mahayana-mahadewa.com
MahaYana MahaDewa..

GERAK PERJALANAN ESTETIK CERPEN INDONESIA

   Posted by: MahaDewa   in Esai


Maman S. Mahayana

Cerita pendek Indonesia dalam satu dasawarsa ini, agaknya makin mengukuhkan 
jati dirinya. Ia tak hanya muncul seperti gelombang yang secara kuantitatif 
melampaui penerbitan novel dan drama, tetapi juga seperti menempatkan dalam 
mainstream-nya sendiri. Maka, tidak dapat lain, pembicaraan mengenai cerpen 
Indonesia, mesti dilekatkan pada dirinya an sich dan bukan sebagai tempelan 
atau sekadar pelengkap. Kini cerpen Indonesia menunjukkan jalan hidupnya yang 
lebih mandiri. Kajian kritis terhadapnya dan pembicaraan cerpen dalam institusi 
(pendidikan) sastra, oleh karena itu, mesti berada dalam kotak tersendiri.

***

Dalam konteks membangun kritik, masalah estetika merupakan salah satu wilayah 
garapan yang terpusat pada teks. Wilayah lainnya menyangkut pembaca, penerbit, 
dan pengarang. Dalam wilayah yang disebut terakhir inilah, kita berhadapan 
dengan berbagai hal yang menyangkut diri pengarang, termasuk di dalamnya 
persoalan tokoh dan ketokohan seseorang. Jadi, ketika kita berbicara mengenai 
seorang Sutardji Calzoum Bachri atau siapa pun, kita akan menelusuri 
kegelisahan kulturalnya, pencarian dan pencapaian estetik dalam ragam sastra 
yang dimasukinya, tempatnya yang pas dalam sejarah sastra, dan berbagai hal 
yang melingkarinya. Gagasan dari manakah yang menyatakan pembicaraan 
kepengarangan (ketokohan) seseorang dalam konteks membangun kritik (criticism) 
dianggap tak relevan?

Berdasarkan pemahaman itu, perbincangan mengenai kecerpenan siapa pun yang 
muncul belakangan ini justru menjadi sangat signifikan. Ia tak sekadar relevan 
dengan kondisi objektif lahirnya sejumlah nama dengan kegelisahan dan style 
yang masing-masing terasa begitu khas, tetapi juga lantaran sampai sejauh ini, 
cerpen Indonesia mutakhir terkesan tak punya hubungan dengan gerakan cerpen 
sebelumnya. Ia seperti tercerabut dari masa lalunya. Bagaimana sesungguhnya 
peta perjalanan cerpen kita? Belum lagi yang menyangkut gerakan estetiknya yang 
juga belum banyak diangkat sebagai sebuah wacana perdebatan. Jadi, diskusi soal 
kecerpenan itu, penting untuk memetakan perjalanan cerpen Indonesia sebagai 
bagian tak terpisahkan dari kesusastraan dan wilayah kebudayaan Indonesia 
secara keseluruhan.

Bagaimanapun juga, pembicaraan tokoh dan ketokohan, di dalamnya termasuk 
karya-karya (berikut soal estetik) yang telah dihasilkannya. Bagaimana mungkin 
kita membicarakan kepengarangan seorang yang tak berkarya? Jika ada 
perbincangan kritis atas ketokohan seseorang, konteksnya mengacu pada karya 
yang dihasilkannya, dan bukan pada peranan sosial yang tak berhubungan dengan 
kepengarangannya. Sebaliknya, pembicaraan ini menjadi tak berdasar jika secara 
gegabah, kita memejamkan mata terhadap dinamika cerpen Indonesia mutakhir dan 
menafikan semangat estetiknya. Sekadar berdiri mematung lantaran terpukau oleh 
estetika masa lalu, tentu saja tidak sehat bagi sebuah perkembangan. Dengan 
begitu, kisah sukses capaian estetik masa lalu, hendaknya tidak dalam kerangka 
bernostalgia, tetapi menempatkannya dalam konteks perjalanan sejarah.

Begitulah, untuk menatap perspektif dan berbagai kemungkinan capaian estetik 
cerpen Indonesia kontemporer ini, tidak dapat lain, kita mesti mencari alat 
ukur dan bahan pembandingnya. Dalam hubungan itu, maka perbincangan cerpen 
Indonesia yang muncul dalam satu dasawarsa terakhir ini tidak berarti 
serta-merta mengubur capaian estetik yang telah ditorehkan sebelumnya. Dengan 
membenamkan itu –apalagi dengan mematikannya seperti yang dilansir Hudan 
Hidayat—kita akan kehilangan alat komparasi. Di samping itu, mengingat adanya 
beberapa kesesatan dalam menempatkan kelahiran dan perjalanan cerpen Indonesia, 
maka perbincangan ini menjadi sangat relevan, penting, dan mendesak.

***

“Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre sastra 
yang jauh lebih muda usianya dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak 
terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai oleh cerita-cerita M. 
Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal tahun 1910-an, yang memperkenalkan bentuk 
tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu. Sejak saat itulah, di 
Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan cerita pendek (cerpen).” Demikian 
salah satu bagian dari keterangan yang terdapat dalam buku Horison Sastra 
Indonesia 2: Kitab Cerita Pendek (2002: xiii—xiv).

Pandangan ini sejalan dengan gagasan yang dilontarkan Ajip Rosidi (Tjerita 
Pendek Indonesia, 1959) yang juga menempatkan Muhammad Kasim dan Soeman Hs 
sebagai perintis cerpen Indonesia. Dengan bersumberkan majalah Pandji Poestaka 
(1923) yang banyak memuat cerita-cerita lucu M. Kasim –belakangan diterbitkan 
sebagai kumpulan cerita lucu, Teman Duduk, 1936—Ajip menelusuri jejaknya dari 
tradisi sastra lisan penglipur lara dengan tokoh-tokoh si Kabayan, Lebai 
Malang, dan Jaka Dolog.

Itulah kesesatan serius dalam menempatkan kelahiran cerpen Indonesia. Bagaimana 
mungkin karya-karya M. Kasim dalam Pandji Poestaka mendahului cerita-cerita 
sejenis yang dimuat majalah Sri Poestaka (1918), dan majalah atau suratkabar 
yang terbit jauh sebelum itu, seperti Biang-lala (Batavia, 1868; dwimingguan), 
Sahabat Baik (Betawi, 1891; tidak teratur), Pewarta Prijaji (Semarang, 1900; 
bulanan), Soenda Berita (Cianjur, 1903; mingguan), Bintang Hindia (Bandung, 
1903; dwimingguan), Medan Priyayi (Batavia, 1907; harian), Poetri Hindia 
(Betawi, 1908; dwimingguan), Bok-Tok (Surabaya, 1913; mingguan). Majalah 
Sahabat Baik, bahkan secara jelas mencantumkan subjudulnya seperti ini: 
“Hikayat, tjerita, dongeng, sjair, pantoen, dan lain-lain daripada itu.”

Meskipun para penulis cerita ringan dan lucu itu, sebagiannya masih menggunakan 
nama samaran, setidak-tidaknya cerpen Kanaiki “Trang Boelan Terkenang”, Delima 
“Djiwa Manis Haloes Tipoenja”, dan Rineff (Rustam Effendi) “Djoerang jang tiada 
dapat di djembatani” masih dapat kita lacak nama aslinya melalui karya lain 
atau tanggapan terhadap karya-karya itu. Pasalnya, dalam karya berikutnya atau 
dari tanggapan pembaca, pengarang sering kali mencantumkan nama aslinya jika ia 
menyinggung karya sebelumnya atau jika ia menjawab tanggapan pembaca itu.

Kesesatan lain terjadi lantaran hampir semua pengamat sastra Indonesia 
menafikan keberadaan suratkabar dan majalah. Padahal media massa ini justru 
menjadi bagian penting dalam sistem reproduksi karya sastra (cerpen, puisi, dan 
cerita bersambung). Sejak awalnya (akhir abad ke-19) sampai zaman Jepang, 
hampir tidak ada cerpen yang dipublikasikan langsung dalam bentuk buku. Ia 
muncul lewat penerbitan media massa. Dalam hal ini, cerpen tidak dapat 
dipisahkan dari majalah dan suratkabar. Dari sanalah, cerpen Indonesia lahir 
dan berkembang, dan memperoleh bentuk yang lebih jelas pada tahun 1930-an.

Pada zaman Jepang, cerpen menjadi makin populer ketika pemerintah pendudukan 
Jepang banyak menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Dari sejumlah cerpenis 
waktu itu, A.S. Hadisiswoyo, Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar pernah memenangi 
lomba penulisan cerpen. Beberapa nama lain yang karyanya banyak muncul di media 
massa pada masa itu, antara lain, Sanusi Pane, Armijn Pane, dan D. 
Djokokoesoemo.

***

Pada tahun 1950-an, cerpen Indonesia makin mapan keberadaannya. Derasnya 
pengaruh asing, munculnya semangat kedaerahan, pudarnya dominasi pengarang 
Sumatra, dan terbitnya berbagai media massa –termasuk majalah Prosa dan Tjerita 
Pendek yang dikelola Ajip Rosidi– memberi kesempatan munculnya cerpenis dari 
pelosok tanah air. Bersamaan dengan itu, adanya ruang kebebasan untuk 
berekspresi, mendorong keberanian melakukan berbagai eksperimen.

Secara struktural, inovasi yang dilakukan lebih banyak menyangkut tema cerita 
dan tampak masih ada keterikatan pada konvensi. Dengan begitu, dilihat dari 
sudut gagasan yang ditawarkan, gerakan estetiknya lebih menekankan pada aspek 
tema. Riyono Pratikto (Api dan Si Rangka), misalnya menampilkan kisah-kisah 
dunia gaib yang diangkat dari cerita-cerita rakyat; Rendra (“Mungkin Parmo 
Kemasukan Setan”) menggugat disiplin Katolik, Ramadhan KH (“Antara 
Kepercayaan”) mengecam kepicikan penganut tradisional Islam dan Kristen; 
Pramoedya Ananta Toer (Subuh) mengangkat kepedihan lahir-batin akibat perang, 
dan Navis (“Robohnya Surau Kami”) meledek kepercayaan taklid. Sementara itu, 
Iwan Simatupang (“Lebih Hitam dari Hitam”), Sitor Situmorang (“Salju di Paris”) 
dan P. Sengojo (Sengkuni) mengisahkan kegelisahan dan kekacauan pikiran yang 
bertumpang-tindih dengan tindakan.

Jika sebelumnya, agama dan kepercayaan ditempatkan begitu suci dan terhormat, 
dalam sejumlah cerpen tahun 1950-an itu, agama tiba-tiba menjadi alat 
permainan. Eksplorasi pada kekacauan pikiran dan kegelisahan psikologis 
digunakan sebagai sarana menyampaikan eksperimen. Akibatnya, pikiran dan 
perasaan si tokoh tampak liar, tak terduga, dan aneh.

Memasuki masa Orde Baru dan terus menggelinding sampai tahun 1970-an, kondisi 
itu seperti berulang kembali, bahkan jauh lebih luas pengaruhnya. Putu Wijaya, 
Danarto, Kuntowijoyo –sekadar menyebut tiga nama—menjadi sangat menonjol dalam 
deretan nama cerpenis waktu itu. Teror Putu Wijaya, nafas sufistik 
Danarto–Kuntowijoyo seolah-olah begitu memukau dalam kemasan dunia 
jungkir-balik. Realitas cerpen seperti hendak dikembalikan lagi pada 
hakikatnya: cerita. Maka, logika formal tidak berlaku di sana. Dibanding 
generasi sebelumnya, cerpenis tahun 1970-an telah berhasil membangun 
estetikanya justru sejak awal kemunculannya. Dengan estetikanya itu, mereka 
tetap bertahan sampai kini. Jadi selain nafasnya panjang, juga estetika yang 
ditawarkannya mengakar kokoh hingga dapat bertahan lebih dari tiga dasawarsa. 
Kita akan tetap menemukan style dan greget (estetika) yang tak jauh berbeda 
jika kita membandingkan cerpen Putu Wijaya (“Ini Sebuah Surat” 1970
 atau Bom, 1978) atau Danarto (“Godlob” atau “Armageddon”) dengan cerpen 
terbarunya (Putu Wijaya, Tidak, 1999; Danarto, Setangkai Melati di Sayap 
Jibril, 2001).

Kuatnya bangunan estetik cerpenis tahun 1970-an itu, memungkinkan mereka dapat 
bernafas panjang dan tetap bertahan di tengah bermunculannya generasi 
berikutnya. Kekuatan bangunan estetik ini –harus diakui— justru tak begitu 
tampak pada cerpenis yang oleh Korrie Layun Rampan dimasukkan ke dalam kotak 
Angkatan 2000. Sebelum itu, Seno Gumira Ajidarma –lewat Penembak Misterius 
(1993) dan Saksi Mata (1994)—memang berhasil menawarkan style jurnalistik dalam 
cerpen-cerpennya. Pengaruhnya juga tampak pada sejumlah cerpenis berikutnya. 
Tetapi beberapa cerpen terakhir Seno mulai terasa tidak sekuat karya awalnya. 
Apakah estetika yang dibangun Seno dapat bertahan sampai entah kapan?

Pertanyaan serupa sesungguhnya dapat kita ajukan kepada cerpenis mutakhir kita. 
Peluang ke arah sana tentu saja masih terbuka. Kurnia JR, lewat Kereta 
Berangkat Senja—awalnya sungguh menjanjikan. Tetapi kini keberadaannya entah di 
mana. Yanusa Nugroho niscaya akan dapat bertahan jika ia konsisten dengan dunia 
Jawa-nya. Lalu, bagaimana pula dengan Joni Ariadinata, Taufik Ikram Jamil, Oka 
Rusmini, Abidah el Khalieqy, Agus Noor, Hudan Hidayat, Gus tf Sakai, Herlino 
Soleman dan deretan nama lain yang bertaburan?

Sebagai cerpenis, agaknya mereka akan terus bertahan. Tetapi, berdasarkan karya 
yang telah mereka hasilkan, sangat mungkin banyak pula yang berguguran. Jamil, 
Rusmini, Sakai, jika konsisten mengeksplorasi kultur etnik, peluang bertahan 
tetap terbuka. Bahkan, sangat mungkin akan menghasilkan monumen jika 
konsistensi itu dipelihara terus. Masalah konsistensi ini juga tentu saja 
berlaku bagi Khalieqy –lewat pendalaman kisah-kisah sufi—jika ia ingin tetap 
bertahan. Sementara Noor dan terutama, Hidayat kebertahanannya bergantung pada 
kemampuannya menjaga kegelisahan psikis. Dan itu menuntut keduanya membongkar 
buku-buku Sigmund Freud, Carl G. Jung, dan teori psikologi modern. Tanpa itu, 
keduanya –barangkali—sekadar bertahan untuk tidak masuk degradasi.

Bahaya besar justru dihadapi Joni Ariadinata. Penemuan estetik yang 
ditawarkannya dalam Kali Mati (1999), ternyata kurang dapat dipelihara dengan 
baik dalam beberapa cerpennya yang kemudian (Kastil Angin Menderu, 2000; Air 
Kaldera, 2000). Padahal, di antara nama-nama tadi, Joni telah sangat meyakinkan 
membuat inovasi; menoreh bangunan estetik –yang mengingatkan kita pada salah 
satu klub sepakbola Italia, Chievo Verona. Jika tak berhati-hati, meski tak 
mengalami degradasi, paling banter ia bertahan di papan tengah.

***

Mesti diakui, sejumlah besar cerpenis Indonesia mutakhir, belum teruji oleh 
waktu. Mencermati karya-karya yang dihasilkannya, memang tampak seperti sebuah 
gerakan yang mengusung sebuah mainstream-nya sendiri. Banyak hal yang sungguh 
menjanjikan. Tetapi, janji tetap janji. Ia harus dibuktikan bukan janji kosong, 
melainkan sebuah monumen! Nah! Hanya waktu jualah yang kelak menentukan.

(Maman S. Mahayana, Pengajar FSUI, Depok).

Tags: Apresiasi Cerpen, Maman S Mahayana



      
___________________________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke