Keberadaan hipermarket terus menjepit keberadaan pasar tradisional. 
Sementara konsumen pun terus didikte oleh harga yang ditentukan oleh 
pemilik hipermarket karena tidak adanya proses tawar-menawar seperti 
di pasar tradisional.

Oleh Rusdi Mathari
SEJAK muncul pertama kali di Indonesia pada 1998 hipermarket seolah 
tak bisa dibendung. Carrefour adalah contohnya. Hanya dalam waktu 
empat tahun, peritel terbesar kedua di dunia itu sanggup membuka 15 
gerai yang tersebar di Medan, Palembang, Bandung, Surabaya, dan 
terbanyak di Jakarta. Akhir tahun ini, Carrefour lalu membeli 
sebagian besar saham PT Alfa Retailindo Tbk. sehingga praktis tak 
ada lagi yang bisa membendungnya "menguasai" pasar Indonesia. 
Carrefour akan menjadi perusahaan ritel raksasa pertama yang masuk 
kampung-kampung melalui gerai-gerai Alfamart di seluruh Indonesia. 
Hingga pembelian saham oleh Carrfeour, Alfa paling tidak memiliki 2 
ribu gerai di Jawa, Madura dan Lampung.

Menurut hasil survei AC Nielsen 2004 laju pertumbuhan hipermarket 
seperti Carrefour, dan Giant di Indonesia mencapai 25 persen per 
tahun. Bandingkan misalnya dengan pertumbuhan pasar tradisonal yang 
hanya sebesar 5 persen per tahun. Pertumbuhan hipermarket yang cukup 
tajam itu, tentu bukan tanpa sebab. Salah satunya, karena ramainya 
pengunjung. Di Carrefour misalnya, jumlah pengunjung untuk setiap 
gerai rata-rata mencapai 2000-2.500 orang per hari.

Selain karena tempatnya yang lebih nyaman, ber-AC, dan bersih, 
barang-barang yang dijual oleh hipermarket juga relatif lebih 
lengkap ketimbang pasar tradisional. Jika hipermarket seperti 
Carrefour menyediakan 37 ribu item barang untuk setiap gerainya, 
bisa dikatakan tak ada yang tak dijual di sana kecuali minyak tanah. 
Mulai dari penganan kerak telor, tusuk gigi, pakaian, hingga barang 
elektronik seperti televisi dan lemari es aneka merek dan ukuran 
semuanya tersedia. Bahkan ketika tiba perayaan besar keagamaan 
seperti hari raya kurban, hipermarket seperti Carrefour Lebak Bulus, 
juga menjual hewan-hewan kurban hidup, seperti sapi dan kambing. 
Dalam soal harga, hipermarket juga memberikan harga yang relatif 
lebih murah, dengan cara pembayaran tunai atau kredit.

Bandingkan dengan suasana di pasar tradisional yang sumpek dan 
panas. Sementara di musim hujan pasar-pasar itu pasti lembab dan 
becek. Maka bisa dimengerti jika konsumen pindah belanja ke pasar-
pasar modern. Terlebih lagi saat ini hipermarket bertebaran di 
tengah kota: Ke pasar tradisonal atau hipermarket sama jauhnya.
Dalam beberapa kasus, kehadiran hipermarket juga sudah banyak 
mematikan banyak pasar tradisional. Setiap tahun delapan pasar 
tradisional dan 400 kios terpaksa tutup karena kalah bersaing dengan 
hipermarket dan pasar modern lainnya yang beruwujud minimarket-
minimarket. Di Parung, Bogor dan di Jembatan Besi, Jakarta, sebagian 
dari pasar tradisional sudah menjadi gudang dan tempat penyimpanan. 
Kalau misalnya ada pasar tradisional yang masih bertahan, tingkat 
hunian pedagangnya hanya sekitar 50 persen
Bukan tak ada protes. Tujuh tahun lalu, Asosiasi Pedagang Seluruh 
Indonesia pernah melakukan protes dengan melakukan aksi pengumpulan 
tandatangan pedagang pasar di seluruh Jawa sebagai protes menolak 
keberadaan hypermarket. Diikuti 200 pedagang pasar dari Jakarta 
mereka berkeliling Jawa dengan sepeda motor selama sepekan. Aksi itu 
kemudian dilanjutkan dengan safari melintasi Sumatera dari Lampung 
hingga Aceh Darussalam. Tujuannya mengumpulkan 1 juta tanda tangan 
dan akan diajukan sebagai bukti untuk mendesak pemerintah agar 
menyetop kemunculan hipermarket baru. Kalau pemerintah masih tidak 
merespon, maka menurut asosiasi tersebut, dalam waktu delapan tahun 
ke depan akan ada 12,6 juta pedagang pasar yang harus kehilangan 
mata pencaharian. Jika ditambah dengan karyawan, anak dan keluarga 
mereka, bisa-bisa puluhan juta warga terancam menjadi miskin.

Sebelum aksi dari asosiasi, pedagang pasar di Jakarta juga pernah 
melakukan protes menolak kelompok bermodal kuat yang membuka banyak 
gerai minimarket waralaba sampai-sampai ke kampung-kampung 
tradisional di Jakarta. Ribuan pemilik warung tradisonal kala itu, 
memprotes ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan meminta menutup 
minimarket yang memasuki lahan usaha mereka. Namun protes tinggal 
protes. Enam tahun kemudian, bukan saja waralaba minimarket yang 
terus bermunculan, hipermarket juga terus bermunculan.

Menurut Monopoly Watch pembangunan hipermarket di Indonesia memang 
sudah keterlaluan karena banyak berdiri di pusat kota dan berdekatan 
dengan pasar-pasar tradisional. Padahal di negara-negara maju, 
hipermarket hanya boleh beroperasi di luar kota dan diatur dengan 
zonasi atau pembatasan wilayah operasi yang ketat. Ini misalnya 
dilakukan oleh pemerintah Thailand sejak 2002.

Di negara itu, izin operasi hipermarket diberikan dengan sisteem 
zonasi menyusul dampak hipermarket yang merusak ekonomi pedagang 
kecil. Sebelum tahun itu, di Bangkok berdiri tak kurang 100-an 
hipermarket dengan 45 ribu orang tenaga kerja. Karena serbuan 
tersebut, satu demi satu, peritel lokal mulai ambruk dan berujung 
pada PHK masal terhadap 350 ribu tenaga kerjanya. Karena dampak 
buruk itulah sejak tahun itu, Thailand lalu menerapkan aturan 
zonasi. Mestinya, Indonesia bisa meniru langkah Thailand tersebut.

Masalahnya adakah aturan yang jelas, tentang tata ruang lokasi 
hipermarket, supermarket dan pasar tradisional? Kecuali peraturan 
daerah seperti Perda Pemda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2002, sebenarnya 
belum ada regulasi yang benar-benar tuntas mengatur keberadaan 
hipermarket, supermarket, pasar tradisional dan lokasinya. Di perda 
itu dijelaskan, pendirian hipermarket minimal harus berjarak 2,5 
kilometer dari lokasi pasar tradisional. Yang terjadi, hipermarket-
hipermarket berdiri seperti berhadapan dengan pasar tradisional. 
Misalnya ITC Cempaka Putih, Jakarta, hanya berjarak 500 meter dari 
pasar Sumurbatu, Pedongkelan dan pasar Cempaka Putih. Itu belum 
termasuk pelanggaran penyediaan lahan 20persen yang harus disediakan 
oleh hipermarket untuk menampung pedagang kaki lima, yang banyak tak 
dipenuhi. Artinya peraturan dan perencanaan sebenarnya sudah ada, 
tapi realisasinya sering kalah oleh kekuatan modal. Tata ruang lalu 
menjadi tata uang.
Selain meminta pemerintah menghentikan pemberian izin pembukaan 
hipermarket-hipermarket baru, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh 
Indonesia karena itu juga mendesak DPR segera membuat undang-undang 
perpasaran yang kelak bisa melindungi pedagang tradisional. Sebuah 
permintaan yang relative wajar karena sebagai salah satu punggung 
ekonomi negara, pedagang kecil memang layak dilindungi. Namun 
persoalannya tak cukup sederhana. Di Carrefour misalnya, ada dua 
ribuan pengusaha mikro yang menjadi mitra pemasok. Bisa dibayangkan, 
apa jadinya nasib mereka, jika keberadaan hipermarket dihentikan. 
Belum lagi soal tenaga kerja yang bisa diserap oleh hipermarket yang 
setiap gerai rata-rata bisa memperkerjakan sampai 450 orang karyawan.

Soal lainnya, peraturan dan undang-undang saja jelas tak cukup. 
Karena sekuat apapun regulasi yang ada, ketika berbicara soal pasar, 
penentu akhirnya adalah konsumen. Jika konsumen merasa diuntungkan 
dengan berbelanja ke hipermarket ketimbang pasar, misalnya, sejauh 
apapun lokasi hipermarket, bisa dipastikan konsumen tetap akan 
mendatangi hipermarket. Apalagi dalam kasus Indonesia,kultur belanja 
masyarakatnya seringkali ditentukan oleh gengsi.

Berbelanja ke hipermarket lalu dianggap lebih tinggi gengsinya 
dibanding berbelanja di pasar tradisional. Karena itu, tak 
mengherankan jika untuk berbelanja kebutuhan harian, mingguan dan 
bulanan semuanya dilakukan di hipermarket. Dengan kata lain, budaya 
belanja masyarakat juga bisa ikut memperburuk keadaan. Ini berbeda 
dengan budaya belanja di banyak negara maju. Di sana, menurut 
Samuel, bila ada keluarga yang hendak berbelanja harian, mereka 
cukup pergi ke minimarket. Untuk belanja mingguan pergi ke 
supermarket dan bila ingin berbelanja bulanan, pergi ke hipermarket.

Dengan kata lain, persoalannya memang cukup kompleks. Namun bukan 
berarti tak ada peluang bagi kembali berdenyutnya pasar tradisional. 
Untuk sementara mungkin memang sedang terjadi perubahan budaya 
berbelanja pada masyarakat. Namun dalam jangka panjang bukan tak 
mungkin, konsumen akan kembali menengok pasar tradisional. Soalnya 
hanya satu: Sistem perdagangan hipermarket sangat memungkinkan 
terjadinya kartel harga. Sadar tidak sadar, konsumen perlahan-lahan 
akan terus didikte oleh harga yang ditentukan oleh pemilik 
hipermarket karena tidak akan ada lagi proses tawar-menawar seperti 
di pasar tradisional.

*Artikel lain bisa dibaca di http://www.rusdimathari.wordpress.com


Kirim email ke