Runtuhya Kerajaan Daha atas cikal bakal Dinasti Majapahit

(menujum sedari tahun 1144 Saka, atas sepenggal Serat Pararaton Ken Arok, yang 
diguratkan Dokter J. Brandes, Mangkudimedja)

Saya dengar di Daha sebentar lagi diselenggarakan pesta?

Seorang jangga muda bertanya pada resi. Ya, sang Prabu Dandanggendis akan 
menggelar hajatan. Beliau mengundang seluruh pandeta, resi dan pujangga dari 
pelosok negri jajahannya. Daha (Ndoho, kini sebuah wilayah kecil saja di 
kabupaten Kediri).

Di atas lembaran lontar tertuliskan, sang Prabu mengharap kehadirian mereka 
pada upacara tersebut. Wakil-wakil kalangan bawah pun didatangkan. Dalam benak 
para resi, pandita dan jangga membawa misteri berbeda-beda. Ada apa gerangan 
sang Prabu tiba-tiba menyebarkan undangan bertintakan emas (?).

Ada menyangka ini jelas perintah maha penting dan dirahasiakan. Pun pula ada 
mengira sang Prabu sedang sakit. Kepura-puraan mengundang agar tak diketahui 
halayak masyarakat, dan diharap para pandita sudi menyalurkan dayadinaya demi 
kepulihannya. Juga ada beranggapan, jangan-jangan sang Raja sedang bercanda 
saja kali ini, tapi tak.

Undangan telah disebar, tanggal waktu sudah ditetapkan. Tak pelak takdir 
tergariskan. Seakan ketentuan tuhan bisa dikompromi, diajak merembuk yang kan 
terjadi. Seluruh lapisan kalbu terpancang. Seorang pemimpin menggenggam sukma 
rakyatnya, dan setiap jengkal krentek menentukan nasib bangsa.

Para pandeta, resi, pujangga datang menghadap Raja. Ada membawa pengawal 
bertubuh tegap nan kekar, pula bersama para abdi kepercayaan. Dan tak 
ketinggalan juru tulis dihadirkan demi kekalkan berita yang kan terjadi. Ada 
juga kedatangannya menyamar sebagai pengemis atau petani. Sehingga banyak 
rakyat jelata tiada tahu, yang tengah berjalan menuju ibukota Daha ialah 
pandita.

Para undangan sudah berkumpul di bawah kaki kuasa Raja. Dengan sigap Prabu 
Dandanggendis memberi sambutan singkat nan padat. Intinya merasa jaya nan 
dikjaya. Segala kelebihan ilmunya dipamerkan kepada hadirin. Mereka melongo 
menyaksikan linuwihnya. Lantas beliau berkata: aku telah memerintah kerajaan 
ini cukup lama tak tergoyahkan. Adakah di antaramu tak tunduk menyembah 
kepadaku. Rajamu yang baik serta bijak mulia ini. Wahai para pandita, resi, 
pujangga dan para hadirin kepercayaanku. Dalam ajaran kita, apakah sebab kalian 
tak mau menyembah kepadaku. Padahal aku tiada bedanya dengan Bathara Guru. 
Anggapan berlebih kepada diri sendiri, sering kali mencipta bumerang.

Para hadirin semuanya gusar, mau menentang takut kuku-kuku kuasa Raja. Jika 
menyetujui berarti membohongi bathin sendiri. Lantas salah seorang pandita 
berkata: "duh baginda Raja, selamanya belum pernah ada pandita menyembah raja." 
"dulu memang belum pernah ada, sekarang kalian harus menyembah kepadaku." tegar 
ucapan sang Raja.

Para hadirin terdiam. Sang Prabu mencium gelagat hal itu sambil menantang 
bersuara lantang: kalau kalian ragu yang saya maksud, cobalah semua maju 
melawan diriku? Seakan serentak, ruang pendapa itu makin lama kian hening tak 
bergeming, seolah tiada makluk hidup. Seekor semut pun tak berani beranjak dari 
tempatnya, nyamuk-nyamuk jua tiada yang beterbangan, apalagi menggigit, tak. 
Prabu Dandanggendis merupakan raja disegani kala itu, bala tentaranya gagah 
pemberani, para prajuritnya patuh menjunjung  tinggi titah Raja.

Entah bagaimana, Dandanggendis disebut dalam literatur sekarang Dandanggula. 
Ini kecerobohan para sejarawan, merubah nama seenak udelnya. Meski kata gendis 
(:jawa) bermakna gula. Ini kerugian fatal seperti kebangkrutan nama Gunung 
Krakatao berubah menjelma Krakatoa, saat pihak asing menfilemkannya. Lebih 
ambruknya dianggap lumrah sebagai keseleonya bahasa. Jika terkilirnya 
mempengaruhi ruh daripada makna bagaimana? Saya fikir ini perlu diperjelas, 
tidak dianggap sepeleh. Jika citraan budaya kita tak ingin hilang ditelan bumi 
pertiwi, oleh kurangnya perhatian kita mengenai penampilan yang hambar.

Kisah Dandanggendis ini menyerupai Firaun dan lebih, sebab dirinya secara sadar 
menganggap tuhan tanpa kemabukan kuasa berlebihan. Ingin mendapati 
kepala-kepala orang bersujud di hadapannya. Ingatan saya digiring oleh film 
berlabel 300 (pasukan Sparta) yang memperhanguskan tentara Persia, Raja Xerxes, 
berlagak tuhan atau nasib manusia berada dalam genggaman jemarinya. Kesombongan 
pastilah terjungkal dengan keangkuhan lain, dan berhenti jikalau tuntas laknat 
bathin tak menghamba.

Suara pendapa kedaton Daha hening suwong. Sang Raja bolak-balik mengelilingi 
para hadirin yang dipercayakan dapat mendaulat dirinya menjelma Bathara Guru. 
Langkah-langkah berwibawanya menyiutkan nyali pendengaran. Penulis jadi 
teringat dehemnya seorang spekulan di negeri adidaya Amerika, yang sanggup 
meruntuhkan nilai-nilai saham. Dan dehem sang Prabu Dandanggendis tak kalah 
kuat merontokkan mental-mental tiada pernah diasah kata berontak.

Tiada bisik-bisik kesepakatan di antara pandita, resi dan jangga. Serentak 
sukma mereka disentakkan kuasa dinaya tenaga sang Prabu dengan sangat kuat. 
Jebollah meski sebagian besar hanya fisiknya mengangguk takluk, bertekuk nyali. 
Setelah ruangan berhasil dikuasa sang Prabu. Ia tersenyum lebar, tawanya 
menggema, meruntuhkan kembali mental-mental tak pernah diasah keberanian. 
Sangat puas hati Raja, lantas meminta para hadirin benar-benar bersujud 
dihadapan kakinya. Lantai marmer pendapa bergetaran, atas jiwa Raja tak 
tertandingi sebab niatannya manunggal tak tergoyahkan.

Setelah dirasa cukup, para hadirin diperkenankan pulang ke negri masing-masing. 
Mengabarkan sang Raja sudah menjelma tuhan alam semesta. Namun tak demikian 
bathin semua undangan, sepulang dari gardu istana. Langkah demi langkah hati 
mereka berhianat, jujur kepada kalbunya bahwa seorang pandita, resi dan jangga 
taklah bersujud kepada seorang Raja.

Sejak lama para pandita, resi dan pujangga Daha telah mendengar kabar. Bahwa di 
daerah Tumapel yang berubah nama Singosari (daerah sebelum memasuki kota 
Malang, sekarang menjadi kota kecil saja). Ada seorang raja yang berwibawa dan 
disegani, bergelar Sri Rajasa. Alam pertanian palawija serta rerumputan padi, 
juga perdagangan di wilayah tersebut makmur, seolah Dewata memberi restu 
sentausa bagi tahtanya selamanya. 

Tak jauh dari perbatasan kota Daha, para undangan sang Prabu mengurungkan 
langkah ke negri masing-masing. Bathin mereka menyerahkan kepercayaan kepada 
penguasa Singorasi, sebagai pulung selanjutnya. Sebagian besar mereka menuju 
Singosari guna menghadap Rajasa. Yang awal kelahirannya bernama Ken Angrok (Ken 
Arok). Setelah para pandita, resi dan pujangga kerajaan Daha bersepakat ke 
Singorasi, berangkatlah mereka.

Sambil menunggu kedatangan mereka. Saya ceritakan bagaimana kejiwaan Angrok. 
Ken Angrok sebelum menjadi raja ialah sosok begundal. Perampok tersohor, 
penjudi ulung, penyabung ayam kawakan, juga pemetik bunga pinggir jalan. Suatu 
kali ia memiliki seekor ayam jantan, si jago itu amat kesohor, banyak ayam jago 
lawan-lawannya lari pecirit tunggang langgang, disamping banyak pula berpulang 
cacat oleh ulahnya. Ayam pemberani Angrok itu sempat melegenda, sebab mati di 
tengah gelanggang. Ia bertarung dengan keseluruhan jiwa-raga untuk sang 
tuannya, sampai darah penghabisan. Tak seperti ayam-ayam jago lain yang lari 
ketakutan, keok sebelum temukan ujung sekarat. 

Hidupnya Angrok waktu itu tak ubahnya para brandal, boros dan ugal-ugalan. 
Ludes uang hasil judi menjadikan ia sosok perampas, merampok para sodagar yang 
melewati hutan, tempat ia menanti antrian nasib naas yang ditunggunya. Di 
tempat itu, ia memiliki cerita menarik. Pernah ada seorang tua melewati hutan 
itu dan menyapa kepada Angrok: Nak, katanya melewati hutan ini membahayakan. 
Bisakah anaknda membatu saya dalam perjalanan pulang? Angrok tersenyum, 
diantarnya orang itu sampai kediamannya. Jalan hidup manusia memang sulit 
ditebak, selalu berkelok memasuki ruang-ruang jiwa. Tak seorang pun memahami 
pribadi yang lain secara peka nan juntrung.

Insan yang berilmu pengalaman, ketika dinaikkan drajatnya menjadi penguasa. 
Jawabannya ialah makin serakah, atau loman kepada rakyatnya. Dan Angrok memilih 
jalan kedua. Seakan telah kenyang perbuatan angkara murka, sudah puas mengumbar 
hawa nafsunya. Atau telah insaf, sebab ulahnya dikala merebut kekuasaan secara 
paksa. Atas hasratnya merampas cerlang cahaya nareswari dari selangkangan Ken 
Dedes. Sewaktu Tunggul Ametung terkena sirep (ilmu sihir menidurkan musuh), dan 
tertikam keris Gandring atas Angrok. Ia kubur dalam-dalam watak beringas. Di 
hadapkan wajah santun kasih sayangnya kepada rakyat, serupa mukanya memandang 
kekasih-kasihnya, Ken Dedes dan Ken Umang.

Saat para jangga, resi dan pandita sampai ke kota Singosari. Sungkemlah 
rombongan tersebut memberi dukungan dengan alasan kemakmuran negara. Juga 
menangkal suara-suara hitam kekuasaan pusat yang ada di Daha. Lama-lama kabar 
itu tercium sang Prabu. Dengan lantang Prabu Dandanggendis berkoar: Tiada yang 
bisa melawan aku, kecuali Batara Guru turun sendiri dari suralaya (kahyangan).

Gema suara keangkuhan itu ditangkap telik sandi Singosari, dan dihaturkan 
kepada Sri Rajasa Sang Amurwabumi. Dengan bernaluri keyakinan, Ken Angrok 
meminta restu kepada para pandita, resi dan jangga yang setia mendukungnya. 
Untuk mengangkatnya bergelar Sang Hyang Caturbuja atawa Batara Guru. Sebagai 
usaha memantabkan mental lewat mitos, bahwa manusia sanggup menjelma apa saja. 
Demi meloloskan takdirkan melewati usaha sungguh membathin, dengan sekuat 
dinayanya.

Alam telah siap menunggu goncangan, bulan matahari memberi kesaksian yang kan 
dilewatinya penuh awan-gemawan mensejarah. Burung-burung berkabar ke 
negeri-negeri jauh. Gerak bathin anak manusia, dan alam tertunduk menerima 
takdirnya.

Dandanggendis mulai gemetar ketika mendengar para resi, pandita juga 
pujangganya telah merestui sang Rajasa dengan gelar Batara Guru. Hanya umpat 
pedas nan tajam yang keluar dari mulut sang Prabu. Hal itu tak disia-siakan 
Angrok. Ketika keangkuhan mental peperangan terpancing, magnit saling tarik 
kekuatan, atau terlempar jauh dari lawannya. Niat ibarat magnit, sanggup 
menarik jarum di dekatnya. Dan bisa menggetarkan lempeng besi walau mata tak 
melihatnya.

Angrok bersama suara alam langit menggemuruh kekuatan bumi merapatkan barisan. 
Para tentaranya yang digembleng langsung olehnya, sudah terlatih menghimpun 
pertahanan juga menyerang. Seperti disusupi arwah leluhur, para tentara itu 
menerjang berhamburan ke kota Daha. Ada menyusuri pinggiran sungai, menanjaki 
bukit dan tebing, menyusup laksana angin pada rerumputan.

Pasukan Singosari dicegat bala tentara Daha di sebelah utara Ganter. Bertarung 
kikis prajurit kedua belah pihak habis-habisan, saling mengeluarkan 
kadikjayaan. Mungkin kehendak sejarah tuhan, panglima perang Daha tewas. 
Berhamburan anak-anak buahnya bagai bebatuan kali diterjang banjir bandang. 
Sebagian besar gelimpangan bak pohon pisang yang tanahnya digerus lupan air 
bengawan. Terhanyut mengikuti arus kekalahan sampai samudra penaklukan.

Dandanggendis mengetahui pihaknya kalah total, ia berlari alang kepalang. 
Musnalah kerajaan Daha oleh amukan deras serangan bertubi. Angrok sendiri 
mengejar sang Prabu sampai kahyangan. Bertekuk hasrat tak turun ke bumi 
kembali, melihat bala pasukannya kocar-kacir. Dan turunlah Sri Rajasa 
menderapkan turangganya ke kota Singosari. Alam sadar mendapati kekecewaan, 
lantas menggapai harapan besar kepada Rajasa. Laksana membalikkan peta yang 
membosankan, dari penyesalan menyusul kepada keinginan-keinginan mulia.

Nurel Javissyarqi, pengelana yang pernah mengunjungi peninggalan leluhur, serta 
bertemu arkeolog di daerah Singosari, Malang dan Ndoho (Daha) Kediri. HP: 081 
332 1133 69. 

[EMAIL PROTECTED] 
www.sastraperlawanan.blogspot.com

Kirim email ke