Boediono Pesanan Amerika
 
Tabloid Suara Islam EDISI 42, 
Tanggal 18 April - 1 Mei 2008 M/11 - 24 Rabiul Akhir 1429 H
Kursi Gubernur Bank Indonesia kembali diserahkan kepada Mafia Berkeley. Rencana 
penjualan BUMN jalan terus, sementara di tengah bayang-bayang resesi dunia, 
pemerintah menutup-nutupi kebobrokan ekonomi dengan permainan statistik.
Dradjad Wibowo masih bercanda dengan beberapa orang warta-wan ketika bel tanda 
dimulainya kembali sidang paripurna DPR berdering, Rabu (9/4) lalu. Maklumlah, 
DPR sedang lari maraton sebelum reses tahun ini. Maka, meski sudah lewat waktu 
makan siang, paripurna dilanjutkan lagi. Kali ini dengan agenda pandangan 
Komisi XI atas hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon 
Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono. 
Anggota Fraksi PAN itu tampak sedang mencoba menutupi kerisauan hatinya. Sebab, 
dialah satu-satunya anggota komisi XI yang tak setuju diangkatnya Boediono 
sebagai Gubernur BI. Selama uji kelayakan dan kepatutan Senin (07/4) lalu, 
hanya dia pula yang benar-benar menguji calon tunggal pemerintah itu. Mayoritas 
anggota Komisi XI malah menyelipkan pujian basa-basi dan tak bermutu kepada 
Boediono. 
Padahal ketika nama Boediono disorongkan Presiden sebagai calon tunggal setelah 
ditolaknya mantan Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo dan Wakil 
Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset Raden Pardede, partai-partai mengaku 
kecewa. Bahkan Fraksi PDI Perjuangan, menen-tang pengajuan calon tunggal ini. 
“Ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak demokratis dan ingin memaksakan 
calonnya,” kata Ketua Fraksi PDIP Tjahjo Kumolo. 
Pertemuan beberapa anggota komisi XI pun digelar. Mereka bahkan sepakat 
menjegal Boediono. Kabarnya, Fraksi PDIP mendapat titah langsung dari Taufiq 
Kiemas, suami Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri untuk meng-hempang jalan 
Boediono. Mereka berharap Presiden mengajukan calon lain, jika fit and proper 
test.  Nama yang masuk bursa calon mereka adalah ekonom dan mantan menteri 
Rizal Ramli.
Tapi skenario penjegalan itu kandas beberapa jam kemudian, ketika Menteri 
Keuangan Sri Mulyani Indrawati meng-gelar jamuan untuk para anggota Komisi XI 
di Rumah Daksa, tempat yang biasa disewa selebritas untuk berpesta, di 
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Dengan tajuk perkenalan calon Gubernur BI yang 
baru, hampir semua anggota Komisi XI hadir Selasa malam (8/4) lalu. 
Dalam jamuan makan itu, Sri Mulyani, “promosi abis” soal Boediono. Padahal, ia 
bukan orang baru. Sebelum menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, ia pernah 
menjadi Menteri Keuangan, Kepala Bappenas dan juga Direktur Bank Indonesia. 
Tapi rupanya promosi harus diambil alih Sri Mulyani.. Selain Boediono terlalu 
santun  jika tak bisa dikatakan lamban lelaki itu pula tumpuan harapan 
pemerintah dan Mafia Berkeley agar tetap eksis.
Menurut Sri Mulyani, jamuan makan di Rumah Daksa ini hanya pertemuan 
silaturahmi. “Ini komunikasi untuk memperkenalkan Pak Boediono sebagai calon 
gubernur,” ujarnya. Tapi, seorang sumber Suara Islam mengatakan, malam itu 
semua sudah clear. Semua mem-persilakan Boediono menjadi Gubernur BI. “Fit and 
proper test di Senayan hanya formalitas,” ujarnya.
Tapi tentu tak ada makan malam gratis. “Hujan cukup merata tadi malam,” kata 
sumber Suara Islam mengutip ucapan seorang anggota Komisi XI. Maksudnya, semua 
yang hadir kecipratan hujan amplop tuan rumah. (Lihat Nasional, DPR: Dewan 
Pengutip Rupiah, halaman 15)
Maka ketika fit and proper test berlangsung, hanya Dradjad yang meng-kritik dan 
meminta Komisi XI tidak memilih Boediono. Menurut Dradjad, Boediono adalah 
ekonom yang menganut paham liberal dan konservatif ala konsensus Washington. 
“Konsep ini tidak lagi cocok dengan kondisi saat ini,” ujarnya. Menurut 
Dradjad, Indonesia butuh kebijakan ekonomi berbasis fiskal dan moneter yang pro 
rakyat. Untuk itu, BI harus dipimpin orang-orang dengan trackrecord bersih dan 
berani. 
Dradjad menolak keputusan diambil secara aklamasi, maka voting tertutup 
digelar. Dari 46 anggota Komisi XI yang hadir, 45 orang memilih Boediono. Hanya 
satu orang yang menolak. “Apa daya saya hanya sendirian,” kata Dradjad. Maka 
guru besar Fakultas Ekonomi UGM ini   dinyatakan terpilih sebagai Gubernur BI 
periode 2008-2013. Boediono adalah Gubernur BI ke delapan.  
 
Kepentingan Mafia Berkeley
Tentu saja keputusan Komisi XI memilih Boediono dikecam berbagai pihak. Menurut 
pengamat ekonomi Kwik Kian Gie, kapabilitas Boediono tak mengesankan. “Boediono 
itu orang biasa yang tidak mempunyai pemikiran dan arah kebijakan yang jelas,” 
kata mantan Menteri Negara Perencanaan Pem-bangunan Nasional/Kepala Bappenas 
era Presiden Megawati itu.
Kwik menilai, Menteri Keuangan di era Presiden Megawati itu, tidak memahami 
sektor riil. Yang dibutuhkan BI adalah orang-orang muda, yang tidak hanya 
mengerti urusan teknis, tetapi juga mampu menciptakan navigasi kebijakan.
Direktur ECONIT, DR Hendri Sapa-rini menilai trackrecord Boediono tak 
cemerlang. Misalnya saat menjadi Kepala Bappenas, dia anggota Tim Perancang 
Rekapitalisasi Perbankan bersama Men-teri Keuangan Bambang Subiyanto dan Menko 
Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan negara terbebani Rp 422,6 trilyun. “Prestasi 
sebagai Menko Per-ekonomian juga payah,” ujarnya. 
Maka para pengamat menduga, ter-pilihnya Boediono tak lepas dari agenda besar 
Mafia Berkeley. Mafia Berkeley adalah sebutan bagi sekelompok ekonom yang 
dipercaya Jenderal Soeharto di masa awal Orde Baru untuk mengelola ekonomi. 
Mereka disebut Mafia Berkeley karena sebagian besar lulusan doktor atau master 
dari University of California at Berkeley pada 1960-an atas bantuan Ford 
Foundation. 
Konon kelompok ini diam-diam telah disiapkan Amerika Serikat sejak Presiden 
Soekarno berkuasa, untuk memperluas dan melanggengkan pengaruh di Indo-nesia 
semasa perang dingin. Mereka adalah Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali 
Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Agenda Mafia Berkeley diteruskan para anak didik 
mereka seperti Boediono dan Sri Mulyani.
Kebijakan ekonomi Mafia Berkeley mengadopsi kebijakan ekonomi yang dirancang 
IMF dan Bank Dunia yang dikenal dengan nama Konsensus Wa-shington. Tema 
besarnya kini dikenal sebagai agenda ekonomi neoliberal. Agenda Mafia Berkeley 
terbagi atas empat kebijakan. Yakni liberalisasi keuangan, liberalisasi 
perdagangan, kebijakan uang ketat (pengurangan subsidi) dan privatisasi BUMN. 
Tiga agenda pertama telah diterapkan sejak awal Orde Baru hingga tahun 1990-an. 
Sementara, agenda privatisasi BUMN baru dilakukan belakangan ini. Tapi, keempat 
agenda itu terbukti gagal mengangkat kesejahteraan rakyat, se-mentara 
negara-negara yang tak mengambil resep IMF, seperti Jepang, Taiwan, Korea 
Selatan, Malaysia dan China, justru lebih baik dibanding Indonesia. Maklumlah, 
program kerja Mafia Berkeley ternyata bukan mencari untung untuk  negara, tapi 
justru bagaimana menjual milik negara. 
Di masa Presiden Yudhoyono, pemerintah menyerahkan Blok Cepu kepada Exxon Mobil 
dari AS. Padahal potensi minyak bumi yang dikandung di dalamnya ditaksir 
mencapai 10,96 miliar barel minyak, termasuk 62,64 TCF gas. Jika dikalkulasikan 
secara matematis, diperoleh pendapatan kotor sebesar 165,74 miliar dolar AS 
atau sekitar 1.500 trilyun rupiah.
Penjualan Blok Cepu menambah deret panjang penjualan aset kekayaan milik 
rakyat. Setelah gagal menarik aset penjahat BLBI, pemerintah memaksa sejumlah 
BUMN masuk bursa untuk dijual. Padahal BUMN ini bukannya merugi tapi justru 
selalu membukukan keuntungan. Begitu masuk ke bursa, saham 
perusahaan-perusahaan ini langsung dicaplok investor asing. 
BUMN yang dikuasai asing dan selalu untung itu antara lain PT Telkom Tbk, PT 
Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia 
Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Adhi Karya Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk dan PT 
Bukit Asam Tbk. Kini 85 persen saham BUMN itu dikuasai asing. “Dengan 
kepemilikan asing yang sangat besar, pihak asinglah yang menikmati sebagian 
besar keuntungan BUMN itu,” kata pengamat ekonomi Revrisond Baswir. 
 
Obral Besar
Lewat Komite Privatisasi, tahun ini pemerintah akan melego 34 BUMN dan 
melanjutkan penjualan 3 BUMN yang tertunda pada 2007. Ke-37 BUMN ini akan 
dijual lewat IPO di bursa efek dan lewat penjualan strategis langsung ke 
investor yang ditunjuk. Sasaran utama penjualan BUMN kali ini adalah PT 
Perusahaan Listrik Negara. Dengan alasan merugi akibat harga BBM yang terus 
melambung, Pemerintah mendesak agar PLN diswastanisasi. 
Obral perusahaan istilah kerennya privatisasi--tahun ini adalah obral terbesar 
sepanjang sejarah Indonesia. Pada periode 1991 - 2001 pemerintah 14 kali 
menjual BUMN dengan jumlah 12 BUMN. Pada periode 2001-2006 pemerintah 14 kali 
menjual BUMN dengan jumlah 10 BUMN. Kebijakan ini adalah bom privatisasi, 
karena dalam setahun 37 BUMN akan dilego.
Obral besar-besaran ini sesungguhnya tak lepas dari agenda Kapitalisme 
Neoliberal, baik negara-negara Kapitalis terutama Amerika Serikat, 
International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, ADB, maupun perusahaan multi 
nasional. “Lewat para konsultan mereka di berbagai instansi, mereka merancang 
skenario agar pemerintah melepas seluruh BUMN dan menyerahkan kepada investor 
dengan alasan agar BUMN lebih efisien dan menguntungkan,” kata Hendri. 
Desakan kepentingan pemodal di balik obral gede-gedean ini terlihat pada 
penolakan PT Krakatau Steel. Menurut Dirut Krakatau Steel Fazwar Bujang, mereka 
tak pernah mengundang investor, tetapi investor yang menginginkan BUMN ini 
dijual. Belakangan, presiden SBY menerima kunjungan produsen baja terbesar di 
dunia, Arcellor Mittal di Istana, yang berjanji menanamkan US $ 3 miliar dalam 
bentuk kerjasama dengan PT Aneka Tambang Tbk dan PT Krakatau Steel. 
Menurut Menteri Perindustrian Fah-mi Idris, Mittal mengajukan tiga tawaran. 
Pertama, mengembangkan pertam-bangan yang terkait dengan baja. Kedua, menjadi 
strategic partner Krakatau Steel. Ketiga, membuat joint venture company bersama 
Krakatau Steel. “Presiden menanggapi positif dan memerintahkan Pak Boediono 
merumuskan secara detail,” ujarnya. 
Sekali lagi, lihatlah peran sentral Boediono.
Padahal, rencana penjualan Krakatau Steel sudah dikritik habis oleh Pemenang 
Hadiah Nobel bidang Ekonomi Joseph Stiglitz dalam berbagai artikel yang 
mengritik kebijakan ekonomi neoliberal. Profesor di bidang ekonomi dari 
Columbia University dan bekas ekonom terkemuka di World Bank itu mengaku tak 
habis pikir dengan rencana penjualan BUMN strategis itu.
Di samping menyukseskan agenda ekonomi kalangan Neoliberal, obral besar-besaran 
ini juga mengindikasikan upaya perampokan harta negara untuk agenda pemilu 
2009. “Privatisasi 2008 adalah salah satu ladang potensi korupsi,” kata Fahmi 
Badoh, dari Indonesia Corruption Wacth (ICW). Pusat Pela-poran dan Analisa 
Transaksi Keuangan (PPATK) juga mengendus transaksi-transaksi mencurigakan 
menjelang pemi-lu 2009.
Dengan obral perusahaan besar-besaran ini, dapat dipastikan bahwa ratusan 
trilyun rupiah aset negara akan terlepas dari tangan rakyat dan hanya memuaskan 
kerakusan Kapitalisme dan segelintir antek asing. Padahal, menurut syariat 
Islam, perusahaan yang mengua-sai hajat hidup orang banyak terutama di sektor 
pertambangan adalah harta milik umum, sehingga pemerintah tidak berhak 
menjualnya kepada swasta dan asing. 
 
Utang dan Manipulasi Statistik
Boediono terpilih ketika resesi dunia mengancam, seiring melonjaknya harga 
minyak dunia hingga US $ 109/barrel, perekonomian dunia melambat, semen-tara 
kegagalan panen dan spekulasi membuat harga komoditas pangan membubung tinggi 
di pasar internasional. “Dunia guncang dari segi keuangan maupun komoditas 
utama. Jika resesi meluas, akan berdampak pada ekspor, impor, dan aliran dana,” 
kata Boediono. Dampaknya terasa di Indonesia dengan indikasi laju inflasi bulan 
Maret yang sudah mencapai 3,6 persen.
Seiring kenaikan harga minyak dunia yang melebihi prediksi saat penyusunan 
APBN, Departemen Keuangan mengubah strategi menutup defisit APBN dari hanya 
mengandalkan penerbitan surat berharga negara ke utang luar negeri. Sebab, 
pemerintah sulit menyerap dana murah dari pasar modal. “Pinjaman luar negeri 
adalah pertahanan kedua dalam menutup defisit,” kata Kepala Badan Kebijakan 
Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu. 
Strategi ini khas langkah Mafia Berkeley yang dirancang IMF. 
Menurut Anggito, pemerintah dan Panitia Anggaran DPR sepakat menam-bah utang 
luar negeri untuk menutup defisit APBN Perubahan 2008, dari Rp 19,1 trilyun 
menjadi Rp 26,4 trilyun. Sumber utamanya World Bank, Asian Development Bank dan 
Pemerintah Jepang. “Pencarian utang dimulai 11 April 2008, dalam pertemuan Bank 
Dunia di Washington,” ujarnya.
Menteri Sri Mulyani juga mengusa-hakan pinjaman pada pertemuan ADB di Madrid, 
Spanyol. Padahal menurut Koordinator Koalisi Antiutang, Kusfiardi, upaya 
Departemen Keuangan menambah utang luar negeri hanya akan semakin membawa 
Indonesia semakin terperosok ke dalam jebakan utang yang semakin dalam. 
Menurut Deputi Bidang Pendanaan Bappenas Lukita Dinarsyah, Indonesia sulit 
mendapat pinjaman lunak lagi. Sebab, status Indonesia telah berubah dari negara 
berpendapatan rendah ke menengah, ditandai dengan pendapatan per kapita US $ 
1.600/tahun. Akibatnya, Indonesia kehilangan sumber pinjaman sangat lunak dari 
skema IDA, Bank Dunia, mulai Juni 2008. Skema pinjaman IDA hanya diberikan 
untuk negara berpeng-hasilan di bawah US $ 830/kapita/tahun. 
Repotnya ketika kondisi ekonomi terancam gagal, pemerintah harus unjuk 
kemampuan bahwa dapat mengentaskan kemiskinan agar bisa dikatakan berhasil. 
Tujuannya agar Yudhoyono terpilih lagi dalam pemilu 2009 nanti. Maka 
statistical engineering dirancang untuk menutupi kebobrokan ekonomi. Cara 
paling gampang adalah memacu program penghapusan kemiskinan menjelang 
berakhirnya masa pemerintahan. 
Cara itu ditempuh lewat kombinasi pemberian bantuan langsung tunai, beras 
miskin, dan program padat karya, agar target penurunan tingkat kemiskinan 
tercapai pada 2009. “Ini program ambisius, tapi sangat mungkin dicapai dengan 
dukungan program yang jelas dan anggaran yang lebih besar dari tahun 
sebelumnya,” kata Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, seusai rapat 
koordinasi untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009, Rabu (9/4) di 
Jakarta.
Dalam hitungan pemerintah, tingkat kemiskinan tahun 2007 sebesar 16,58 persen, 
sedang pada 2008 diperkirakan akan lebih rendah dari 14 persen. Pemerintah 
menargetkan penurunan tingkat kemiskinan tahun 2009 tinggal 10-11 persen. 
Dengan kucuran beras miskin, bantuan langsung tunai dan program padat karya 
selama enam bulan mulai Mei nanti, dengan target 2000 kalori per keluarga, 
pemerintah optimis akan “mengurangi” tingkat kemiskinan..
Bantuan langsung tunai diberikan untuk rakyat miskin di luar Jawa. Di pulau 
Jawa, yang dihuni 80 persen penduduk Indonesia, dengan rata-rata tingkat 
kemiskinan 10-15 persen, difokuskan pada program padat karya. 
World Bank pun ingin ikut menyuk-seskan program pengentasan kemiskinan. Karena 
itu kini mereka sedang menyo-sialisasikan metode penghitungan angka kemiskinan 
baru. “World Bank ber-kepentingan agar seolah-olah ikut mengentaskan kemiskinan 
karena 20 persen dana anggaran kemiskinan berasal dari utang ke World Bank,” 
kata Hendri Saparini. 
Jadi jika para ekonom neoliberal Mafia Berkeley merekayasa statistik dengan 
menekan garis kemiskinan, World Bank malah merekayasa hitungan-nya. Lalu, apa 
lagi yang akan anda jual ke Washington?
 
Catatan tentang Boediono
1. Saat menjadi Direktur di Bank Indonesia, Boediono adalah pejabat yang setuju 
meliberalkan perbankan,
2. Ia ikut menyalurkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank 
Arya Pandu Arta dan Bank Danamon
3. Sebagai Kepala Bappenas, ia adalah anggota Tim Perancang Rekapitalisasi 
Perbankan bersama Menteri Keuangan Bambang Subiyanto dan Menko Ekuin Ginandjar 
Kartasasmita sehingga negara terbebani Rp 422,6 trilyun. Karena APBN terbebani 
Rp 50  60 trilyun per tahun, saat jatuh tempo pada tahun 2033, total beban 
menjadi sekitar Rp 1800 trilyun
4. Menteri Keuangan yang paling bertanggung jawab dalam penjualan perbankan 
yang direkapitalisasi sehingga perbankan nasional kini dikuasai asing
5. Dia adalah pejabat yang setuju Blok Migas Cepu dikuasai Exxon Mobile 
6. Sebagai Menteri Koordinator yang menerbitkan banyak kebijakan liberalisasi 
di era Kabinet Indonesia Bersatu yang ternyata memiskinkan secara struktural
7. Acap kali ditegur secara terbuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam 
rapat-rapat kabinet di bidang ekonomi karena dianggap lamban dan tak berani 
mengambil keputusan penting
8. Dikenal sebagai pelaksana mekanisme pasar yang tangguh sebagaimana yang 
dituliskannya dalam buku 70 tahun Widjojo Nitisastro dengan mengatakan, “Kita 
harus mencegah kembali peranan etatisme…”
9. Business Week menyebut Boediono sebagai sahabat IMF paling hangat. [abu 
zahra/www.suara-islam.com]
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke