Acong: Caleg No 9 PDI-Perjuangan
Oleh Kenken   Di ujung barat pulau Jawa, ada koloni
keturunan Tionghoa. Koloni Tionghoa
ini sering disebut sebagai "Cina Benteng".
Suma Mihardja, aktifis-cum-intelektual
Tionghoa, memperkirakan jumlah Tionghoa
Benteng ini mencapai 4 juta orang. Tersebar
di seluruh pelosok provinsi Banten.   "Cina mah sampe ngelinduk di
daerah
bebulak juga ada", kata Acong dalam
bahasa Sunda pinggiran. Artinya
kurang-lebih, Tionghoa Tangerang bisa
dijumpai sampai pelosok hutan-hutan antah
berantah yang hanya bisa dimasuki
dengan berjalan kaki.       "Dulu, istilah Tangerang tidak dikenal.
Orang-orang sebut Benteng. Bis-bis dari
Jakarta juga nyebutnya 'benteng-benteng'
bukan Tangerang", kata Yap Bok Lim,
seorang pengurus kelenteng Boen Tek Bio.    Istilah "Cina Benteng"
berasal dari
kehadiran sekelompok Tionghoa Hokien
yang berdiam di sekitar Benteng Makasar.
Lokasinya di tepi Sungai Cisadane. Saat
ini, lokasi tersebut merupakan pusat
kota Tangerang. Sedangkan konsentrasi
pemukiman Tionghoa berada di sekitar
daerah yang sekarang disebut Pasar
Lama sampai Sewan dan Kampung Melayu
di sebelah utara.    Benteng Makasar dibangun oleh Gubernur
Jenderal Zwaardeczon di awal tahun 1700-an.
Setelah pembangunannya selesai, benteng
ini diisi oleh 60 orang Eropa dan 30
orang hitam yaitu serdadu Belanda beretnis
Makasar. Namun sejak tahun 1812, benteng
ini sudah terbengkalai. Sekarang di lokasi
bekas Benteng Makasar berdiri pusat
perbelanjaan Robinson.    Sekitar 1 km dari lokasi bekas Benteng
Makasar terdapat daerah basis Tionghoa
bernama Karawaci. Di daerah ini, Lim Han
Tiong alias Hendra lahir pada tanggal 1
September 1981. Karena cadel, nama panggilan
A-Tiong keliru diucapkan hingga akhirnya
ia dikenal dengan nama Acong.    Acong adalah keturunan langsung dari
Tionghoa Benteng. Ia anak pertama dari
4 bersaudara. Entah sudah berapa generasi
ia hidup di Tangerang. "Udah gak keitung
berapa generasi. Makanya jadi cina benteng",
kata Acong.    Eddy Prabowo Witanto MA, seorang
'sinolog' UI memperkirakan masyarakat
Tionghoa Benteng mulai menetap di daerah
Tangerang sejak tahun 1700-an. Tetapi
tampaknya koloni Tionghoa Hokien telah
ada di daerah Banten sejak tahun 1500-an.  Kapiten Pertama Tionghoa
bernama Souw Beng
Kong (Bencon) sudah menjadi tuan tanah
dan pemilik perkebunan lada di Banten
sejak awal 1600-an. Tahun 1619, ia diminta
oleh Jan Pieterszoon Coen untuk membangun
kota Batavia. Souw Beng Kong datang ke
Batavia bersama sekitar 170 keluarga
Tionghoa dari Banten.    Umumnya, masyarakat Tionghoa Tangerang
berprofesi petani, pedagang, buruh dan
peternak. Peristiwa Gedoran (1946) dan
Gestok (1965) menyebabkan trauma besar
di alam berpikir politik komunitas Tionghoa
Tangerang. Sehingga tidak banyak Tionghoa
Benteng tertarik masuk ke arena politik
praktis. Hanya ada satu Tionghoa Benteng
yang menjadi anggota DPRD di periode
akhir Orde Baru. Namanya Tap-Tap alias
Krisna Gunata yang kemudian masuk Islam,
menjadi mualaf.   Kasak-kusuk di pasar menuding, Tap Tap
masuk Islam untuk mengamankan posisi
politiknya di DPRD. Kebenarannya hanya
Tuhan yang tahu.    Masyarakat Tangerang memiliki sebuah
istilah untuk menggolongkan Tionghoa
Mualaf. Mereka menyebutnya sebagai
"adul". Banyak tokoh terkenal di daerah
Banten masuk golongan "adul". Contohnya
Edi Soelaiman, ketua Solidaritas Masyarakat
Islam Tangerang (SMIT).    Periode 2004-2009, tercatat ada 3 orang
etnis Tionghoa menjadi anggota Dewan di
Banten. Selain Krisna Gunata, ada Abas
dan Budi Krisnanto Wijaya.    Tahun 2008, bursa pilkada Tangerang
Kota diwarnai riak kehadiran bakal
calon walikota Tangerang bernama Tan
Chen Yu alias Yudi Frianto. Chen Yu
adalah seorang paranormal, ahli fengshui
sekaligus boss sarang burung walet dari
Curug. Sayangnya, 'bang Yudhi' (demikian
ia dipanggil) gagal menembus bursa
calon-walikota. Hanya sampai 'bakal-calon-
walikota'. Sampai sekarang, Baliho besar
foto Chen Yu berdiri tegak di halaman markas
Yudhi Centre di jalan Kisamaun yang dijaga
oleh seorang tua bernama Oey Jin Eng.    Di Pemilu 2009, Provinsi Banten
memiliki
sedikitnya 3 nama etnis Tionghoa yang maju
menjadi calon anggota legislative tingkat
dua di daerah pemilihan berbeda. Mereka
adalah Sugianto (teman SMA Tan Chen Yu),
Budi Krisnanto Wijaya dan Hendra. Ketiganya
berasal dari PDI Perjuangan. Hendra atau
Acong adalah kandidat termuda, berusia 27 tahun.    Acong berasal dari
keluarga sederhana,
anak seorang pemiliki warung langsam
bernama Lim Yang Boen. Rumahnya cukup
sederhana, 100m dari Sekolah Budi yang
dimiliki Yayasan Boen Tek Bio. Ada altar
penghormatan untuk kakek di ruang tamu
rumahnya yang sering dijadikan tempat
pemuda berkumpul dan berdiskusi masalah
keagamaan, sosial dan politik.    Sekalipun telah masuk kancah politik
praktis, Acong tidak pernah merasa
telah menjadi seorang politisi. Ia
lebih nyaman mengidentifikasi diri sebagai
'aktifis Budhis'. Sebagaimana umumnya
umat Budha, Acong memiliki nama Budhis
yaitu Hema Viriyo, artinya seorang yang
memiliki semangat emas.    Nama ini diberikan oleh Bhante Jyotidhammo
tahun 1996, ketika Acong baru berusia
13 tahun. Kisahnya berawal dari kenekatan
Acong untuk tetap mengikuti pelatihan
menjadi Bhikkhu (Pabajja) di Vihara Mendut,
Jawa Tengah. Padahal kuota jumlah peserta
pabajja telah melampaui ambang batas 50 orang.
Jumlah peserta yang diterima sudah
mencapai angka 52 orang.    Bhante Jyotidhamma beralasan usia Acong
masih terlalu muda. Tetapi Acong tetap
datang ke vihara Mendut. Pihak penyelenggaran
pabajja tetap menolak kehadiran Acong.
Akhirnya Acong mengalah. Sebelum
memutuskan untuk kembali ke Tangerang,
Acong menghadap kebesaran Sang Buddha
di candi Borobudur. Ada legenda yang
sering diyakini masyarakat bahwa jika
seseorang mampu menggapai tangan atau
kaki patung Buddha yang berada di salah
satu stupa candi Borobudur, maka cita-cita
orang itu akan terkabul.    Karena galau, secara membabi-buta Acong
menjulurkan tangannya ke dalam stupa.
Ia tidak tahu bagian mana dari rupang
Sang Buddha yang berhasil ia gapai.  Acong beranjak kembali ke Vihara
Mendut.
Setelah puas berkeluh-kesah di hadapan
Sang Buddha di candi megah yang dibangun
sekitar tahun 800-an masehi oleh wangsa
Syailendra, penganut agama Budha Mahayana.    Sesampainya di halaman
Vihara Mendut,
Acong disambut Bhante Jyotidhammo. "Kamu
yang bernama Hendra?" tanya Bhante.  Kemudian Bhante Jyoti mengabarkan
bahwa Acong diperbolehkan mengikuti
pabajja. Alasannya, karena 3 orang
peserta mengundurkan diri. Sehingga
tersedia 1 tempat kosong untuk Acong.
Semerta-merta, Acong merasakan dukungan
dari Sang Buddha. Ia mengikuti pabajja
selama 2 minggu. Karena semangatnya
itulah maka Bhante Jyotidhammo memanggilnya
"semangat emas".     KEMAMPUAN MEMIMPIN telah dirintis Acong
sejak duduk di bangku SMP. Di tahun 1997,
ia terpilih untuk menjabat ketua remaja
vihara Dharmapala. Jabatan ini ia panggul
sampai tahun 2001.    Di tahun 1998, ia resmi menjadi anggota
organisasi Pemuda Theravada Indonesia
(PATRIA). Di tahun ini pula, ia mengikuti
pabajja untuk kedua kalinya.    PATRIA adalah satu di antara 4
organisasi
pokok di dalam Keluarga Budhis Theravada
Indonesia (KBTI). Ke empat organisasi
Theravada itu adalah Sangha Theravada
Indonesia (STI), Magabudhi, Wanita Theravada
Indonesia (Wandani) dan PATRIA.    PATRIA sudah berdiri di wilayah
Banten
sejak tahun 1990-an awal. Ketika
nama organisasi masih Pemuda Budhadarma
Indonesia (PBI). Baru di tahun 1995, PBI
berganti nama menjadi PATRIA. Saat ini,
PATRIA telah ada di 19 provinsi dan
memiliki 60 pengurus cabang.    Pemahaman doktrin Budhis semakin
berkembang, seiring dengan pengalaman
berorganisasi. Di tahun 98 ini pula,
Acong mulai diminta untuk memberikan
ceramah-ceramah keagamaan. Sebuah
aktifitas yang masih ia lakukan sampai
sekarang di tengah-tengah konsolidasi
politik untuk memperebutkan kursi DPRD
tingkat 2.    "Dalam seminggu bisa sampai 3x ceramah.
Paling sedikit seminggu sekali" kata Acong.    Daerah ceramah meliputi
hampir seluruh
provinsi Banten. Sampai pelosok hutan
bambu dan ngarai. Tak jarang ia harus
menempuh jarak 80 km untuk sebuah ceramah.
Mulai dari Tangerang Kota, Tenjo, Sodong,
Kampung Malayu, Serang, Gunung Sindur dsb.    Bukan untuk mencari uang,
bukan demi
kemewahan ia bersedia melintasi pematang
sawah, jalan setapak berbatu terjal dan
berdinding pepohonan belukar. Beberapa
kali ban motor Vega-nya bocor di tengah
belukar tanpa penerangan lampu jalan
seusai memberikan ceramah. Tetapi ia
tidak pernah mengeluh, ia hanya merasa
menjalankan sebuah tugas yang ia yakini
sebagai aktifitas Budhadarma.    "Aktifitas Budha bukan cuma di vihara.
Ujung tombak pembabaran Dharma bukan
cuma di tangan pandita dan Bhikkhu
saja!" kata Acong dengan tegas.    Tahun 1999, Acong menjadi ketua
Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA)
Keluarga Besar Pelajar Budhis Tangerang
(KBPBT). Saat itu, ia masih duduk di
bangku SMA kelas 2. Organisasi ini
termasuk organisasi lintas pelajar
Budhis terbesar di Tangerang. Sedangkan
Ketua Pemuda Vihara Jetavana dijabat
sejak tahun 2002-2004.    BOEN TEK BIO adalah kelenteng tertua di
Banten. Dibangun pada tahun 1684 oleh
masyarakat Hokien Tangerang. Ada 3
kelenteng yang sangat berpengaruh di
Banten. Boen Tek Bio, Boen San Bio dan
Boen Hay Bio. Pengurus Boen Tek Bio
mengklaim diri sebagai barometer pengayom
umat Tionghoa di Banten. Di ujung pantai
daerah Mauk, terdapat 1 kelenteng lain yang
cukup terkenal yaitu kelenteng Tanjung Kait.    Kelenteng berfungsi
sebagai pusat
kegiatan masyarakat Tionghoa. Semacam
rumah-adat dan bukan sekedar tempat
peribadatan agama Tionghoa. Kelenteng
sama sekali bukan tempat penyembahan
berhala seperti tuduhan beberapa kalangan.
Dahulu etnis Tionghoa dari latar
belakang agama apa pun biasa berkumpul
di kelenteng.    Pemandangan aktifitas komunitas Tionghoa
di dalam kelenteng sudah jarang ditemui
di Jakarta. Tetapi di Boen Tek Bio, kita
bisa melihat aktifitas kekerabatan
berlangsung setiap saat di area
kelenteng tua ini. Boen Tek Bio tetap
berperan sebagai 'community centre'
masyarakat Tionghoa.    Ada lonceng tua yang berasal dari
Tiongkok di sisi kanan halaman Boen
Tek Bio. Oey Jin Eng mengatakan bahwa
lonceng bercat kuning ini dibuat tahun
1835. Area di sekitar lonceng biasa
dipakai tempat berkumpul sambil
kongkow-kongkow di sore sampai malam hari.
Kegiatan main catur juga dilakukan di
sekitar lonceng ini.    Mantan Presiden Soeharto pernah
mengirim 2 buah lilin berbobot
masing-masing 1000 kati ke
Boen Tek Bio. Pengiriman lilin
ini atas anjuran penasehat spiritual
keluarga Cendana ketika Soeharto sakit.
Menurut penuturan beberapa orang,
begitu lilin bertuliskan nama Soeharto
dinyalahkan, semerta-merta Pak Harto
bisa bangkit dan memakan bubur.    Di awal rezim Orde Baru, papan
nama kelenteng Boen Tek Bio sempat
hendak diturunkan. Karena papan nama
itu bertuliskan aksara Tionghoa. Beberapa
orang tentara Orde Baru sempat meminta
penurunan papan nama tersebut. Tetapi
masyarakat menolak.    Kabarnya, konglomerat Tommy Winata
juga sering mengirimkan lilin untuk
Boen Tek Bio pada saat acara-acara
besar Tionghoa. Kelenteng ini diyakini
memiliki kekuatan supranatural oleh
banyak kalangan, termasuk kalangan
non Tionghoa.    Pernah ada kisah mengenai seorang
tentara pribumi yang bertempat tinggal
di depan kelenteng Boen Tek Bio.
Pada suatu malam, ia melihat roh
Kwan Kong melayang turun dari langit
menunggang kuda menuju ruang altar
rupang Kwan Kong di sisi kiri Boen
Tek Bio. Setelah pengalaman melihat
Kwan Kong itu, karir si tentara terus
menanjak. Pangkat demi pangkat dilalui
dengan cepat.     Di kelenteng ini, Acong pernah mengabdi
sebagai wakil ketua urusan agama
Budha periode 2004-2007. Partisipasi
Acong di Boen Tek Bio yang sarat dengan
budaya dan tradisi Tionghoa, mungkin
akan dianggap tidak lazim bagi beberapa
kalangan aktifis Theravada berpandangan
ekstrim.    Tetapi bagi Acong, tidak ada 1 ajaran
pun dalam doktrin Theravada yang dapat
dipakai sebagai senjata ayat untuk
memberangus kebudayaan dan tradisi
nenek moyang Tionghoa. Menurut Acong,
Altar penghormatan kakek yang masih ada
di ruang tamu rumah keluarganya merupakan
praktek langsung dari ajaran Puja Niyamang-Etta
Manggalang yaitu doktrin tentang siapa
yang patut dihormati.   "Leluhur kita kan patut dihormati.
Jadi altar kongco (kakek buyut) itu
adalah praksis langsung dari Budhadarma",
kata Acong.    Dengan landasan pemikiran seperti ini,
Acong tidak ragu-ragu memberi penghormatan
(pay-pay) di depan rupang Kwan Im,
Kwan Seng Tee Kun, Thian Siang Seng Bo,
Kha Lam Ya yang berada di Boen Tek Bio.
Sekalipun ia seorang Theravada.    "Aktifitas Budhadarma bukan ritual,
tetapi Sang Budha juga tidak mengajarkan
kita untuk anti budaya Tionghoa", tambah Acong.    Dan pengabdian Dharma
ini sudah
ia lakoni selama 12 tahun, sebelum
ia diyakinkan oleh Budi Krisnanto dan
Ribka Ciptaning untuk menjadi calon-legislatif
bernomor urut 9 dari PDI Perjuangan.    Selama 12 tahun, Acong bersama
dengan
kawan-kawan aktifis PATRIA melakukan
pengabdian kepada masyarakat dalam frame
kegiatan pemuda Theravada. "Sudah gak
keitung berapa kali kita bagi-bagi sembako,
donor darah, pengobatan gratis dan acara-acara
karitatif lain'" kata Acong.    Pada tahun 2006, PATRIA Banten dibawah
kepemimpinan Acong berhasil menyelenggarakan
konser gambang kromong di gedung pertemuan
Surya Kencana Abadi. Konser ini merupakan
gabungan lagu-lagu Budhis dengan alunan
musik gambang kromong.    Usaha penggabungan unik ini memerlukan
waktu latihan selama 3 bulan. Selain
konser musik, juga ada penampilan
"Lenong Budhis" bertemakan kisah seorang
pemuda yang hendak menjadi bhikhu. Sebuah
adobsi modern kehidupan Pangeran Sidharta.
Panggelaran seni ini dihadiri oleh
lebih dari 1000 pengunjung dan dihadiri
oleh Ribka Ciptaning dan Rudyanto Chen
dari fraksi PDI-Perjuangan DPR-RI.    Aktifitas Acong dkk tidak berhenti
pada kegiatan rutin karitatif. Ia juga
berpartisipasi langsung dalam menyelesaikan
masalah-masalah sosial.    Awal tahun 2007, ada kasus pembongkaran
rumah secara paksa di daerah Ciodeng.
Korbannya 7 rumah dan 10 KK. "Korban
terpaksa tinggal di kandang kebo, emperan
sawah dan rumah penduduk lain", kata Acong
dengan miris.    Tidak ada satu pun pihak yang perduli.
Begitu juga dengan para pemuka agama Budha.
Acong berinisiatif mengumpulkan pemuda untuk
mendesak pemda memperhatikan nasib para
korban. Akhirnya, perjuangan keras dengan
pengerahan solidaritas masyarakat berhasil
mengembalikan para korban untuk kembali ke
lokasi awal yang digusur.    Selain itu, Acong juga merupakan
penggagas awal acara besar bertajuk
"Waisak Celebration in the Mall" di
tahun 2007. Acara Waisak di dalam mall
belum pernah dilakukan oleh siapa pun di
Tangerang, mungkin juga di seluruh
Indonesia.    Gagasan acara ini begitu saja muncul di
benak Acong ketika ia sedang membeli
handphone di Lippo Mall pada hari minggu
26 April 2007. Saat itu ia bersama dengan
seorang pemuda PATRIA bernama Wira.    Sejurus kemudian, Acong dan Wira
telah
memasuki kantor managemen mall. Acong
membeberkan maksudnya, tak disangka
gagasan ini langsung disambut positif
oleh pihak managemen mall Lippo.    Pihak mall meminta Acong menyerahkan
proposal kegiatan dalam waktu 1 hari.
Acong menyerahkan proposal kegiatan
itu keesokan harinya, pada hari Senin.
Surat Perjanjian Kerjasama ditanda-tangani
pada hari Rabu tanggal 29 April. Salah
satu perjanjiannya adalah
pihak Acong diharuskan membayar
ganti-rugi sebesar 15 juta rupiah
jika gagal melaksanakan acara.    Acara ditetapkan akan berlangsung
pada hari minggu tanggal 3 Mei 2007.
Jadi Acong punya 3 hari terhitung sejak
penandatanganan SPK sebagai waktu
persiapan pelaksanaan acara. Hari Kamis
Acong mengumpulkan panitia pemuda dan
mencari dana.

Di hari H kegiatan Waisak di Lippo
Mall itu, Acong mengerahkan 150 orang
Panitia. Jingle Budhis tiba-tiba
menggema di seantero mall Lippo. Pengunjung
berdesak-desakan. Umumnya umat Budha
yang datang dari seluruh penjuruh Banten.
Pihak mall terkesima dengan kehadiran
ribuan pengunjung itu. Setiap lantai
disesaki pengunjung yang rela berdiri
selama 3 jam.    Sebulan kemudian, acara sejenis juga
dilaksanakan di mall Metropolis. Ketua
panitia tetap sama yaitu Acong. Acara
Waisak Celebration in the Mall kembali
diselenggarakan pada bulan Juni 2008 di
Mall Lippo.    Masuknya Acong di dunia politik dengan
berpartisipasi menjadi caleg merupakan
jawaban langsung untuk permasalahan yang
dihadapi masyarakat Banten, khususnya
Tionghoa Benteng.    Ada keresahan di hati masyarakat. Tapi
tidak ada tempat mengadu. Aparat
kepolisian dan hukum kehilangan legitimasi
dan kepercayaan di mata rakyat. Khusus
bagi masyarakat Tionghoa di Banten,
permasalahannya lebih rumit. Uki,
seorang pemuda Tionghoa dari Panongan,
bercerita bahwa sekalipun Tionghoa Benteng
sudah lebih dahulu menempati beberapa
wilayah di Banten tetapi tetap saja
menjadi target pemerasan birokrasi.    Acong berpendapat bahwa
infrastruktur
pendidikan dan pelayanan kesehatan masih
amat minim. Banyak sekali anak-anak
Tionghoa Benteng diharuskan menempuh
jarak sampai 20 km untuk bersekolah. Di
banyak tempat, tidak ada sarana transportasi
umum. Seringkali, pelayanan puskesmas tidak
memadai dan bersikap rasialis terhadap
orang-orang Tionghoa.    Kasus-kasus perampokan sebenarnya
masih kerap terjadi di belantara
Banten. Kasus-kasus ini seringkali
tidak terblow-up media. Sebagaimana
kasus intimidasi yang bersifat komunal
seperti intimidasi dari golongan Tionghoa
mualaf terhadap Tionghoa yang memelihara
babi. Atau, kasus penyerbuan massa
terhadap pembangunan vihara di Panongan
yang sempat terjadi tahun 1995.    Permasalahan sosial semacam ini
adalah mesin penggerak sepeda motor
Vega yang kerap ditunggangi Acong
untuk bertemu dan mendengarkan keluhan
masyarakat di daerah pemilihannya.
Semoga terik matahari dan hujan di
malam hari tidak menyurutkan deru motor
sekaligus hati Acong untuk berusaha
mencari solusi untuk masyarakat luas.
Semoga ia tidak berhenti dalam aktifitas
Budhadarma yang tiap hari semakin sunyi
dilibas modernitas. SADHU, SADHU, SADHU.
     

Kirim email ke