Gerakan literasi masyarakat dapat berarti mendorong keterlibatan 
aktif masyarakat untuk memperoleh hak pendidikan yang layak. Selain itu, 
tingkat literasi juga berhubungan dengan kesadaran politik atas hak-hak 
politiknya sebagai warga negara. 

Karenanya penting membuka sekat pemahaman literasi, serta menjadikannya sebagai 
bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup keseharian.

Bias kelas

Kedua adalah persoalan bias kelas menengah dalam gerakan literasi. Sebagai 
sebuah gerakan, inisiatif gerakan, seringkali muncul dari kelompok menengah. Di 
Bandung, misalnya, toko buku dan komunitas literasi ini diinisiasi oleh 
kelompok pendidikan tinggi yang menjadikan itu sebagai bagian dari aktualisasi 
diri. Ini terbukti dari latar belakang pendidikan dan ekonomi para pelakunya. 

Akses bagi kelas menengah bukan lagi persoalan yang cukup serius untuk 
diperjuangkan. Karena itu, kelas menengah memiliki banyak kemudahan dan 
kelimpahan akses untuk mencapai tingkat literasi yang lebih tinggi. Gerakan 
literasi seperti juga banyak gerakan sosial lain, seringkali dikritik karena 
tidak memiliki kepekaan pada banyak persoalan masyarakat di tingkat bawah 
dengan akses justru menjadi persoalan utama mereka.

Bias kelas menengah membuat gerakan literasi sulit menentukan skala prioritas 
persoalan dan terjebak pada eksklusivitas gerakan. Standar kepentingan dan 
kebutuhan sangat ditentukan oleh perspektif karena apa yang penting bagi 
pelakunya belum tentu tepat sasaran. Kecuali, gerakan literasi ini memang 
ditujukan untuk pemberdayaan kelas menengah untuk mendorongnya menjadi 
agen-agen perubahan di masyarakat. Untuk tujuan ini pun, gerakan literasi perlu 
memiliki strategi dan capaian yang jelas.

Ketiga, tidak adanya strategi gerakan yang menyeluruh. Terkait dengan persoalan 
kedua, gerakan literasi di tingkat lokal bahkan nasional, seringkali tidak 
memiliki strategi gerakan yang jelas kerena tidak adanya koordinasi antarpihak 
terkait serta tidak adanya tujuan dan strategi yang menjadi kerangka acuan 
gerakan.

Akibatnya, gerakan terfragmentasi dan terjebak dalam kotaknya masing-masing. 
Menjadi eksklusif dan asyik sendiri, karena tidak bersentuhan dengan 
gerakan-gerakan lain yang sesungguhnya saling mendukung. Sehingga pemetaan 
jaringan dan potensi sumber daya tidak dilihat dalam perspektif multidisiplin 
untuk mencapai tujuan gerakan literasi. 

Persoalan keempat menyangkut perspektif kemandirian. Selama ini, inisiatif 
gerakan justru bermunculan di kalangan muda di banyak kota di Indonesia, 
terutama Kota Bandung. Hal ini membawa semangat independensi dan kemandirian 
yang kuat dalam gerakan literasi. 

Namun, semangat ini seringkali diterjemahkan dalam perspektif yang sempit. 
Independensi dan kemandirian seringkali dimaknai sebagai sikap berjibaku sampai 
mati, tanpa berpikir panjang mengenai strategi bertahan hidup yang 
berkelanjutan. Pihak-pihak yang bisa menjadi sponsor seringkali dianggap 
sebagai pihak yang dapat mengkooptasi semangat gerakan. Padahal, pondasi 
penting dari semangat kemandirian dan independensi ini adalah proses membangun 
posisi tawar ketika bernegosiasi dengan banyak pihak yang dapat mendukung 
gerakan literasi.

Terbatas

Kelima adalah terbatasnya sumber daya pendukung. Selama ini, gerakan literasi 
yang mewujud dalam bentuk toko buku komunitas dibangun dengan keterbatasan 
sumber daya. Baik sumber daya kapital, maupun sumber daya manusia. Modal 
utamanya lebih pada semangat untuk melakukan perubahan. 

Dengan modal kapital yang terbatas dan kemampuan manajerial usaha yang sangat 
terbatas, toko buku komunitas atau disebut juga toko buku independen ini, 
menanggung banyak beban operasional. Sebagai sandaran utama pendukung gerakan 
literasi, toko buku komunitas atau independen ini bertanggung jawab pada 
pembiayaan operasional toko, pengembangan bisnis, dan pembiayaan komunitas.

Perhitungan modal seringkali tidak memasukkan unsur pembiayaan komunitas dan 
perhitungan risiko trial and error ketika mencari bentuk manajemen pengelolaan 
yang tepat. Akibatnya, modal yang dimiliki seringkali terkuras habis justru 
bukan untuk pengembangan aspek bisnisnya, namun untuk membiayai komunitas dan 
risiko belajar yang harus ditanggung.

Dari identifikasi sejumlah persoalan di atas, gerakan literasi di tingkat lokal 
tampaknya perlu meninjau kembali implementasinya. Mendefinisikan dan memaknai 
kembali gerakan, membantu memperjelas arah dan capaian gerakan literasi itu 
sendiri. Sehingga gerakan literasi tidak berhenti melulu pada sebuah ajakan 
membaca, namun bergerak menjadi semacam gerakan penyadaran sosial untuk, 
katakanlah, meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. ***

Penulis, sehari-hari bekerja untuk Tobucil & Klabs dan Bandung School of 
Communication Studies (BASCOMMS  

mediacare
http://www.mediacare.biz

Kirim email ke