~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
    Layanan Informasi Aktual
         [EMAIL PROTECTED]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

"Hukum, Perusakan Gereja, dan Realita Sosial"
````````````````````````````````````````````````````````
Oleh: Augustinus S*

Indonesia notabene adalah negara hukum. Negara hukum berarti setiap warga
negara harus tunduk dan taat kepada hukum sebagai sarana "problem solving"
masyarakat. Hukum di negara hukum harus menjadi panglima apabila negeri ini
ingin hidup tertib dan terjamin perlindungan hak-hak setiap warganya.

Di suatu negara hukum tidak dibolehkan ada pihak-pihak yang menyelesaikan
persoalan sosial dengan menegakkan otoritasnya sendiri-sendiri. Ketika satu
otoritas kelompok dipaksakan kepada kelompok lain akan membawa pada konflik
otoritas yang membawa kepada ketidakadilan sosial ('social injustice').

Di dalam kerangka negara hukum tidak boleh ada tindakan main hakim sendiri.
Semua tindakan warga harus mengacu pada hukum yang berlaku secara nasional
(hukum positip). Itu berarti pula bahwa fungsi aparat penegak hukum (polisi,
jaksa, hakim) tidak boleh diambil alih oleh kelompok masyarakat tertentu.
Tidak boleh ada tindakan warga yang 'extra judiciil' (di luar ketentuan
hukum).

Salah satu tindakan yang jelas-jelas tidak boleh dilakukan di negara hukum
adalah tindakan sekelompok warga yang merusak rumah ibadah (gereja). Selain
bertentangan dengan nilai-nilai kesakralan sebuah rumah ibadah, tindakan ini
jelas tindakan di luar hukum, karena tanpa didahului oleh proses hukum.

Secara konstitusional UUD 1945 dan Undang-Undang HAM dengan jelas telah
mengatur tentang kebebasan beragama dan beribadat yang berarti bahwa secara
normatif pemerintah mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban untuk menjamin
pelaksanaan kebebasan keagamaan termasuk beribadah. Kalau memang terdapat
rumah ibadah yang dianggap bermasalah oleh pihak-pihak tertentu, kenapa
tidak diproses secara hukum saja seperti halnya kasus-kasus lain?

Dalam problematik sosial seperti itu maka patut dipertanyakan posisi negara
dan aparatnya dalam menjamin ketertiban dan melindungi hak-hak warganya.
Bisa dimaknai bahwa negara dan aparatnya masih sering membiarkan
problem-problem sosial semacam itu terjadi. Di satu sisi rumah ibadah sudah
memiliki ijin atau paling tidak sudah terdaftar di instansi (negara)
terkait, akan tetapi penggunaan hak atas ijin itu tidak dilindungi. Lalu, di
mana tugas dan tanggungjawab negara dalam hal ini?

Perlu diingat bahwa sebuah rumah ibadah (gereja) yang sudah memiliki ijin
atau terdaftar di suatu instansi negara jelas membawa konsekuensi yuridis.
Konsekuensi yuridisnya adalah pengakuan keberadaannya oleh negara sehingga
harus dilindungi dan diberlakukan sama dengan rumah ibadah lainnya. Akan
tetapi, entah mengapa negara tidak bertindak terhadap perusakan rumah ibadah
selama ini. Bukankah di KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang
penghinaan dan penodaan terhadap agama?

Peradaban bangsa ini tidak akan maju apabila negara selalu membiarkan
masyarakat bertindak sendiri-sendiri atau main hakim sendiri. Oleh karena
itu, aparat negara atau penegak hukum harus mampu memproses tuntutan
keadilan masyarakat berdasarkan hukum, bukan berdasarkan rasa keadilan
masyarakat. Artinya, keadilan harus mengacu pada kebenaran, bukan pada
pertimbangan rasa adil masyarakat semata. Bila negara mengacu pada rasa adil
masyarakat, tanpa melihat apakah rasa adil masyarakat itu benar atau salah,
bisa berbahaya bagi penegakan hukum dan keadilan.

Sebagai ilustrasi: di suatu perkampungan, mayoritas warganya adalah kulit
putih, hanya satu keluarga yang berkulit hitam (H). Realitas sosial
menunjukkan bahwa semua masyarakat kampung tidak menginginkan si H tinggal
di kampung itu. Mereka merasa tidak nyaman dan merasa terganggu oleh
keberadaan si H. Akhirnya masyarakat kulit putih, dengan menghalalkan segala
cara, berupaya menyingkirkan si H agar pergi jauh-jauh dari perkampungan
itu. Bagaimana seharusnya sikap negara terhadap problem sosial ini?

Dalam ilustrasi di atas, dari segi pertimbangan kuantitas tentu si H tidak
akan bisa berbuat apa-apa. Si H hanya berharap dan meminta keadilan dari
pihak ketiga yaitu negara. Persoalan hukum dan keadilan dalam ilustrasi ini
adalah, apakah rasa keadilan masyarakat kulit putih harus diikuti oleh
negara? Sungguh tidak adil apabila rasa keadilan masyarakat kulit putih yang
dijadikan oleh negara sebagai acuan tanpa melihat dari sisi kebenaran.
Berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan, sikap dan tindakan masyarakat kulit
putih yang diskriminatif rasial jelas tidak benar, sehingga rasa keadilan
mereka bukanlah keadilan yang sesungguhnya.

Dalam konteks inilah diperlukan penegakan hukum yang obyektif dan bersandar
pada nilai-nilai kebenaran. Persoalan rumah ibadah mau tidak mau harus
diselesaikan secara hukum yang berlaku, bukan dengan tindakan main hakim
sendiri. Dengan demikian, tuntutan rasa keadilan sekelompok masyarakat tidak
malah menjadi ketidakadilan bagi kelompok masyarakat lainnya. Keadilan itu
milik semua masyarakat tanpa kecuali. Sebab, hakekat adil adalah bersifat
universal (berlaku untuk semua orang) sejauh pencapaiannya tetap didasarkan
pada nilai-nilai kebenaran.

* Augustinus S
Peserta Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga.

Kirim email ke