Dalam situasi kemiskinan yang menjerat, perempuan (termasuk anak-anak)
memang menjadi kelompok masyarakat yang paling rentan untuk menjadi korban.
Kasus pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan pria Taiwan merupakan
salah satu contoh nyata dampak dari stereotype yg di/terbangun yang semakin
meminggirkan tionghoa. Stereotype dan penomorduaan kewarganegaraan membuat
tionghoa yg tidak mampu memperoleh akses terhadap bantuan-bantuan yang
seharusnya menjadi kewajiban negara terhadap warga negara yg tidak mampu (i
e. Kasus tegal alur, cina benteng). Kisah seorang ayah yang meracuni semua
anggota keluarganya, dan kemudian membunuh dirinya sendiri, karena tidak
lagi mampu menghidupi mereka, merefleksikan tingkat kemiskinan yg terjadi di
komunitas tionghoa kal-bar. 

Saya pernah mendengar istilah "mai moi" (arti: menjual anak perempuan-bahasa
Ho Pho Hakka-komunitas Hakka di Singkawang dan sekitarnya) yang digunakan
utk menggambarkan fenomena pernikahan perempuan tionghoa singkawang dengan
pria Taiwan.  Istilah ini menggambarkan dengan baik posisi perempuan
tionghoa yang sangat rentan dalam komunitas tionghoa miskin. Sebagai
komunitas yg menganut sistim patrialkal, perempuan memperoleh "tempat kedua"
dalam sistim komunitas tionghoa. Penempatan itu membuat perempuan tidak
memperoleh kesempatan akses yang sama terhadap bidang-bidang yang
mempengaruhi perkembangan hidupnya, misalnya pendidikan. Posisi laki-laki
yang menjadi garis penerus keluarga, mendapat privilege utk memperoleh
kesempatan akses utama untuk pendidikan, keuangan, etc. Diskriminasi global
dan struktural yang menciptakan kondisi kemiskinan + sistim masyarakat yg
menomorduakan perempuan membuat perempuan tionghoa ibarat sudah jatuh ke
comberan tertimpa tangga dan tembok runtuh (multi-layered discrimination).

Kondisi miskin yang menjerat keluarga tionghoa menempatkan beban yang besar
kepada (anak) perempuan di keluarga tersebut. Mereka "digunakan" sbg tameng
utama dan jalan pintas untuk mengeluarkan keluarganya dari kubangan
kemiskinan. Alhasil mereka tidak memiliki kebebasan bahkan hak untuk membuat
keputusan terhadap kehidupan mereka sendiri. Hidup mereka ditentukan oleh
para penentu keputusan di keluarga. Tingkat pendidikan dan akses informasi
yang rendah membuat mereka dalam kondisi terbebat matanya dan berjalan bak
sapi dicucuk hidungnya. Iming-iming hidup yang "modern" dan lebih nyaman
(krn tidak perlu bercocok tanam di sawah) di negeri seberang sana yang agak
dekat dengan tanah leluhur dan masih "orang Kita", juga membuat hati dan
harapan para perempuan tionghoa miskin ini melambung tinggi.Dengan bekal
jaminan "masih orang Kita" dan passport yg biasanya memalsukan umur yang
sebenarnya (asli 16, menjadi 23), berangkatlah perempuan itu dengan harapan
bercampur kekhawatiran. Harapan akan bisa mengirimkan uang utk membantu
keluarga mereka di kal-bar, dan kekhawatiran mengenai kehidupan yg harus
mereka jalani di tanah asing (tapi pemikiran "masih orang Kita" bisa sedikit
menenangkan). 

Memang tidak disangkal ada kisah-kisah yang berakhir bahagia (walau Ga
seperti Cinderella, tapi paling tdk, kehidupan yang "normal" dan tingkat
ekonomi yang  baik dan keluarga di kalbar bisa membangun rumah yang lebih
besar lengkap dengan parabola), namun kisah-kisah yang berakhir memilukan
juga tidak sedikit (kl tidak bisa dibilang lebih banyak), kisah sang
perempuan yang kemudian dicerai paksa dan diusir oleh mertua-nya setelah
melahirkan anak laki-laki untuk keluarga suaminya (yg tentu saja didukung
oleh si suami), Dan lebih banyak lagi kisah pernikahan yang ternyata jebakan
saja, karena setibanya di tempat tujuan, ternyata mereka dijual oleh "para
suami" mereka menjadi pelacur. Jaminan "orang Kita" hanya tinggal kata-kata
kosong belaka. "Bangsa yang berkebudayaan dan peradaban tinggi" dalam
situasi ini akhirnya hanya menjadi kalimat lumpuh yang kehilangan makna. 
Ingin pulang? Darimana uangnya? Setelah pulang? Harus menyiapkan dan
menebalkan hati dicibir-cibir dan dihina oleh komunitasnya sendiri?
Memperoleh label perempuan kotor murahan yang diasingkan dimana-mana? 

Saat ini, menjadi perempuan tionghoa yang menikah pria Taiwan sudah memiliki
stigma tersendiri di komunitas tionghoa. Menciptakan kondisi perempuan yg
kehilangan kontrol akan hidupnya sendiri dan meletakkan nasib-nya sepenuhnya
ditangan para asing "orang Kita" itu. Ibarat bermain judi, jika menemukan
jodoh yang baik, sukur, jika tidak, walahualam deh nasibnya. Hanya Tuhan
yang bisa menolong. 

Istilah Amoy Singkawang sesungguhnya juga membawa makna derogatif saat ini.
Istilah ini menciptakan image perempuan tionghoa singkawang yang sudah
dijadikan komoditi/barang dagangan, selain asal penggunaan kata Amoy yang
juga adalah terutama saat melecehkan perempuan tionghoa secara verbal di
kal-bar. Karena itu saya sendiri sangat berkeberatan dengan penggunaan
istilah ini. 

Tionghoa memang beragam, tidak satu macam saja.
            
Julia 
-------Original Message-------
 
From: Alfonso
Date: 10/31/07 06:28:12
To: budaya_tionghua@yahoogroups.com
Subject: [budaya_tionghua] Re: Amoy Singkawang-Taiwan
 
Cari jodoh di Taiwan sendiri gampang2 susah. 
Cowok Taiwan yang mencari istri di Singkawang tidak semuanya "low 
class". Hal ini karena prinsip cewek Taiwan. Iya, jaman sekarang 
prinsip cewek Taiwan adalah karir nomor 1/lebih penting (shiye wei 
zhu). Mungkin saja cowok yang mencari istri di Singkawang itu selalu 
bertemu dengan cewek model itu saat di Taiwan. Lalu umurnya sudah 
tua dan akhirnya karena desakan keluarga, dia pun terpaksa mencari 
istri di luar negeri.

Tapi ya memang alasan paling banyak adalah low class tadi karena ada 
istilah di antara orang Taiwan kalau "Mata cewek Taiwan ada di atas 
kepalanya". Artinya mata cewek Tw melihat hal yang perfeksionis 
segalanya. Jadi susah bagi cowok Taiwan mendapatkan mereka.

Hal ini menjadi prinsip sebaliknya saat di Indonesia, di mana cewek 
Indonesia masih memegang prinsip rumah tangga nomor 1 (jiating wei 
zhu), ditambah -konon- ekonomi orang Singkawang yang ga gitu bagus, 
penampilan lumayan, tahu budaya Tionghoa, dan sudah terkenal di 
Taiwan...ya kloplah. Ada pembeli ya pasti ada penjual.

Tapi skrg, cowok Taiwan sudah banyak yang mengalihkan pencarian 
istri ke Vietnam, yang kabarnya lebih cerdas dibanding dari 
Indonesia. Ini kata orang Taiwan lho.

Di Pasar Malam Fengchia kota Taichung-Taiwan, ada 1 penjual Heilun 
(bakso, jagung, kol, jeroan babi) yang sangat ramai. Bos ceweknya 
itu orang Singkawang lho. Tapi lincahnya minta ampun. Dia bisa 
menghitung harga per 10 mangkok sekaligus sambil memotong sayur! 
Saya melihatnya sendiri.

Alfonso
Belajar Mandarin conversation gratis 
di:http://groups.yahoo.com/group/everydaymandarin/join?

--- In budaya_tionghua@yahoogroups.com, "Others" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Hari ini saya membaca bagian pertama dari artikel yang membahas
> tentang Amoy Singkawang.
> 
> Intinya adalah pernikahan gadis tionghua indonesia di singkawang
> dengan pria taiwan. Kayaknya issue ini pernah dibahas tetapi tetap
> saja menarik untuk disimak.
> 
> Setahu saya, pria Taiwan yang cari gadis singkawang adalah "low 
class"
> di sononya, yang kagak bisa memenangkan hati gadis taiwan sendiri
> karena RUMORNYA sih gadis taiwan itu "cewe matre cewe matre".
> 
> Mungkin anda-anda yang tinggal di Taiwan saat ini bisa kasih 
comment.
> Karena menurut saya sih, gadis tionghua di Indonesia juga "cewe 
matre",
> hehehe...Dan itu sama sekali tidak dapat disalahkan.
> 
> Faktor kemiskinan nampaknya menjadi penentu disini. 
Orang "TengLang"
> ternyata memang tidak identik dengan kesejahteraan ekonomi. 
> 
> 
> ASN.


 
 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke