Si Buta dan Ibu yang Lumpuh Penjual Sapu Lidi di Payakumbuh 
*Pantang Mengemis Justru jadi Jutawan*


Selasa, 21-November-2006, 03:49:15 24

Masih ingat dengan perjalanan hidup Buyuang Feri (45) yang buta dan Nila (70), 
amai -sapaan akrab untuk ibunya- yang dimuat koran ini, pertengahan April 2006? 
Ternyata, kehidupan yang dijalani dengan iklas, pantang menyerah dan (ini yang 
lebih penting dalam prinsipnya,-red) pantang untuk mengemis, justru 
menghadirkan ending bagaikan kisah sinetron. Keduanya, kini menjadi jutawan.

Ini bukan kisah sinetron. Di alam nyata, inilah yang terjadi. Dalam pahitnya 
kehidupan, ternyata masih ada anak manusia yang dijalani dengan penjiwaan tanpa 
mengeluh.

Nila dan Buyung, tercatat sebagai warga PadangaraiKenagarin Guguk VIII Kota 
Kecamatan Guguk Kabupaten Limapuluh Kota. Walau berada dalam himpitan kehidupan 
yang cukup berat, namun keduanya taat dengan falsafah hidup,
tiada kata menyerah.


Sehari-hari keduanya, hanya dengan berjalan kaki menjual sapu lidi keliling, 
melewati perjalanan sepanjang lebih kurang 40 km mengitari dua kabupaten dan 
kota. Saban hari keduanya menawarkan dagangan mereka menggunakan gerobak 
tarik, ke pasar-pasar di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kota Payakumbuh.


Rutinitas itu telah dijalankan ibu dan anak sejak Soeharto diangkat untuk 
pertama kalinya menjadi Presiden RI. Kepedihan hidup yang dirasakannya berawal 
dari kematian suaminya sekitar 39 tahun silam. Semula kehidupannya berkecukupan 
dengan empat orang anak. Kemudian tiga orang anaknya yang merupakan adik 
Buyung, meninggal dunia sewaktu kecil, karena berbagai penyakit kampung yang 
tidak kunjung dapat terobati.

Kehidupannya mulai terasa payah, tak kala pendapatan yang ia dan suaminya 
peroleh dari hasil pertanian, mulai digerogoti untuk biaya berobat anak-anaknya 
itu. Namun mereka tabah. Bak disambar petir, ketika ia tengah 
asik menikmati karunia Tuhan dengan anak-anaknya itu, ia harus kehilangan 
orang-orang yang mereka sayangi itu. 

Penderitaan Nila bertambah besar, tak kala suaminya meninggal dunia. Kala itu, 
Nila baru berumur 25 tahun. Sejak itu mulailah babak baru dalam kehidupan Nila. 
Kisah Nila semakin terasa pilu, tatkala, setahun setelah kematian sang suami, 
Buyung anak satu-satunya yang sejak kecil diberi nama Feri, menderita penyakit 
campak berat.

Setelah coba diobati, namun ternyata jenis penyakit campak yang dialami anak 
itu telah akut. Disela-sela harus mencari kebutuhan sehari-hari, Nila mesti 
memikirkan biaya berobat Buyung. Akibatnya, Buyung merasakan penderitaanya 
yang tak henti-hentinya. Sampai ia harus mengalami kebutaan. Meskipun pahit, 
namun kehidupan Nila tetap berjalan terus. Nila mengajari Buyung yang merupakan 
anak satu-satu nya itu untuk tetap berjuang menghadapi sisa-sisa hidup. 
Berlatar dari usaha yang juga telah mulai dikerjakan saat sang suami masih ada, 
Nila mulai mengkonsentrasikan diri dengan membuat sapu lidi.

Awalnya Nila yang secara langsung mencari pohon-pohon kelapa yang dapat diambil 
lidinya. Namun karena kronologis penyakit asam urat yang diderita Nila, 
menyebabkan lama kelamaan ia menderita kelumpuhan. Keduanya justru terus 
berjuang dan sabar dengan apa yang terjadi. Keduanya tetap bertawakal, harus 
tetap bekerja tanpa menyandarkan nasib kepada orang lain. Berpantang untuk 
mengemis.

Meski tak dapat melihat, ternyata Buyung bisa bekerja untuk menghidupi diri dan 
ibunya. Lalu sapu lidi tersebut mereka jual berkeliling pakan-pakan, seperti ke 
Limbanang, Danguang-Danguang, Kubang, serta pasar Payakumbuh. 

Untuk membawa sapu lidi tersebut sampai ke pasar, Nila mengikat sepuluh sampai 
15 sapu dengan tali,mengangkat dengan kepalanya, dan si Buyung mengikutinya 
dari belakang. Ketika Buyung bertambah dewasa, mereka berdua mengangkat sapu 
lidi tersebut, Buyung tetap berada di belakang ibunya ketika berjalan karena 
dia tidak bisa melihat.

Namun tatkala usia Nila semakin beranjak tua, dia sudah tidak kuat lagi 
berjalan kaki menjajakan sapu lidi buatan mereka. Tidak jarang Buyung 
menggendong ibunya untuk sampai di pasar. Ibunya yang memandu arah jalan dari 
gendongan Buyuang.

Tapi, sejak sekitar 15 tahun silam, karena tidak kuat berjalan kaki, akhirnya 
Buyung membuat gerobak dari kayu. Dia menarik gerobak itu sementara ibunya 
duduk di atas gerobak sambil mengendalikan jalannya gerobak. Tidak kurang 40 km 
jarak yang ditempuh keduanya pulang pergi saban hari untuk menjajakan sapu lidi 
buatan mereka. Tidak Pernah Berkata Capek.

Ketika ditemui koran ini, Nila tidak lagibisa berjalan karena kelumpuhan yang 
dialami sejak 15 tahun lalu. Ia hanya bisa menarik tubuhnya dengan mengandalkan 
kekuatan tangannya. Sisanya, tugas-tugas rumah tangga dan berjualan, dilakukan 
Buyung sambil mengikuti perintah Nila. Suara Nila yang keras dan bagi yang 
tidak biasa melihatnya, memang terdengar pemarah.

Bayangkan, mulai dari pagi hari, Buyung telah dihardik dengan cercahan 
perintah, agar segera melakukan sesuatu jelang berjalan menuju pasar-pasar. 
Mulai dari mencuci pakaian, memasak, dilakukan Buyung dengan bimbingan Nila.

Bahkan sampai kepada mengangkat Nila turun rumah yang letaknya sekitar 50 
centimeter dari tanah dilakukan Buyung sembari meraba-raba. Setelah sarapan 
pagi dengan apa adanya, lantas Buyung mulai menarik gerobaknya dengan berjalan 
sesuai petunjuk ibunya itu. Tanpa mengenakan sandal dan topi penutup kepalanya, 
terlihat Buyung hafal dengan lubang-lubang jalan yang setiap hari dilewatinya. 
Sesekali ia meneriakan sapu lidi dan sejumlah alat kebutuhan dapur lain yang 
ikut dijual.

Puluhan kilo meter dilalui Buyung dengan menarik ibunya setiap hari. Namun 
itulah kekuasaan Tuhan, setiap dagangan mereka, hampir selalu habis dibeli 
orang lain. Bisa jadi karena rasa iba, banyak warga yang sengaja menunggu 
dagangan Nila, sembari membantu.

Bicara harga yang ditawarkan Nila, juga tidak terlalu mahal dibandingkan dengan 
harga ditoko. Sapu lidi yang diikat dengan diameter 30 centimeter itu, dijual 
Rp4.000, sementara pedagang harian di kedai-kedai menjual Rp5.000. Namun lebih 
disebabkan karena kemauan yang keras, dagangan mereka tetap habis.

Menariknya, menurut Nila, walau menjalani hidup yang sangat berat itu, Buyuang 
tidak pernah mengeluarkan kata-kata capek. Kisah kehidupan yang dimuat koran 
ini, ternyata mendapat perhatian reporter Metro TV sehingga masuk acara 
talkshow Kick Andy. Acara tersebut kemudian menjadi jalan mengubah hidup mereka 
menjadi jutawan. Buyuang Feri dan Nila
diantar reporter Metro TV Amfreizer dan beberapa orang pejabat dan anggota DPRD 
Kabupaten Limapuluh Kota, Ferizal Ridwan termasuk wartawan koran ini.

Walaupun duduk di depan pejabat tinggi negara, Buyuang Feri dan Nila masih 
sederhana layaknya orang kampung. Nila tetap menenteng sandalnya ketika 
berjalan. "Licin bana, beko jatuah," tutur Nila ketika dibimbing di kantor 
Metro TV. Maklum saja selama ini Ia tidak pernah pakai alas kaki. Ketika 
berbincang-bicang di sela-sela acara talkshow, dengan Mufidah Jusuf Kalla dan 
menteri kesehatan gaya bicara mereka juga tak berubah masih sama  seperti 
menjadi pejual sapu lidi di jalanan Payakumbuah. Masih lugu dan menjawab apa 
adanya dengan bahasa Minang logat Payakumbuh.

"Bilo pulang kampuang, Amai?" tanya Mufidah dalam bahasa Minang. 
"Tagantuang si Am jo Feri," jawabnya. Kedua nama itu, merupakan sapaan akrab 
Amfreizer dan Ferizal Ridwan. 

Mereka memang tidak akan menyangka dalam hidupnya akan hadir dalam acara 
gemerlap stasiun televisi nasional tersebut. Buyung juga tidak begitu peduli, 
karena Ia tidak begitu jelas melihat, sedangkan ibunya tampak tak mengerti 
hanya diam saja.

Saat itu mereka akan menerima bantuan Rp70.800.000 dari sumbangan pemirsa 
stasiun televisi nasional tersebut. Uang tersebut ditambahkan oleh Menteri 
Perindustrian Fahmi Idris menjadi Rp100 juta. Istri Wakil Presiden, Mufidah 
Jusuf Kalla juga tersentuh dan langsung memberikan dana Rp50 juta untuk mereka.


"Mereka orang kampung saya, wajib bagi saya membantunya. Saya berharap kepala 
daerah dan tenaga kesehatan di Limapuluh Kota mampu mengurus mereka. Kalau saya 
lewat di sana pasti saya singgah," tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari langsung meminta agar mata Buyuang Feri 
diperiksakan dulu di RSCM Jakarta. "Nanti hubungi ajudan saya. Besok bawa 
Buyuang Feri ke dokter ahli di sana, mana tahu masih bisa diperbaiki," jelasnya

Namun sayang matanya tidak bisa lagi diperbaiki. "Urat syaraf mata Buyuang Feri 
telah mati ," ucap dokter mata di RSCM. Tampaknya Buyuang Feri telah menerima 
takdirnya, Ia tidak mengeluhkan hal itu.

"Kalau mancaliak saketek kalam jo tarang lai bisa wak ma," ujarnya.

Dalam acara tersebut Buyuang Feri dan Nila santai saja ketika pejabat negara 
tersebut, menyalaminya. Ia menangis di depan panggung, ketika pembawa acara 
Kick Andy, Andi Noya menceritakan Buyuang Feri akan sebatang kara jika ibunya 
meninggal dunia.

"Amai lah gaek. Jo sia wak iduiklai," ucapnya dalam bahasa Minang sambil 
mengusap matanya.

Ucapannya itu terpaksa diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh reporter Metro TV 
di Sumatera Barat Amfreizer, sehingga menyentuh perasaan semua yang hadir.

"Tarimo kasih banyak, Pak," ujarnya ketika menerima map tanda penerimaan 
sumbangan. 

Setelah mendapatkan uang itu, apakah Buyung Feri dan Nila menjadi sombong? 
Ternyata tidak. Usai penerimaan uang ratusan juta itu, Buyuang Feri masih 
seperti dulu. Ia masih saja ceplas-ceplos dan sederhana. Menggunakan HP Ferizal 
Ridwan, Buyuang Feri menelpon saudara bapaknya di Bandung.

"Pulanglah ka kampuang lai. Beko uda agiah pitih. Uda baru dapek pitih banyak," 
tuturnya melalui telepon 

Termasuk usai acara, panitia Hari Ibu Nasional mengundang mereka mengikuti 
acara tersebut di Jakarta, Desember 2006. Buyuang hanya mengangguk

"Tu ka Jakarta lo awak liak, Mai?" ungkapnya minta persetujuan ibunya. Hal itu 
dijawab Amai dengan anggukan.

Ketika ditanyakan orang akan diapakan uang sebanyak itu, Buyung Feri mengatakan 
terserah mau diapakan. "Baa Amai?," tanyanya kepada Nila. Ibu dengan wajah 
penuh kerutan itu diam saja.

"Bia si Am jo Feri tabuangan. Kamalo dibawok-bawok Nyo bunuah urang wak beko," 
lanjutnya di kamar hotel berbintang lima tempatnya menginap.

Ketika disarankan agar berumah tangga cepat, Amai tersenyum. "Lah patuik lo nyo 
babini mah," jelasnya.

Tiba-tiba Buyung Feri berbisik, menanyakan kondisi Ibunya yang sudah tua.
 "Kalau indak ado amak tu ndak bisa nyo mancaliak bini wak do," tuturnya 
berbisik.

Mereka masih sederhana. Tidak begitu peduli uangnya sudah ratusan juta. Ketika 
ditraktir makan di hotel Bintang Lima, Nila malah memberikan uang yang terletak 
dalam saputangan kumalnya kepada Ferizal Ridwan.

 "Bayiaan samba ko ciek Feri," ucapnya mengeluarkan uang ribuan.

Pembawa acara Kick Andy Andi Noya yang sekaligus Pimpinan Redaksi Media 
Indonesia mengatakan, banyak hal yang bisa diambil dari kisah mereka.

"Kesederhaanan, Kegigihan seorang ibu untuk merawat anaknya. Keinginan

mereka tidak mau mengemis," ucapnya di sela-sela acara. 
(Tandri Eka Putra)

Kirim email ke