http://www.panyingkul.com/view.php?id=525&jenis=kabarkita


  Rabu, 08-08-2007  Kisah Seorang Bissu yang Tertusuk Keris Sendiri
*:: Asfriyanto ::*


*Para bissu dalam rombongan pementasan I La Galigo.
Foto: Istimewa.
*

Ini adalah cerita tentang pemimpin komunitas bissu di Sulawesi Selatan.
Puang Matoa Bissu Saidi namanya. Ia dituakan sebagai Puang Matoa oleh
komunitas bissu di Pangkep, Soppeng, Wajo, dan Bone. Citizen reporter *
Asfriyanto*, seorang arkeolog muda Sulsel, menyaksikan salah satu upacara *
mabbissu* yang dipimpin Puang Saidi ketika melakukan penelitian tentang
komunitas bissu. Dalam upacara itu, karena salah satu syarat tidak
terpenuhi, terjadi insiden yang menyebabkan Puang Saidi terluka oleh
kerisnya sendiri.(p*!*)

  Malam itu, di tengah upacara *mabbissu*, tiba-tiba wajah Puang Matoa Bissu
Saidi tercekat dan berpeluh. Ia meringis, sembari tangan kirinya mencoba
menjangkau tiang tengah rumah. Tangannya yang satu lagi masih memegang hulu
keris yang ujungnya menembus perut tetua bissu ini. Bissu yang lain tampak
terkejut. Puang Matoa dengan keris masih menghunjam tubuhnya, kemudian
berbalik, masuk ke dalam kamar *arajang* (altar).

Setelah sekian lama, ia keluar lagi. Keris itu masih tetap tertancap. Ketika
Puang Matoa mencabutnya dengan sedikit memaksa, menyemburatlah cairan merah
membasahi baju bissu keemasannya. Darah segar sepanjang kira-kira 7 cm itu
menggumpal di ujung keris, dan segera dijilati oleh Puang Matoa. "Kejadian
ini sering dialami oleh Puang Matoa, kalau syarat dalam melakukan upacara *
Mabbissu* tidak lengkap," ujar Amrullah, aktivitis LSM yang selama ini
peduli masalah Bissu.

Dua jam sebelum peristiwa tersebut, di atas rumahnya yang tidak jauh dari
Pasar Sentral Pangkep, Puang Saidi dengan pakaian putih-putih sibuk mengatur
segala peralatan upacara dan sesajian yang akan dilakukakanya malam itu.
Handphone bermerek yang dimilikinya selalu berbunyi. Dari pembicaraan yang
terdengar, tampaknya ia sedikit marah. Ia bahkan mengancam seorang bissu di
ujung telepon, agar segera datang. Bissu yang diteleponnya itu diperlukan
kedatangannya untuk melengkapi syarat minimal jumlah bissu, agar upacara
yang akan diadakan sebentar lagi bisa dimulai.

Sementara itu, Muharram, bissu termuda yang baru berusia 17 tahun tampak
kecut di sudut ruangan. Ia lupa memakai tutup kepala dan masih berpakaian
perempuan. Jemari tangannya bergetar saat menyusun tumpukan ketan tiga
warna. Beberapa kali Puang Saidi memukul tangan Muharram ketika ia salah
menyusun tumpukan ketan tersebut. Masse, bissu tertua yang ada di dalam
ruangan tersebut, juga tampak tegang. Sesekali ia melongok ke luar jendela,
berharap satu orang bissu yang sejak tadi ditunggu segera datang untuk
meredakan kemarahan Puang Saidi. Namun yang ditunggu tidak juga muncul. Maka
jadilah malam itu upacara *mabbisu* yang telah dijanjikannya tetap
dilanjutkan, meski jauh dari syarat minimal.

Tidak seperti biasa, mereka tampak tegang. Kami para tamu yang tidak tahu
menahu tentang soal itu malah duduk dengan tenang dan nyaman.

Lima belas menit pertama, Puang Saidi dan tiga orang bissu dengan pakaian
berwarna keemasan dengan bilah-bilah keris panjang menari memutari sesajian
di tengah ruangan. Alunan mantra mitis yang menggunakan bahasa To Rilangi –
sejenis bahasa kuno Bugis yang hanya dimengerti oleh komunitas Bissu dalam
memimpin upacara sakral – mengalun ditingkahi gendang. Ketika alunan gendang
semakin keras dan cepat, gerakan para bissu tersebut semakin melambat.
Terlihat jelas mereka mulai *trance*.

Muharram, sang bissu muda, kemudian mulai membuka gerakan *maggiri* yang
pertama. Keris panjang yang terselip di pinggangnya dilepaskannya, dengan
gerakan pelan mengikuti irama gendang. Keris tersebut ditancapkannya ke
telapak tangannya. Walau ditekan berkali-kali dengan keras, keris itu tidak
juga bisa merobek telapak tangannya. Bahkan ketika ia dibaringkan di tengah
ruangan dan Puang Saidi kemudian menancapkan keris ke tenggorakannya, tak
sedikit pun kulit leher Muharram tergores. Kuatnya tekanan keris Puang Saidi
ke leher Muharram ditunjukkan dengan bunyi berderak pada tiang sandaran.
Seketika saya bergidik. Para Bissu yang dalam kesehariannya feminim itu,
tiba-tiba malam itu tampak gagah, jauh dari kesan lemah-lembut yang lekat
dengan kehidupan kesehariannya.


*Dalam mabbissu, yang muda menjaga dupa.
Foto: Istimewa.
*


Di tengah ruangan, upacara *mabbissu* semakin liar. Para bissu muda kemudian
menyingkir ke sudut ruangan, menjaga dupa agar terus menyala. Tepat ketika
harum cendana semakin menguat, Puang Saidi melangkah ke depan. "Adengan ini
hanya untuk bissu yang sudah senior. Yang muda belum diizinkan untuk
melakukannya," ujar Amrullah menjelaskan.

Bersama dengan Puang Saidi, Masse ikut berputar-putar. Ia tampak gagah. Ia
meletakkan keris ke lantai rumah, dengan ujung keris yang menghunus ke atas.
Lalu Masse menjatuhkan dirinya ke ujung keris itu. Alas kayu yang dijadikan
tumpuan kerisnya berderak patah. Gerakan ini ia lakukan berulang-ulang.
Bahkan beberapa kali ia menjatuhkan dirinya dengan sangat keras.

Keramaian bertambah ketika dengan keris terhunus, Puang Saidi menggorok
lehernya sendiri. Ia lalu menyandarkan ujung keris tersebut ke tiang rumah,
dan menekan-nekankan keris tersebut ke lehernya. Bunyi gendang semakin kuat.
Puang Matoa Saidi melenguh, ia kemudian menancapkan keris panjangnya ke
bagian perut. Ia menghentakkannya ke lantai, dan seketika bambu yang menjadi
alas kersinya patah. Ia semakin liar. Namun, ketika ia bangkit dan
menghujamkan kembali keris ke perutnya, matanya mendelik. Masse dan Muharram
di sudut ruangan memucat wajahnya. Puang Saidi sempoyongan, dengan langkah
tertatih ia berbalik ke dalam ruangan. Bunyi gendang terhenti. Kami
tersenyum puas dan bertepuk tangan. Namun, sekembali dari ruangan, Puang
Saidi ternyata masih memegang hulu keris yang masih menghujam ke perutnya,
berkali-kali jempol tangan yang telah diludahinya diusapkan ke bagian perut.
Kami tercekat, perut Puang Saidi berdarah. Terlihat darah segar!

***

Satu minggu sebelum perisitiwa tersebut, kami telah melakukan survey
kecil-kecilan tentang bissu dan tradisinya di Kabupaten Pangkep. Kami
memilih komunitas bissu di daerah itu sebab keberadaannya sebagai salah satu
kelompok bissu di Sulawesi Selatan cukup kuat. Kelompok bissu di Pangkep
merupakan kelompok Bissu Dewata, yang secara hierarkis merupakan kelompok
bissu dengan tugas religius yang penting. Kelompok bissu yang lain tersebar
di Kabupaten Soppeng, Wajo dan Bone. Komunitas bissu di Soppeng dikenal
dengan nama Bissu Pattudang, di Wajo disebut Bissu Paddupa, sedangkan di
Bone disebut dengan Bissu Mappakasengeng. Nah pimpinan dari semua kelompok
bissu tersebut bergelar Puang Matoa, yang saat ini dipimpin oleh Puang Matoa
Saidi dari kelompok Bissu Dewata, Segeri, Pangkep.

Catatan arkeologis menguatkan bahwa komunitas bissu memiliki fungsi yang
cukup penting dalam struktur kerajaan di Sulawesi Selatan pada masa lalu.
Sisa-sisa makam bissu dan sumur bissu di berbabagi daerah, semisal di
Bulukumba, Sindenreng, Bantaeng dan Luwu, masih bisa ditemukan walaupun
komunitas di daerah itu sudah tidak lagi mengenal bissu dan tradisinya. Hal
itu terkait dengan penghancuran bissu beserta simbol-simbolnya oleh gerakan
DI/TII.

Walaupun diberangus, bissu-bissu tua dalam penyamaran dan pelariannya tetap
mempraktekkan "kebissuannya" secara diam-diam dan tetap melakukan proses
pengkaderan. Puang Saidi misalnya, merasakan pengalaman terusir dari rumah
dan lari berpindah-pindah dari Pangkep, Soppeng dan Bone. Ia menjadi bissu
ketika berumur 25 tahun, tepatnya tahun 1974. Ia dididik oleh Sanro Saide
(alm), seorang Puang Matoa Bissu yang tersisa. Dalam kehidupannya, ia
mangalami operasi pemberantasan "penyakit masyarakat" oleh salah satu
instansi dengan sandi "operasi tobat". Namun ia berhasil lolos dari
peristiwa tersebut.

Bissu mulai terlupakan oleh publiknya sendiri justru di tanah kelahirannya.
Namun lewat catatan para peneliti asing, mulai zaman Mathes pada abad 19,
sampai pada masa Pelras, Andaya, Gilbert Hamonic serta banyak peneliti
lainnya, bissu mulai dikenal kembali. Ketertarikan mereka disebabkan karena
bissu merupakan jejak dari agama-agama orang Bugis kuno yang bersumber dari
ajaran La Galigo. Karena itu, sampai saat ini, bissu seperti Puang Saidi
paling tidak mengenal tiga varian bahasa Bugis kuno, yakni bahasa To Rilangi
(bahasa Bugis sakral untuk dewa), bahasa La Galigo (bahasa Bugis kuno) dan
bahasa Bugis yang awam seperti saat ini.

Uniknya, walaupun dari banyak sumber peneliti menyebut mereka sebagai
kelanjutan agama kuno orang Bugis jauh sebelum agama Islam dikenal, namun
Puang Saidi akan sangat marah jika disebutkan bahwa upacara
*mabbisu*merupakan bagian dari musyrik. Bahkan ketika ia mencoba
menjelaskan makna
cermin, ia mempersamakannya dengan istilah Nur Muhammad yang kerap digunakan
oleh para sufi Islam. "Itu merupakan sinkritisme antara ajaran leluhur dan
agama Islam di Sulawesi Selatan. Sekaligus membuktikan bahwa Islam ketika
kali pertama datang telah merupakan bagian dari adat, simbolisasi betapa
adat dan agama melebur menjadi satu yang kemudian menjadi bagian dari
kebudayaan di Sulawesi Selatan," jelas Halilintar Latief, salah satu pakar
Bissu.


*Simbolisasi adat dan agama.
Foto: Istimewa.
*


Lewat Halilintar pula, pada tahun 1997, LSM lokal yang kelak bernama Latar
Nusa memediasi bissu untuk pentas pertama kali di hadapan publik di Bali.
Sejak saat itu, perlahan bissu mulai dikenal kembali dan mendapat tempat
yang terhormat dalam masyarakat. Bahkan saat ini, Puang Matoa Saidi adalah
bagian dari pementasan teater La Galigo untuk pentas keliling di
panggung-panggung teater terkenal di dunia.

Uang hasil pentas keliling dunia yang diterima Puang Matoa Saidi itu
kemudian dipergunakannya untuk melengkapi peralatan-peralatan dan untuk
membiayai upacara-upacara bissu. Misalnya, acara *mapparebba*, upacara untuk
pelantikan seseorang menjadi bissu. "Saya sendiri tidak pernah
di*parebba*oleh guru saya. Masse juga tidak pernah. Hanya Muharram.
Uangnnya dari
pentas La Galigo," ujar Puang Saidi. Menurut tradisinya, seorang bissu harus
memiliki seorang kader yang dididik secara khusus. Upacara
*mapparebba*untuk Muharram, sang murid, berlangsung selama setengah
bulan dengan biaya
sekitar Rp50 juta, dilakukan pada tahun 2001 yang lalu.

"Dulu ketika masih zaman kerajaan, bissu punya tanah sendiri yang diberikan
oleh kerajaan. Dari hasil tanah tersebutlah bissu mendapat nafkah. Namun
saat ini, tanah tersebut sudah tidak ada," jelas Amrullah. Menghilangnya
sumber penghasilan menyebabkan bissu mencari alternatif lain. Seiring dengan
meningkatnya persepsi masyarakat saat ini terhadap kelompok bissu,
berangsur-angsur taraf kehidupan mereka mulai terangkat. "Tidak sempurna
kalau ada pengantin, bukan bissu yang meriasnya," ujar Muharram yang juga
dikenal dengan nama Hasnah. Penghasilan sebagai *indo botting* (perias
pegantin) biasanya digunakan membiayai upacara bissu yang penting.

Selain itu, kelompok bissu yang dipimpin oleh Puang Matoa Bissu juga sedikit
demi sedikit mulai membuka beberapa upacara bissu yang dulunya sakral.
Syaratnya, yang mengundang harus membiayai persyaratan-persyaratan upacara
yang cukup besar serta sekadar uang honor yang sifatnya sukarela bagi yang
berminat untuk menonton atraksi bissu tersebut.

Itulah juga yang kami lakukan ketika menyaksikan adegan terlukanya Puang
Saidi. Sehabis menonton pertunjukan itu, saya tidaklah menganggap uang biaya
upacara sebagai sesuatu yang mahal. Risiko yang dihadapi para bissu ini
amatlah besar, sebagaimana terjadi pada Puang Saidi. Mungkin dengan alasan
itu pula, dalam setiap pementasan teater La Galigo yang diikutinya itu,
konon Puang Saidi terpaksa harus merelakan dirinya mengucurkan darah. Dan
itu selalu terjadi, karena syaratnya tidak lengkap!

"Itulah, Nak, kalau sudah berjanji. Saya sudah tahu pasti akan begini," kata
Puang Saidi sambil sesekali meraba bekas tusukan di perutnya. "Tapi mau
diapa, ini sudah janji saya kepada kita, ya risikonya harus saya tanggung
sendiri".(p*!)

*Citizen reporter Asfriyanto dapat dihubungi melalui email
[EMAIL PROTECTED]

*

-- 
-------------------------
rusle
http://noertika.wordpress.com

Kirim email ke