`````````````````````````
[EMAIL PROTECTED]
A r t i k e l   Lepas
^*^*^*^*^*^*^*^

Piagam Jakarta dan Hubungan
antar Umat Beragama
````````````````````````````
Oleh: Mbah Dukun S

Pengantar
````````````
Pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar
Hirohito dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) oleh pemerintah Jepang sebagai upaya pelaksanaan janji mereka
tentang kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai
oleh Radjiman Widjodiningrat. Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI pada
tanggal 1 Juni 1945, Soekarno, salah seorang anggota, menyampaikan usulan
fundamen filsafat negara, yang dikenal dengan Pancasila.

Keterangan Soekarno tentang Pancasila dalam sidang itu menunjukkan dengan
jelas bahwa ia sendiri mengakui adanya ketergantungan dengan orang lain,
baik orang Indonesia maupun orang asing, seperti Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pertanyaan yang penting ialah dari
sumber manakah Soekarno mengangkat prinsip Ketuhanan, yang akhirnya dikenal
sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengertian Ketuhanan, pada dasarnya,
berlatarbelakang muslim, walaupun tidak selalu tidak diterima oleh golongan
bukan muslim. Prinsip Ketuhanan setidaknya diilhami oleh uraian dari para
pemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno dalam sidang itu.

Dalam sidang itu ada dua paham yang terlihat. Kedua paham itu ialah yang
menganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam dan anjuran
lainnya, seperti Hatta, yaitu negara persatuan nasional yang memisahkan
unsur negara dan agama. Dengan kata lain bukan negara Islam. Ternyata di
dalam Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Yamin tidak
memuat satupun pidato para anggota nasionalis Islam. Yang dimuat hanyalah
tiga, yaitu (1) pidato Soekarno, (2) pidato Yamin, dan (3) pidato Soepomo.

BPUPKI juga berhasil merumuskan dan bentuk pemerintahan melalui pemungutan
suara. Ada 45 suara pemilih dasar negara adalah kebangsaan, sedang 15 suara
memilih Islam sebagai dasar negara. Setelah sidang pertama berakhir
dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang, yang lalu
dikenal dengan nama Panitia Sembilan. Melalui perbincangan yang serius
akhirnya Panitia Sembilan berhasil mencapai suatu kesepakatan antara Islam
dan Nasionalis. Pada tanggal 10 Juli 1945 Soekarno menyampaikan pidatonya
pada sidang BPUPKI.

Soekarno juga menyampaikan rancangan preambule UUD hasil rapat Panitia
Sembilan. Dalam rancangan preambule tersebut muncullah kalimat yang sampai
saat ini tetap menjadi persengketaan ...Ketuhanan, dengan menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rancangan preambule itu
ditandatangani oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta.
Oleh karena itu rancangan preambule itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Perjalanan Piagam Jakarta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Sehari setelah
pidato Soekarno, yakni pada tanggal 11 Juli 1945, seorang Protestan anggota
BPUPKI, Latuharhary, langsung menyatakan keberatan atas tujuh kata di
belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta. Agus Salim melihatnya secara
netral, walaupun ia lebih condong mendukung Piagam Jakarta. Namun beberapa
orang anggota BPUPKI berkeberatan, termasuk Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat.

Sidang pada hari itu seolah-olah berakhir dengan kesepakatan menerima
rancangan preambule hasil kerja Panitia Sembilan. Kemudian Soekarno
membentuk panitia kecil untuk merancang UUD, yang mesti bekerja pada tanggal
12 Juli 1945. Dua pasal rancangan pertama UUD yang paut dengan pokok bahasan
ini ialah pasal 4 dan pasal 28 . Pasal 4:2 berbunyi Yang dapat menjadi
Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedang pasal 28
berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
apapun dan untuk beribadat menurut agama masing-masing.

Abdul Wahid Hasjim mengajukan dua usulan. Pertama, pasal 4:2 tersebut
ditambah dengan anak kalimat yang beragama Islam. Kedua, pasal 28 diubah
isinya menjadi Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan
orang-orang yang beragama lain untuk Agus Salim tidak sependapat
dengannya, namun Hasjim mendapat dukungan dari Sukiman. Soekarno selalu
memposisikan diri bahwa rancangan preambule adalah hasil kompromi dua pihak,
yaitu Nasionalis dan Islam. Padahal tak kurang tokoh Muhammadyah, seperti Ki
Bagus Hadikusumo, yang didukung oleh Kyai Ahmad Sanusi, tidak menyetujui
tujuh kata anak kalimat Ketuhanan.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 04:00 naskah baru pernyataan kemerdekaan
dirumuskan dalam suatu pertemuan di rumah Maeda, seorang perwira Angkatan
Laut Jepang. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada hari itu pukul 10:00 di Jalan Pegangsaan Timur
No. 56. Keesokan harinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta untuk menetapkan UUD.
Ternyata sebelum waktu penetapan Hatta menyampaikan empat usulan perubahan
rancangan UUD yang sudah ditetapkan oleh BPUPKI. Usulan tersebut sebagai
berikut:

1. Kata Mukhadimah diganti dengan kata Pembukaan.

2. Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.

3. Mencoret kata-kata dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyi
Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.

4. Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah.

Usulan perubahan diterima bulat oleh PPKI. Soekarno juga menekankan bahwa
UUD 1945 tersebut hanyalah sementara, yang akan diubah oleh MPR setelah
Indonesia dalam suasana lebih tenteram.

Ada alasan kuat mengapa Hatta mengajukan empat usulan perubahan. Dalam buku
karya Hatta dengan judul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
dikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan bahwa ia didatangi oleh
seorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya, pada tanggal 17
Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa bahwa orang Kristen di
kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas tujuh kata dalam Pembukaan UUD.
Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh kata itu tidak mengikat mereka, namun
mereka memandang hal itu sebagai diskriminasi terhadap golongan minoritas.

Hatta sendiri sudah menjelaskan kepada perwira tersebut bahwa ketetapan
rancangan UUD merupakan hasil kesepakatan dua pihak, Islam dan Nasionalis.
Perwira tersebut meyakinkan Hatta bahwa wilayah Indonesia bagian Timur akan
menolak bergabung ke dalam negara persatuan Indonesia. Hatta akhirnya lebih
memilih persatuan ketimbang perpecahan dan menerima keberatan orang Kristen.
Tentu saja ketetapan PPKI tersebut membuat sakit hati pihak Islam. Akan
tetapi mereka tidak dapat menolaknya, karena suasana waktu itu sangat
darurat. Mereka masih berpengharapan akan memasukkan misi mereka di masa
yang akan datang.

Piagam Jakarta sebagai Sumber Konflik
````````````````````````````````````````````````
Pihak Islam fundamentalis tidak menyerah. Mereka masih melihat peluang
perubahan UUD 1945 seperti yang dikatakan Soekarno pada sidang PPKI.
Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 15 Desember 1955,
diadakanlah Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk di
Konstituante, sebuah lembaga pembuat UUD sebagai pengganti UUD 1945.
Presiden Soekarno melantik anggota-anggota Konstituante pada tanggal 10
November 1956. Partai-partai Islam meraih 230 kursi, sedang partai lainnya
(Nasionalis, Kristen, Sosialis, dan Komunis) meraih 286 kursi.

Pada sidang Konstituante terjadilah perdebatan yang berlarut-larut tentang
dasar negara. Para wakil partai-partai Islam tetap memegang Pancasila
sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Para wakil-wakil lainnya
menyetujui kembali kepada UUD 1945. Namun demikian kedua pokok masalah itu
menemui jalan buntu, karena tidak dapat diputuskan dengan suara
sekurang-kurangnya dua pertiga anggota Konstituante. Menghadapi suasana
kritis ini Presiden Soekarno turun tangan. Pada tanggal 5 Juli ia
mengeluarkan dekrit, yang salah satu isinya ialah pemberlakuan lagi UUD 1945
dan pembubaran Konstituante.

Bagi sebagian orang Islam Dekrit Presiden mengandung pengertian hidupnya
kembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan Piagam Jakarta
merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Usaha-usaha untuk memasukkan
kembali Piagam Jakarta ke dalam agenda nasional terus berlangsung sampai
akhirnya diredam oleh pemerintah Orde Baru lewat Tap MPR no. II/MPR/1978.

Setelah berakhirnya era Orde Baru dimulailah era reformasi. Keterbukaan ini
membuat orang-orang seperti kuda lepas kendali. Sepertinya orang bebas
berbicara apa saja. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh partai-partai Islam
untuk meniupkan isu Piagam Jakarta ke dalam agenda sidang MPR hasil Pemilu
1999. Dua partai yang ngotot sejak November 1999 untuk membahas Piagam
Jakarta adalah PPP dan PBB. Meskipun pada Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000
usulan mereka tidak ditanggapi, mereka tetap bersemangat memasukkannya ke
dalam agenda ST MPR tahun 2001.

Dampak Pemberlakuan Piagam Jakarta terhadap Hubungan Antarumat Beragama
Seperti ditulis di atas bahwa Piagam Jakarta kembali marak setelah
berakhirnya era Orde Baru. Sejak itu lahirlah partai-partai berasaskan
Islam. Selain itu banyak ormas yang keras memperjuangkan aspirasi Islam.
Tidak itu saja, ada juga kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, walau
jumlahnya kecil.
Piagam Jakarta dianggap sebagai jaminan konstitusi bagi umat Islam untuk
dapat dengan leluasa mengatur umatnya sendiri agar lebih taat beragama.
Persoalannya tidaklah sesederhana itu. Banyak masalah yang akan mengganjal,
yang bukan saja berpautan dengan kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia,
tetapi juga adanya keanekaan pemahaman dalam umat Islam sendiri khususnya
yang berpautan dengan bentuk nasabah (relationship) agama dan negara.

Dalam ST MPR 2001 Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam agenda. Kebiasaan
sebagian kecil partai Islam untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam  ST MPR
justru dalam aras tertentu tidak mendewasakan kehidupan demokrasi di
Indonesia. Di kalangan Nadhlatul Ulama (NU) permasalahan ideologis bangsa
sudah ada kata akhir seperti yang pernah dikatakan oleh K.H. Achmad Siddiq,
tetapi bagi sebagian kecil umat Islam permasalahan tersebut belum dianggap
selesai.

Tidak ada yang baru dari perdebatan tentang nasabah agama dan negara. Dapat
dikatakan semua yang ada merupakan pengulangan agenda lama yang tidak pernah
sampai pada kata sepakat dengan ketulusan hati. Perdebatan ini menjadi tidak
progresif, karena umat Islam garis keras tidak mau berpikir bagaimana
mengatur negara yang majemuk ini dengan menempatkan semua anasirnya pada
posisi yang sama. Alasan klasik yang dilontarkan selalu saja tentang
mayoritas sehingga merasa lebih berhak untuk mengatur negara ini.

Ketidakpahaman nasabah agama dan negara tidak pernah akan mencair, jika
seluruh umat beragama masih berpikir egois dan melalaikan perasaan penganut
agama lain dan kepentingan bangsa secara serbacakup (comprehensive).
Semestinya agama merupakan urusan pribadi manusia dengan Allahnya. Baik
negara maupun perorangan tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti
atau menaati agamanya. Memang keruwetan nasabah agama dan negara acapkali
melekat pada Islam, karena Islam tidak sepenuhnya dipisahkan dengan masalah
kenegaraan. Yang patut menjadi introspeksi bagi umat Islam adalah Islam
tanpa negara bukanlah Islam yang tidak lengkap.

Persengketaan Piagam Jakarta, yang ditambah dengan munculnya gerakan atas
nama Islam untuk mendirikan agama Islam, oleh kalangan umat lainnya,
khususnya Kristen, acapkali diungkit-ungkit sebagai bahaya laten. Tentunya
ini membuka luka lama hubungan antarumat beragama, khususnya umat Islam dan
Kristen. Hal ini makin diperuncing dengan sikap triumfalistik orang Kristen
garis keras dalam penginjilan.

Pemberlakuan Piagam Jakarta tidaklah sama dengan Piagam Madinah yang dibuat
tahun 622. Ada perbedaan hakiki pada hasil yang dicapainya. Perbedaan
tersebut terjadi karena perumusan yang berbeda antara Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta. Piagam Madinah tidak ada tekanan kewajiban dalam hal
menganut atau melaksanakan agama masing-masing. Dengan demikian Piagam
Madinah telah melahirkan persatuan. Kebalikannya dengan Piagam Jakarta yang
melahirkan ancaman perpecahan. Pencatuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta
merupakan sikap tidak peduli atas perintah Allah yang berdampak melampaui
ambang batas kebenaran.

Bagi pemeluk agama bukan Islam penempatan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
merupakan pilihan yang salah. Jika ketujuh kata itu dimasukkan ke dalamnya,
maka negara dibebani dengan tugas khusus terhadap pemeluk salah satu agama
saja. Negara menjadi tidak netral lagi dan mengancam kesatuan bangsa. Logika
Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan logika Sumpah Pemuda sebagai rumusan
dasar bagi gerakan kebangsaan Indonesia menuntut sendiri agar tujuh kata
dalam Piagam Jakarta mesti dihilangkan.

Sila pertama memberikan wewenang bagi kelompok agama agar mereka sendiri
mengusahakan sesuai dengan pemahaman mereka sendiri agar para pemeluknya
menjalankan etika dan ajarannya. Istilah Ketuhanan yang Mahaesa merupakan
suatu prinsip tentang Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Teologilah yang
dapat menjelaskan dan menakrifkan tentang apa yang dimaksudkan dengan
ketuhanan itu secara nyata. Rumusan sila pertama yang sekarang ini sudah
memberikan ruang yang luas agar agama-agama yang diakui dapat menguraikan
dan mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai Tuhan itu.

Kesimpulan
```````````````
Pembangunan ketaatan beragama lewat daya paksa hukum negara mengandung
konsekuensi berisiko tinggi atas rasa tauhid dalam masyarakat. Hal ini dapat
terjadi, karena rasa takut terhadap negara akan melampaui rasa takut kepada
Allah yang Esa, yang tentunya dapat membangkitkan peluang kemusyrikan dan
kemunafikan.**

Kirim email ke