Indonesia Digdaya
Pandji R. Hadinoto, DHN45 (*)
sumber  
http://www.tigapilar.org/old/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=820,
Teori filsuf Rene Descartes [1596 – 1650] “cogito ergo sum” (saya berpikir jadi 
saya ada) yang dianggap sumber legitimasi kelahiran sikap individualisme sejak 
tahun 1500an dan bermuara politik kolonialisme & liberalisme, diakui Prof Dr 
Jan Romijn sebagai manifestasi perilaku yang menyimpangi Pola Umum Kemanusiaan 
(Aera van Europe, 1954) 


Pendahuluan :
Tatanilai Kearifan Lokal Nusantara (TKLN) “Mamayu Hayuning Bawono” (MHB) yang 
bermakna “mengelola, menjaga dan melestarikan alam semesta untuk kepentingan 
kesejahteraan seluruh penghuni alam semesta termasuk manusia” adalah salah satu 
misi manusia hidup di dunia selain menjadi Khalifah Allah di bumi dan beribadah 
kepada Allah. MHB ini sesuai Firman Allah QS Huud (11) : 61 “Dia telah 
menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu memakmurkannya, QS 
Asy-Syura (26) : 183 “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya, dan 
janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan” dan QS 
Al-Ar’fat (7) : 56 “ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah 
Allah memperbaikinya”. Salah satu wujud MHB kini yakni Konservasi Alamiah yang 
menjadi pilihan strategik bagi Climate Justice ketika Climate Change dan Global 
Warming muncul menjadi ancaman dunia akibat “penyakit” gas buangan CO2 secara 
berkelebihan.
 Namun di Bali, tempat masyarakat dunia berembug peta jalan penyelamatan 
lingkungan hidup, justru masyarakat adatnya telah memiliki terlebih dahulu 
kesadaran pelestarian lingkungan hidup melalui a.l. wujud upacara Nyepi yang 
ditenggarai berdampak hemat produksi gas buangan CO2 itu. Dengan kata lain TKLN 
sebenarnya telah secara bijaksana menjaga kelestarian alam dan lingkungan 
hidup. Identik dengan kebijakan luhur itu, maka seharusnya Konservasi Budaya 
TKLN dapat juga menjadi pilihan strategik untuk jadi perangkat obat “penyakit 
multi kompleks” masyarakat Negara yang sedang berkembang seperti yang kini 
dihadapi Indonesia a.l. maraknya Tindak Pidana Korupsi / rendahnya Indeks 
Persepsi Korupsi Indonesia, rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Manusia 
Indonesia skala dunia, tingginya tingkat Populasi Kemiskinan – Kebodohan – 
Pengangguran, Ketidakmandirian Pangan – Sandang – Papan – Prasarana Umum, 
Kesenjangan Daya Saing Bangsa, Ketidakadilan &
 Ketidakpastian Hukum, Ketidakmerataan Kesejahteraan/ Keadilan Sosial, 
Kesadaran Daulat Pasar lebih daripada Daulat Rakyat, Keberpihakan Kepentingan 
Golongan lebih daripada Kepentingan Bangsa & Negara, Degradasi Orientasi 
Kebangsaan, terkuasainya mayoritas nilai ekonomis sumber2 daya alam, sumber 
daya telekomunikasi dan sumber daya lembaga perbankan & lalulintas keuangan 
oleh pihak asing, dlsb. Belajar dari lintasan budaya dan sejarah, maka 
Kepribadian Budaya TKLN yang diyakini bertumbuh sejak 20 abad sebelum Masehi 
itulah yang justru mendasari kekuatan bathiniah warga bangsa Indonesia 
memintasi masa penjajahan kolonialis sejak tahun 1602 sampai dengan tahun 1945, 
yang kini disebut sebagai Soft Power. Dan kemudian dikembangkan pada tahun 1945 
sampai dengan 1949 sedemikian rupa oleh Budaya Joang 45 sebagai nilai tambah 
perjuangan bangsa guna meraih pengakuan Indonesia Berdaulat pada tanggal 27 
Desember 1949. Sumbangan kecendekiawanan atau intelektualitas
 melalui dunia pendidikan diakui pula telah membangun kesadaran Semangat 
Kebangsaan Indonesia, berawal dari Boedi Oetomo oleh mahasiswa STOVIA, Batavia 
(kini Jakarta, 1908) yang berlanjut menjadi Politik Kebangsaan Indonesia 
melalui Soempah Pemoeda (Batavia,1928), sehingga mampu kemudian berakumulasi 
menjadi Proklamasi Indonesia Merdeka [17 Agustus 1945] dan berbekal Budaya 
Joang 45 ketika itulah maka Indonesia Berdaulat dapat lantas berpasangan dengan 
Indonesia Merdeka. Dengan kata lain, perangkat sistim pendidikan berkelanjutan 
yang dibentuk sejak 24 Pebruari 1817 dan bermodal dasar Budaya TKLN itu 
setidaknya terbukti menjadi bekal perjuangan Indonesia Merdeka yang 
Berkedaulatan. Sehingga dalam konteks kekinian, paling tidak pembekalan 
masyarakat tentang BTKLN khususnya Budaya Joang 45 seharusnya dapat diharapkan 
diperlakukan sebagai warisan luhur bangsa Indonesia yang dapat ekstra pro 
aktif, efektif, produktif dan konstruktif dijadikan perangkat
 cadangan strategis bagi sikap moral Kebangsaan menuju Indonesia Digdaya dengan 
skala “best fit” terbaik, sebagaimana Ramalan Jayabaya 2033 – 2100 M, sekaligus 
sebagai obat yang komprehensif guna mengatasi penyakit multi kompleks tersebut 
diatas, yang dalam skala tertentu dapat dianggap sebagai bentuk “penjajahan 
lain”. Artinya, saatnya kini, jelang tahun 2012 yang diterawang sebagai 
peralihan peradaban manusia, revitalisasi Soft Power itu strategik nilainya 
bagi keberlanjutan NKRI.
Budaya Joang abad-21 itu Pakta Kebangsaan :
Komponen Pakta Kebangsaan (PK) dirakit saat penyusunan Rekomendasi Lokakarya 
Nasional Wawasan Kebangsaan & Cinta Tanah Air bertempat diatas KRI Tanjung 
Nusanive 973 [Mei 2006] dan diluncurkan tanggal 10 Agustus 2006 bertempat di 
Gedung. DHN45, Jakarta. PK ini berkandungan 123 TKLN yang telah teruji 
dipergunakan oleh masyarakat di Indonesia dan bermanfaat mujarab, yakni 
Tatanilai Tersurat terdiri dari Pusaka Bangsa Indonesia (1) Sang Saka Merah 
Putih [1292], (2) Sesanti Bhinneka Tunggal Ika [1365], (3) Soempah Pemoeda 
[1928], (4) Lagu Kebangsaan Indonesia Raya [1928], (5) Pancasila [1945], (6) 
Proklamasi Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945, (7) Undang Undang Dasar 1945, (8) 
Wawasan Nusantara NKRI [1957], (9) Jiwa, Semangat & Nilai-nilai Joang 45; 
Ketahanan Bangsa Indonesia (10) Kehidupan Keagamaan tidak Rawan, (11) Kehidupan 
Ideologis tidak Retak (12) Kehidupan Politis tidak Resah, (13) Kehidupan 
Ekonomis tidak Ganas, (14) Kehidupan Sosial Budaya tidak
 Pudar, (15) Kehidupan HanKamNas tidak Lengah, (16) Kehidupan Ekologis tidak 
Gersang; Kepemimpinan Kebangsaan 45, 4 (empat) sikap (17) Demokratis, (18) 
Transparan dan Terbuka, (19) Rasional, (20) Effisien dan Effektif dan 5 (lima) 
sikap (21) Setia kepada Negara, (22) Mengeliminasi musuh yaitu DisIntegrasi, 
(23) Setia kepada semua tanpa pilih kasih, (24) Menyelesaikan tiap tugas 
perjuangan/ pembangunan sampai tuntas, (25) Setiap hari melatih diri 
berolahjiwa, berolah pikiran dan berolahraga; Syarat Indonesia Digdaya (26) 
Merdeka, (27) Bersatu, (28) Berdaulat, (29) Adil, (30) Makmur; berikut 
Tatanilai Melekat yaitu Soempah Pemoeda [1928] (31) Satu Nusa Indonesia, (32) 
Satu Bangsa Indonesia, (33) Satu Bahasa Indonesia; Lagu Kebangsaan Indonesia 
Raya [1928] (34) Indonesia Bersatu, (35) Indonesia Bahagia, (36) Indonesia 
Abadi; Pancasila [1945] (37) Ketuhanan Yang Maha Esa, (38) Kemanusiaan yang 
Adil dan Beradab, (39) Persatuan Indonesia, (40) Kerakyatan yang
 dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, (41) 
Keadilan Sosial; Hakekat Pancasila 1945 (42) Kebenaran, (43) Kebaikan, (44) 
Kejujuran, (45) Keadilan, (46) Kebersamaan, yang berdasarkan moral2 Ketuhanan 
Yang Maha Esa; Pembukaan UUD 1945 (47) Kemerdekaan, (48) Peri  Kemanusiaan, 
(49) Peri Keadilan, (50) Berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, (51) Keinginan 
luhur, (52) Berkehidupan Kebangsaan yang bebas, (53) Melindungi segenap bangsa 
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (54) Memajukan Kesejahteraan 
Umum, (55) Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, (56) Melaksanakan Ketertiban Dunia 
yang berdasarkan Kemerdekaan, Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial; Penjelasan 
UUD 1945 (57) Hukum Dasar Tertulis & Tidak Tertulis dan Cita-cita Hukum 
(rechtsidee), (58) Pemerintah dan lain-lain penyelenggara Negara wajib 
memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita 
moral rakyat yang luhur, (59) Semangat para
 penyelenggara Negara, semangat para pemimpin pemerintahan, (60) Negara 
Indonesia berdasarkan atas Hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan 
belaka (machtstaat); Nilai2 Operasional Jiwa, Semangat & Nilai-nilai Joang 45 
(61) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, (62) Jiwa dan Semangat Merdeka, (63) 
Nasionalisme, (64) Patriotisme, (65) Rasa harga diri sebagai bangsa yang 
merdeka, (66) Pantang mundur dan tidak kenal menyerah, (67) Persatuan dan 
Kesatuan, (68) Anti Penjajah dan Penjajahan, (69) Percaya kepada diri sendiri 
dan atau percaya kepada kekuatan dan kemampuan sendiri, (70) Percaya kepada 
hari depan yang gemilang dari bangsanya, (71) Idealisme kejuangan yang tinggi, 
(72) Berani, rela dan ikhlas berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara, (73) 
Kepahlawanan, (74) Sepi ing pamrih rame ing gawe, (75) Kesetiakawanan, senasib 
sepenanggungan dan kebersamaan, (76) Disiplin yang tinggi, (77) Ulet dan tabah 
menghadapi segala macam ancaman, tantangan,
 hambatan dan gangguan; Kepemimpinan Pancasila 1945 [Tim Khusus Laboratorium  
Pancasila IKIP Malang, 1969] Sila-1 (78) Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang 
Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing2 menurut dasar kemanusiaan 
yang adil dan beradab, (79) Hormat-menghormati dan bekerjasama antara pemeluk 
agama dan penganut2 kepercayaan yang ber-beda2 sehingga terbina kerukunan 
hidup, (80) Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan 
kepercayaannya, (81) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang 
lain, Sila-2 (82) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan 
kewajiban antara sesama manusia, (83) Saling mencintai sesama manusia, (84) 
Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro, (85) Tidak se-mena2 terhadap 
orang lain, (86) Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, (87) Gemar melakukan 
kegiatan kemanusiaan, (88) Berani membela kebenaran dan keadilan, (89) Bangsa 
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian
 dari seluruh umat manusia karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan 
bekerja sama dengan bangsa lainnya, Sila-3 (90) Menempatkan persatuan, 
kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan Negara di atas kepentingan 
pribadi atau golongan, (91) Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, 
(92) Cinta tanah air dan bangsa, (93) Bangga sebagai bangsa Indonesia dan 
bertanah air Indonesia, (94) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan 
bangsa yang ber Bhinneka Tunggal Ika, Sila-4 (95) Mengutamakan kepentingan 
Negara dan masyarakat, (96) Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (97) 
Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, 
(98) Musyawarah untuk mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan, (99) Dengan 
iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan 
musyawarah, (100) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati 
nurani yang luhur, (101) Keputusan yang
 diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha 
Esa, menjunjung tinggi harhat dan martabat manusia serta nilai kebenaran dan 
keadilan, Sila-5 (102) Mengembangkan perbuatan2 yang luhur, yang mencerminkan 
sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong-royong, (103) Bersikap adil, (104) 
Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, (105) Menghormati hak2 orang 
lain, (106) Suka memberi pertolongan kepada orang lain, (107) Menjauhi dikap 
pemerasan terhadap orang lain, (108) Tidak bersikap boros, (109) Tidak bergaya 
hidup mewah, (110) Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, 
(111) Suka bekerja keras, (112) Menghargai hasil karya orang lain, (113) 
Ber-sama2 berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial; 
Ajaran Lima Pintu Utama [Prabu Liman Senjaya Kusumah, Galuh Pakuan, 1545 M] 
(114) Semiaji (cerminan Kemanusiaan), (115) Bratasena (cerminan Persatuan), 
(116) Harjuna (cerminan Keadilan), (117) Nakula
 (cerminan Kerakyatan), (118) Sadewa (cerminan Ketuhanan); Lima Bangunan Utama 
[Prabu Susuk Tunggal, Soenda, 1345 M] (119) Bima Resi / Sadewa (pengaturan 
Tatacara & Pelaksanaan Keagamaan), (120) Punta Dewa / Bratasena (pengaturan 
Persatuan & Kesatuan Rakyat), (121) Narayana / Sri Kresna (pengaturan tegaknya 
Peri Kemanusiaan), (122) Madura / Kakak Sri Kresna (pengaturan hak2 
Kerakyatan), (123) Suradipati / Harjuna (pengaturan Keamanan, Kesejahteraan, 
Keadilan). Dengan ingredient layaknya jamu atau obat lokal tersebut diatas, 
diharapkan terbentuk penjuru bagi para negarawan pejuang Indonesia memintasi 
waktu menuju Indonesia Digjaya tahun 2100 dengan Budaya Joang yang handal 
ketika mengarungi ancaman, hambatan, gangguan & tantangan akibat dampak politik 
globalisasi.
Ramalan Jayabaya pengganti GBHN :
Pertanda zaman sebagai warisan luhur TKLN ini terbagi dalam 3 (tiga) zaman 
besar atau Trikali, masing2 berjangka waktu 700 tahun yaitu Kali-swara, 
kali-yoga dan kali-sangara. Setiap zaman besar terbagi atas 7 (tujuh) zaman 
kecil atau Saptala kala, yang masing2 berdurasi 100 tahun. Sedangkan tiap zaman 
kecil terdiri dari 3 (tiga) masa kala yang berumur 33 – 34 tahun. Dan Indonesia 
kini berada di jangka waktu tahun 2001 – 2100 atau disebut Kala-surasa (warga 
bangsa hidup dalam suasana aman, damai, adil dan sejahtera, dengan catatan 
rentang2 tahun 2001 – 2033 disebut Masa-kala-daramana (warga bangsa hidup rukun 
dan pemaaf tersebab oleh semakin meluasnya wawasan hidup), tahun 2033 – 2066 
disebut Masa-kala-watara (warga bangsa lebih mengedepankan hidup sederhana 
daripada kemewahan tersebab semakin meratanya kemakmuran), dan tahun 2066 – 
2100 disebut Masa-kala-isaka (warga bangsa dapat menikmati hidup rukun, 
tenteram, aman, damai, adil dan sejahtera
 tersebab meningkatnya kesadaran akan arti pentingnya pegangan hidup). Kekayaan 
bangsa berupa Ramalan Jayabaya ini adalah Rakhmat Tuhan YMK, seperti juga Merah 
Putih sebagai panji kesatuan balatentara [Singosari, 1292] sampai dengan 
Wawasan Nusantara [NKRI, 1957], termasuk peralihan rezim kekuasaan 
penyelenggara Negara pada tahun2 1966 dan 1998.
Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa :
Kalau Bank of South telah diprakarsai sebagai aksi nyata kebangkitan negara2 
Amerika Latin menjawab kemandirian sebagai perlawanan terhadap politik 
globalisasi, maka Indonesia Bangkit kini seharusnya muncul tidak sekedar 
wacana, tekad dan pernyataan semata apalagi janji. Bermodalkan penjuru 
kejuangan bernama Pakta Kebangsaan itulah, diharapkan para elite pimpinan pusat 
dan daerah pilihan rakyat dapat lebih mampu memiliki keberanian guna membentuk 
aksi nyata berupa paket2 kebijakan (politik hukum), misalnya, yang lebih pro 
daulat rakyat ketimbang lebih pro daulat investor asing. Khusus bagi Indonesia, 
pilihan lebih pro rakyat itu adalah sikap kemuliaan sebagai politisi publik, 
mengingat dari pembelajaran lintasan budaya dan sejarah Indonesia, benang merah 
berupa Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh nyata kehadirannya, para 
spiritualis Indonesia dapat dimintakan nasehat mengenai kebenaran hal ini. 
Artinya, pernyataan tersebut di Pembukaan UUD 1945
 tidaklah sekedar kalimat hukum tanpa roh, namun sungguh sebagai buah kajian 
dan kesimpulan nalar dan bathin para Bapak Bangsa Indonesia [1945]. Artinya, 
kepada para elite politisi publik itu kini dituntut mata bathinnya guna 
mengakomodasi aspirasi rakyat pemilihnya, sebagai penghormatan atas peringatan 
Indonesia Berdaulat tanggal 27 Desember 1949, memasuki tahun kritis 2008 yang 
faktanya dihantui oleh ketidakmanfaatan fluktuasi harga minyak mentah dunia 
bagi Indonesia pasca keberlakuan UU MiGas 2001 beserta perUUan turunannya dan 
proyeksi tebar pesona perebutan kekuasaan elite politikus. Dengan kata lain, 
setiap penyimpangan sikap terhadap Rakhmat Tuhan Yang Maha Esa bagi Indonesia 
sejak peradaban bangsa Indonesia yang terbangun 20 abad SM, adalah sikap 
pengkhianatan. Oleh karena itulah, keberadaan Pakta Kebangsaan bermuatan 123 
TKLN itu dirangkum dengan maksud dan tujuan guna menyegarkan dan meluruskan 
kembali sikap nalar dan bathin para politikus
 pembijak publik di Indonesia sekaligus sebagai aksi nyata bagi rekayasa sosial 
Politik Indonesia Digdaya. 
Individualisme itu penyimpangan Pola Umum Kemanusiaan :
Almarhum Prof MR Soediman Kartohadiprojo, mantan anggota Komisi Besar Indonesia 
Muda, 25 Mei 1929, dalam bukunya Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila [Desember 
1969], khususnya Bab X Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia dan Filsafat 
Pancasila, mengungkapkan pernyataan Prof DR Jan Romejn (De Europese 
Geschiedenis als Afwijking van het Algemeen Menselijk Patroon, 1954) bahwa 
perilaku “man become a spiritual individual” warga benua Eropa diakui telah 
menyimpangi Pola Umum Kemanusiaan (Algemeen Menselijk Patroon) sejak tahun 
1500an, karena berpikiran lebih bertitikberat mengikuti rasa atau pemikiran 
irrasionil. Cara berpikir ini diterapkan pada pergaulan hidup manusia yang 
membawa suatu pandangan bahwa manusia dilahirkan bebas, satu individu terpisah 
dari individu lainnya, masing2 dengan kepribadiannya, dengan kepentingannya, 
dengan kekuasaannya sendiri2. Manifestasi pemikiran ini digambarkan dengan baik 
oleh filsuf Rene Descartes [1596 – 1650]
 “cogito ergo sum” (saya berpikir jadi saya ada). Dari pengalaman empiris, 
perilaku individiualisme ini bermuara kebijakan kolonialisme dan liberalisme 
yang berujung seperti politik gun-boat, forced-buying, devide-et-impera dan 
kini berkembang a.l. neo-kolonialisme, neo-liberalisme berujung politik 
pre-emptive-strike. Pemahaman hadirnya perilaku penyimpangan dapat mendasari 
logika kenapa misalnya Statuta VOC [1602] bermuatan kontroversial yakni hak 
berdagang sekaligus hak berkekuasaan sebagai Negara di seberang lautan. 
Artinya, perilaku menyimpang ini kini seharusnya tidak patut lagi dikembangkan 
lebih lanjut berikut turunannya didalam kerangka harmonisasi pergaulan 
peradaban global abad-21, termasuk pengelolaan Climate Justice dlsb. Apalagi 
perilaku individualisme yang menyimpang ini sangat boleh jadi muncul secara 
situasional akibat tekanan keterputusan dari kebiasaan menikmati rempah2 
Indonesia pasca tidak berfungsinya Konstatinopel [1453].
Kepemimpinan Politik Hukum Indonesia :
Tradisi peradaban leluhur dalam kerangka cipta-rasa-karsa TKLN, berwujud 
politik hukum nusantara, pertanda bukti ciri kepemimpinan berskala dunia, 
seperti ikhwal hak2 dasar manusia atau Hak Asasi Manusia [HAM] yang secara 
konstitusional telah tercantum di Prasasti Telaga Batu [682 Masehi] yakni a.l. 
kalimat “…baik jikalau kamu orang rendah, menengah ataupun orang bertingkatan 
tinggi…” yang setara dengan makna Persamaan atau Equality sesuai paham Human 
Rights. Prasasti Telaga Batu itu diyakini sebagai Naskah Konstitusi Kedatuan 
Sriwijaya [Moh. Yamin, Tatanegara Majapahit, Sapta Parwa III, 1962]. Dengan 
kata lain, kita perlu bersyukur bahwa ternyata peradaban Indonesia modern telah 
lebih dulu kenali tentang hak2 dasar manusia itu ketimbang peradaban2 modern di 
Inggris pasca Magna Charta [15 Juni 1215], Amerika bertanda Declaration of 
Independence [6 Juli 1776] dan Eropa bertonggak Declaration des Droits de 
l’Homme et du Citoyen [4 Agustus 1789],
 sebagai pertanda yang dikenali kemudian dengan istilah mendunia kini yaitu 
Human Rights. Demikian pula, Trias Politika Trayaratna [Majapahit, abad-14] 
ternyata lebih tua daripada Trias Politika John Locke [1690] dan Montesquieu 
[1748]. Seloka Bhinneka Tunggal Ika [Majapahit, abad-14] daripada E Pluribus 
Unum [Amerika Serikat, abad-18]. Kompilasi Pelayaran dan Perdagangan Amanna 
Gappa [Gowa-Tallo, 1626] sebaya dengan praktek Anggaran Dasar VOC [1602]. 
Naskah Siksa Kanda Karesian [Pajajaran, 1518] yang a.l. Memuat ragam siasat 
tempur, lebih tua daripada praktek rekayasa tempur kolonialis Portugis, Spanyol 
dan VOC di bumi persada Nusantara, dlsb. Prakarsa Konperensi Asia Afrika 
[Bandung, 1955] adalah juga puncak peradaban kepemimpinan politik hukum 
Indonesia buah pemahaman yang mendalam tentang TKLN. Oleh karena itulah, yang 
ditunggu oleh rakyat Indonesia kini adalah paket2 kebijakan publik berkualitas 
kepemimpinan politik hukum Indonesia, khususnya tahun
 2008, tidak sekedar pengekor atau “follower” terhadap kepentingan politik 
globalisasi, karena era globalisasi sudah pernah menjadi pengalaman empiris 
Nusantara sejak sebelum abad 1 Masehi sampai tahun 1453 ketika Jalur Sutera 
berhasil terselenggara secara harmonis a.l. mengantarkan produk unggulan 
Nusantara seperti rempah2 menjadi salah satu mata dagangan utama antar benua. 
Dengan kata lain, kepemimpinan politik hukum Indonesia di dunia jilid abad-21 
adalah sepantasnya kini menjadi kemutlakan yang wajar dikreasikan oleh para 
pembijak publik menuju Indonesia Digdaya, sehingga kelak terhindarkan, 
misalnya, kemunculan istilah komprador seperti di Nusa Dua, Bali [COP-13, 
Desember 2007]. Dengan sendirinya, kualitas kepemimpinan pembijak publik adalah 
menjadi tidak sekedar managerialship tetapi leadership bahkan Guru Bangsa 
dan/atau Negarawan PETA (Pejuang Tanpa Akhir). Sekaligus saatnya kini 
diharapkan juga sikap Kepemimpinan generasi Indonesia Muda 2008
 berbudaya joang Pakta Kebangsaan sehingga dapat lebih siap merebut iklim 
kebijakan harmonisasi atas politik globalisasi, saat hadapi keserentakan akan 
hadirnya peralihan peradaban manusia pasca tahun 2012 yad.
Jakarta, 14 Desember 2007
(*) Pengamat Politik Hukum Indonesia, eMail : paka...@yahoo.com


      Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang! 
http://id.mail.yahoo.com

Kirim email ke