~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Layanan Informasi Aktual [EMAIL PROTECTED] ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Hot Spot: Kamis, 28 Oktober 2004 ```````````````````````````````````````````` <*>Presiden Baru dan Hambatan Pelaksanaan Ibadah <*>Menteri Agama, Maftuh Basyuni Pemerintah tak akan Tinjau SKB Pendirian Rumah Ibadat ````````````````````````````````````````````
Presiden Baru dan Hambatan Pelaksanaan Ibadah Weinata Sairin ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ SUATU kenyataan yang tak bisa disangkal jika kita berbicara tentang identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan, yang bahkan bersifat multidimensional. Kemajemukan suku, ras, etnik, golongan dan agama adalah warna dasar dan napas yang membuat Indonesia memiliki nilai yang unik dan spesifik. Dan siapa pun mengakui hal itu. Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Menko Polkam dalam ceramah di depan Sidang MPL Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Parapat, Sumatera Utara, 16 November 2001, menegaskan bahwa pluralisme adalah salah satu nilai dasar yang tak boleh dilupakan ketika kita berbicara tentang kerangka bernegara di negeri ini. Menurut SBY, Indonesia adalah negara yang majemuk. Di satu sisi kemajemukan merupakan kekayaan, tapi di sisi lain menjadi suatu kerawanan. Itulah sebabnya the founding fathers pertama-tama mengatakan bahwa kita berbeda-beda tapi satu (Bhinneka Tunggal Ika); dan itulah yang mendorong Kongres Pemuda 1928 merumuskan "satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Siapa pun yang memimpin di ne- geri ini, kata SBY, elite manapun, partai politik mana pun yang tumbuh dan berkembang di negeri ini, pertama-tama harus menyadari bahwa pluralisme adalah nilai dasar yang harus diadopsi dan diimplementasikan. Pernyataan SBY tiga tahun yang lalu itu amat penting dan strategis, justru pada saat ini ketika ia telah tampil sebagai presiden terpilih RI 2004-2009 bersama-sama Jusuf Kalla sebagai wakil presiden; dan ketika power berada di tangannya. Apakah ia akan konsisten melaksanakan apa yang ia ucapkan tiga tahun yang lalu itu? Para anggota MPL PGI yang berhimpun di Parapat, 16 November 2001, memberi apresiasi hangat merespons ceramah Menko Polkam; dan kini mereka sedang menunggu apakah isi ceramah yang sarat dengan pemikiran cerdas dan bernas itu mampu direalisasikan dalam tindak nyata oleh Sang Presiden? Gedung Gereja Sikap diskriminatif dan pelecehan terhadap agama dalam berbagai ketentuan perundangan dan yang terwujud melalui bentuk-bentuk praktis seharusnyalah tidak boleh terjadi dalam sebuah Negara yang ber-Pancasila. Apalagi hal itu dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Namun di lapangan, kenyataan sebaliknya yang justru terjadi. Gereja-gereja dan umat Kristiani di Indonesia acapkali mendapat perlakuan diskriminatif dari oknum pemerintah dan sekelompok warga bangsa. Dalam konteks pembangunan gedung gereja dan pelaksanaan kebaktian amat terasa sikap diskriminatif itu. Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (FKKI) mencatat bahwa sejak Indonesia Merdeka hingga berakhirnya pemerintahan BJ Habibie 20 Oktober 1999, tercatat 611 gedung gereja yang ditutup, dirusak atau dibakar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah ini tentu akan bertambah terus setiap hari. Pada 7 Juni 2004 lalu dilaporkan ada empat gereja dirusak massa di Pamulang, Jakarta Selatan, disertai penganiyaan terhadap pendeta dan warga jemaat. Hal yang amat tragis adalah perusakan itu terjadi tatkala warga jemaat sedang melakukan ibadah di gereja tersebut. Gangguan terhadap umat beragama yang sedang melaksanakan ibadah adalah wujud adanya sikap barbar, arogan dan pelecehan agama dari sekelompok orang yang sulit diterima bisa terjadi dalam Negara yang mengklaim bahwa bangsanya adalah bangsa yang religius. Realitas itu makin diperparah dengan penembakan yang dilakukan terhadap Pendeta Susianti Tinulele di Poso, 18 juli 2004 yang hingga kini belum bisa ditangkap penembaknya. Lepas dari kemungkinan adanya provokator, politisasi agama dan berbagai analisis lainnya tapi kondisi seperti itu sama sekali tidak memberi rasa aman bagi umat Kristiani pada khususnya untuk melaksanakan ibadah mereka. Pelarangan ibadah umat Katolik di Kompleks Sekolah Sang Timur - Tangerang belum lama ini, penutupan 12 gereja di Bandung adalah kasus-kasus kctual yang terjadi dan setiap saat dapat berulang mendera dan menyiksa kekristenan di negeri ini. Sementara tokoh-tokoh lintas agama di tingkat nasional melakukan kunjungan muhibah ke luar negeri sembari mempertontonkan kerukunan, tapi pada tingkat grass root kerukunan itu tidak terwujud. Ironi seperti ini yang acap terjadi di era Orde Baru, mestinya tak boleh lagi terjadi di era SBY-JK. Dalam agenda presiden terpilih, kesukaran umat Kristiani dalam membangun rumah ibadah dan dalam melaksanakan ibadah harus menjadi perhatian serius, jika negeri ini tidak akan jatuh pada bahaya disintegrasi. Pemerintah tidak boleh berpihak pada salah satu kelompok agama, pemerintah dengan sikap kenegarawanan yang tinggi harus memberi jaminan dan fasilitas agar semua umat beragama betapapun kecil jumlahnya mendapat jaminan dalam menjalankan ibadah agamanya. Selama ini yang terjadi adalah pengurusan izin membangun gedung gereja amat sulit, bahkan berpuluh tahun tidak diberikan, sementara melakukan ibadah agama di rumah atau di sekolah tidak dijamin kelangsungannya. SKB Menteri Agama dan Mendagri No 01/Ber-MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969, yang selama ini justru menjadi penghalang bagi pembangunan gedung gereja mesti dicabut dan diganti dengan yang baru, yang lebih adil, demokratis dan menghargai kemajemukan. Tema-tema yang diusung pasangan SBY-JK pada masa kampanye tentang penghargaan terhadap pluralisme, sikap antidiskriminasi, menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa, sudah saatnya diwujudkan melalui kebijakan yang sistemik. Menarik untuk dicatat pandangan Menko Kesra Jusuf Kalla sehubungan dengan permasalahan seputar pembangunan gedung gereja sebagaimana diatur dalam SKB Menag-Mendagri 1989. Prof Dr H Faisal Ismail dalam bukunya Pijar-pijar Islam, pergumulan Kultur dan Struktur, LESFI, Yogyakarta, 2002, merekam pandangan Jusuf Kalla dengan amat jelas. JK sebagaimana dicatat Faisal Ismail menyatakan bahwa SKB itu masih sangat relevan dan perlu dipatuhi oleh masing-masing komunitas agama di Indonesia. Di Negara Barat saja, kata Jusuf Kalla, orang membangun mall ada aturan mainnya. Misalnya, antara lain, jarak lokasi pembangunan mall yang satu dengan mall yang lain harus memenuhi aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jadi pembangunan mall itu tidk boleh di sembarang tempat/ lokasi yang mereka mau sendiri. Sampai di sini pernyataan Jusuf Kalla masih cukup rasional dan dapat dipahami. Namun dalam kalimat berikutnya. Jusuf Kalla, seperti dikutip Faisal Ismail telah membuat pernyataan yang cukup emosional dan punya dampak yang tidak kecil bagi persatuan bangsa. Faisal Ismail dalam bukunya itu menulis: "Kalau ada komunitas agama di Indonesia, kata Jusuf Kalla selanjutnya, yang ingin membangun rumah ibadah menurut kemauannya sendiri-sendiri dan tidak mematuhi SKB yang telah mengatur tentang masalah ini, sebaiknya komunitas agama tersebut bertempat tinggal di negara lain yang tidak ada Departemen Agamanya. Dengan demikian, mereka bisa bebas mendirikan rumah-rumah ibadah di mana saja sesuai dengan keinginan mereka dan tidak perlu terikat dengan aturan semacam SKB yang ada di Negara ini" (Faisal Ismail hlm 208-209). Memang amat disayangkan pernyataan seperti itu bisa terlontar dari seorang pejabat Negara RI yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Kita berharap para pejabat negara bersikap negarawan dan memahami pergumulan yang dihadapi oleh seluruh umat beragama di Indonesia. Pernyataan itu memang diungkapkan pada tahun 2001, kita yakin dalam era pemerintahan SBY-JK, pernyataan-pernyataan yang emosional bahkan cenderung mendiskreditkan sesama warga bangsa tidak lagi menjadi bagian dari gaya kepemimpinan SBY-JK. Rumah Ibadah dan pelaksanaan ibadah umat beragama adalah hal yang paling mendasar bagi setiap umat beragama. Pancasila telah disepakati menjadi dasar negara, dan berfungsi untuk mengayomi kemajemukan agama di Indonesia. Ketika sebagian umat beragama di Indonesia selalu mengalami kesulitan dan diskriminasi yang sistemik dalam Negara ini, apakah Negara RI masih bisa mengatakan bahwa ia negara berdasar Pancasila? Pak SBY, kami menanti kebijakan Anda dalam menata negeri ini, agar harmoni dan kemajemukan diapresiasi dengan baik. Penulis adalah teolog, mantan Wasekum PGI 1989-2000 http://www.suarapembaruan.com/News/2004/10/27/Editor/edi01.htm Menteri Agama, Maftuh Basyuni Pemerintah tak akan Tinjau SKB Pendirian Rumah Ibadat ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Menteri Agama (Menag) Maf-tuh Basyuni mengatakan, pe-merintah tidak akan meninjau Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 tentang pendirian rumah ibadah terkait kasus Sekolah Sang Timur di Ciledug, Tange-rang. Hal ini ditegaskan Maftuh menjawab wartawan usai dite-rima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (27/10). Menurut Maftuh, konsep pe-nyelesaian kasus ini adalah penekanan aspek kerukunan. âKerukunan yang harus dite-kankan,â jawabnya singkat saat ditanya apa yang harus dilaku-kan untuk menyelesaikan kasus ini. Dijelaskannya, dua hari lalu Depag telah membentuk se-buah tim yang dipimpin Abdul Fatah guna menangani masalah ini. Tim ini beranggotakan Dirjen Bimas Katolik Stephanus Agus, dan staf departemen agama. Namun, hingga kemarin, Menag Maftuh mengaku belum menerima laporan kerja tim tersebut. ââKita belum menda-pat laporan dari tim. Kita be-lum tahu apakah tim itu akan membengkak atau itu saja nantinya,â jawabnya soal ke-terlibatan tokoh-tokoh agama dalam tim tersebut. SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 antara lain berisi setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin dari kepala daerah atau pejabat pemerin-tahan di bawahnya yang dikua-sakan untuk itu. Pada bagian lain, Walikota Tangerang H Wahidin Halim menyesalkan sikap sejumlah tokoh nasional seperti mantan Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua Komnas Perlindu-ngan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi datang ke Yayasan Pendidikan Karya (YPK) Sang Timur, Kelurahan Karang Te-ngah, Tangerang, tanpa koordi-nasi terlebih dahulu. âKami menyesalkan sikap Abdurrahman Wahid alias Gus Dus dan Seto Mulyadi datang ke Sang Timur tanpa koordinasi terlebih dahulu dengan aparat pemkot setempat, karena mereka lebih mengetahui per-masalahan yang sebenarnya terjadi,â kata Wahidin Halim kepada pers, Rabu (27/10). Menurutnya, kedatangan Gus Dur dan Seto Mulyadi ke yayasan tersebut menambah rumit masalah yang harus diselesaikan, karena pihak Pemkot Tangerang tidak mem-permasalahkan sekolah yang dikelola YPK itu. Namun uru-san tersebut menjadi rumit ka-rena pada yayasan pendidikan tersebut ada rumah ibadah dengan jamaah mencapai 9.000 orang. Para jamaah ha-rus melewati perumahan De-partemen Keuangan yang di-huni warga setempat hingga menuju rumah ibadah itu. Warga terganggu dengan arus orang dan kendaraan yang melewati kompleks perumahan mereka, padahal sebelumnya warga sudah mengingatkan kepada pengelola yayasan supaya membuat jalan masuk, tapi tidak diindahkan. Pada tahun 1992, awal pembangu-nan Sang Timur, warga meng-izinkan sejumlah alat berat masuk untuk membawa keper-luan material bangunan, sela-ma tiga bulan. Warga sudah menagih janji pengelola agar membuat jalan masuk ke YPK, tapi belum juga ada realisasinya. Akhirnya pin-tu utama yayasan itu dipagar dan aktivitas belajar mengajar terganggu sesaat. Akibat pemagaran tersebut, Gus Dur dan Seto Mulyadi mendatangi Sang Timur, Senin (25/10). Mantan presiden itu juga mem-bawa sejumlah tokoh seperti Nursyahbani Katjasungkana dan tokoh dari Partai Kebang-kitan Bangsa (PKB) ke lokasi YPK di Karang Tengah. Menurut walikota, Pemkot Tangerang tidak pernah me-larang adanya aktivitas belajar mengajar di sekolah itu. Tapi yang disesalkan adalah konflik dengan warga menyangkut adanya rumah ibadah, dan itu adalah urusan lain. Walau be-gitu, kegiatan proses belajar mengajar tidak boleh terhenti di Sang Timur. Walikota juga menyesalkan sikap warga setempat yang bertindak main hakim sendiri dengan memagar jalan masuk ke sekolah itu dan tindakan demikian dinilainya sudah berlebihan. âSaya juga menye-salkan sikap pengelola yaya-san yang mendramatisir kea-daan sehingga menjadi besar dan mendapat perhatian ke tingkat nasional,â katanya. Walikota membahas masalah Sang Timur dalam suatu rapat khusus dengan muspida lainnya di kantor pusat peme-rintahan, Rabu, yang dihadiri Kapolresta Metro Tangerang, Dandim, dan aparat lain-nya.(kcm/*) http://www.hariankomentar.com/lf002.html