~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Layanan Informasi Aktual
eskol@mitra.net.id
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hot Spot : Kamis, 28 Juli 2005
Analisis Parpol: PKS, Tantangan Baru Politik Indonesia
Saiful Mujani; Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)/peneliti
Freedom Institute, Jakarta
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
KETIKA kekuatan mayoritas di DPR menghendaki gaji mereka dinaikkan, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) menolaknya. Tuntutan kenaikan gaji itu sebenarnya
bukan perkara besar, tetapi momentumnya tidak pas. Lebih dari itu, wakil
rakyat yang mayoritas itu kehilangan sensitivitasnya, dan menjadi tidak
kredibel di mata publik karena agenda itu terlalu remeh-temeh dan tidak
mendesak.
Sementara itu, bangsa ini dihadapkan pada banyak masalah besar seperti
krisis BBM, buruknya kesehatan dan kelaparan yang menimpa rakyat, dan
pemberantasan korupsi besar yang belum jelas hasilnya. Sikap PKS itu
menumbuhkan simpati di masyarakat. Elite partai ini terkesan pintar dalam
mengemas isu dan dalam membaca sentimen publik.
Ketika musibah tsunami menimpa Aceh, relawan dari PKS hadir di sana dengan
sangat mencolok mata dibanding relawan dari partai-partai lain. Mereka
bahu-membahu dengan kelompok lain membantu meringankan beban korban tsunami
tersebut. Karena kerjanya ini, PKS dikenal semakin luas oleh publik, dan
simpati tumbuh terhadap partai yang merupakan kelanjutan dari Partai
Keadilan ini. Kata banyak orang, kalau pemilihan umum dilaksanakan sekarang
di provinsi yang belum keluar dari masalah kekerasan tersebut, PKS dipercaya
akan keluar sebagai pemenangnya.
Putaran pertama pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) tingkat dua telah
selesai dilaksanakan. Dari sekitar 160 pilkada daerah tingkat dua, PKS
mengklaim memenangkan di 36 daerah (sekitar 22%). Ini artinya, PKS menguasai
satu dari sekitar lima daerah tingkat dua yang telah selesai
menyelenggarakan pilkada. Ini proporsi yang besar.
Dalam pemilihan umum untuk anggota DPR 2004, PKS mampu meraih suara 7,3%.
Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2002, perolehan tersebut
sangat mengesankan. Ia mampu mengalahkan PAN yang dipimpin seorang tokoh
nasional sekelas Amien Rais. Lebih dari itu, PKS menguat di tengah-tengah
kemerosotan popularitas partai-partai besar.
Sentimen positif
Bagaimana sentimen masyarakat sekarang terhadap partai yang dipimpin oleh
banyak alumni universitas dari Timur Tengah ini? Untuk itu, kita bisa
bertanya kepada masyarakat yang punya hak pilih, partai politik apa yang
akan mereka pilih bila pemilihan umum diadakan hari ini.
Atas pertanyaan ini, menurut rangkaian survei nasional LSI, diperoleh
jawaban yang dinamis dalam satu tahun terakhir ini.
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005072501433401
Prasangka Negatif atas PKS
Analisis Saiful Mujani
-------------------------------------------
TULISAN saya "PKS, Tantangan Baru Politik Indonesia" di halaman satu
menjelaskan kemampuan PKS dalam mengembangkan dirinya. Melanjutkan tulisan
tersebut saya mengatakan bahwa dengan kecenderungan dukungan pada partai
besar lain pada umumnya, kecenderungan untuk mendukung PKS secara umum
cenderung meningkat. Dalam enam bulan terakhir PKS berada pada urutan empat
atau lima. Ia kadang-kadang mengalahkan PKB, tapi selalu unggul di atas PPP
dan PAN.
Kalau sentimen positif publik yang semakin besar terhadap PKS ini dijadikan
ukuran, dan kalau kader-kader partai ini terus menaikkan irama kerja mereka
sementara partai-partai lain tidak cukup bekerja keras untuk menahan
penurunan popularitas partai mereka, PKS punya peluang cukup besar untuk
meningkatkan perolehan suara mereka dalam pemilu 2009. Tidak mustahil PKS
akan menjadi salah satu dari tiga partai besar.
PKS potensial menjadi penantang partai-partai besar, dan karena itu juga
potensial menjadi tantangan terhadap politik Indonesia karena politik
Indonesia sekarang masih banyak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan selain
PKS. Dengan PKS semakin kuat, ia juga akan semakin kuat di DPR, dan tidak
mustahil juga tokoh PKS akan dibuatnya populer sehingga bisa sukses dalam
Pemilihan Presiden 2009. Dibanding pemilih partai lain, pemilih PKS adalah
pemilih yang paling loyal terhadap partainya sehingga keputusan politik
partai cenderung ditaati pengikutnya.
Menguatnya PKS dalam politik kita ke depan mungkin akan menjadi kabar baik,
dan menumbuhkan optimisme bagi politik nasional bila sikap dan perilaku
politik PKS dan para elitenya selama ini dipertahankan atau bahkan
ditingkatkan menjadi lebih baik lagi. Menjelang Pemilihan Umum 2004 PKS
mampu meyakinkan calon pemilih bahwa ia adalah partai terbuka.
Agenda yang diusungnya ialah pemerintahan yang bersih dan peduli pada
kepentingan rakyat. Publik tidak melihat bahwa partai ini partai orang-orang
Islam fanatik yang tidak toleran terhadap keragaman kelompok-kelompok
sosial-politik anak-anak bangsa. Apa yang disikapi dan diperjuangkan di
pentas politik nasional, terutama di DPR dan MPR, oleh para elite partai
ini, sejauh ini tidak ada yang melukai kebangsaan yang dibangun atas dasar
prinsip kesetaraan sesama kelompok agama dan kelompok-kelompok di dalam satu
agama, suku, ras, dan daerah.
Bila prinsip ini juga betul-betul telah menjadi dasar bagi PKS dalam melihat
keindonesiaan dalam kiprahnya di pentas politik nasional, keraguan dan
prasangka sebagian komponen bangsa terhadap PKS dengan sendirinya akan
gugur. PKS akan memberikan kontribusi bagi pembaruan politik Indonesia di
tengah-tengah sinisme publik terhadap partai politik pada umumnya.
Agenda-agenda eksklusif
Tapi PKS sejauh ini belum secara eksplisit menyatakan komitmennya terhadap
pluralisme sosial-politik bangsa ini. Masih menyimpan tanda tanya di
sebagian anak bangsa ketika secara eksplisit partai ini ingin membangun
sistem kehidupan masyarakat dan negara sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ini
membuka celah bagi sebagian anak bangsa untuk ragu terhadap komitmen PKS
terhadap pluralisme. Belum jelasnya sikap ini juga membuka prasangka, kalau
PKS selama ini mengesankan sebagai partai terbuka hal itu hanyalah strategi
partai mengingat ia belum menjadi kekuatan dominan di pentas politik
nasional.
Bila ia sudah menjadi dominan, demikian prasangka ini berlanjut, karakter
asli dari partai ini akan keluar: meninggalkan prinsip pluralisme
sosial-politik dan mengedepankan agenda pemberlakuan satu versi atas
penafsiran syariat Islam bagi kehidupan sosial-politik bangsa ini.
Misalnya pelarangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin, pelarangan
terhadap nonmuslim untuk menjadi pejabat publik, pelarangan terhadap bunga
bank, dan lain-lain. Semua ini menurut satu versi penafsiran atas syariat
diharamkan. Demokrasi elektoral bisa memberi jalan untuk diperjuangkannya
agenda-agenda politik eksklusif tersebut. Bila pemilihan umum dimenangkan
PKS, dan PKS menjadi kekuatan dominan di parlemen, ia punya kekuatan untuk
melegislasi agenda-agenda tersebut.
Prasangka demikian sesungguhnya bukan tanpa alasan, setidaknya kalau kita
mencermati kecenderungan prasangka negatif pendukung PKS terhadap kelompok
agama lain, dan kecenderungan dukungan terhadap beberapa agenda syariat dari
satu versi penafsiran terhadapnya. Dalam sebuah survei nasional PPIM-Freedom
Institute akhir tahun lalu, anggota masyarakat ditanya apakah setuju dengan
sebuah keyakinan bahwa orang-orang bukan Islam tidak akan pernah senang
terhadap orang Islam sebelum mengikuti agama mereka.
Jawaban terhadap pertanyaan ini kemudian disilangkan dengan jawaban terhadap
identifikasi diri dengan partai politik, dan diperoleh proporsi yang
menunjukkan bahwa orang-orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan PKS
paling banyak yang menyatakan setuju dengan keyakinan tersebut (tabel).
Sekitar 7 dari 10 orang yang mendukung PKS punya keyakinan demikian. Pada
pendukung partai-partai besar lain, proporsi yang berkeyakinan demikian
tidak ada yang melampaui 50%, termasuk di PPP dan PAN.
Konsisten dengan sikap itu, para pendukung PKS pada umumnya juga cenderung
mendukung sejumlah agenda pemberlakuan satu versi penafsiran atas syariat
Islam dalam kehidupan sosial-politik. Misalnya saja dalam soal pengharaman
atas kepemimpinan perempuan yang sampai hari ini terus diperdebatkan di
kalangan intelektual dan ahli Islam. Juga dalam soal pengharaman terhadap
bunga bank yang sampai hari ini masih diperdebatkan. Isu kepemimpinan
perempuan dan bunga bank sangat penting. Keduanya berkaitan dengan lembaga
politik dan ekonomi modern.
Dari survei nasional yang sama ditemukan, sekitar 7 dari 10 pendukung PKS
setuju dengan pendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala negara
atau presiden. Juga sekitar 7 dari 10 pendukung PKS setuju kalau pemerintah
melarang bunga bank karena bunga bank haram.
Prasangka terhadap nonmuslim dan dua agenda dari satu versi atas penafsiran
syariat Islam tersebut berhubungan cukup kuat dengan pendukung PKS.
Hubungannya bisa timbal balik. Semakin kuat prasangka terhadap nonmuslim dan
dukungan atas pelaksanaan agenda-agenda syariat itu di masyarakat maka
kemungkinan besar semakin besar pula dukungan terhadap PKS. Atau sebaliknya,
semakin besar dukungan terhadap PKS maka semakin besar prasangka tersebut,
dan semakin besar dukungan terhadap agenda-agenda syariat tersebut di dalam
masyarakat.
Kalau pola itu mencerminkan platform dan gerakan atau dakwah di dalam PKS,
orang punya alasan untuk tidak optimistis dengan kontribusi PKS bagi
keindonesiaan modern yang bertumpu pada prinsip pluralisme dan rasa saling
percaya sesama warga apa pun agamanya. PKS akan dipandang sebagai tantangan
bagi keindonesiaan modern. Di antara elite PKS sendiri tentu saja ada
kekuatan yang menghendaki agar PKS menjadi partai modern dan terbuka, dan
karena itu perlu semakin mengendurkan pola hubungan antara partai ini dan
agenda Islam yang eksklusif.
Sebaliknya, ada pula yang menghendaki agar PKS lebih tegas dalam
memperjuangkan agenda-agenda eksklusifnya. Dengan demikian pola yang
menunjukkan hubungan antara dukungan terhadap PKS dan dukungan terhadap
agenda-agenda yang eksklusif tersebut harus terus diperkuat. Bila kekuatan
ini yang dominan di dalam PKS, PKS betul-betul akan menjadi tantangan baru,
bukan saja bagi partai politik lainnya, tapi juga bagi politik Indonesia
secara keseluruhan. PKS akan menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari
penyelesaian bagi bangsa ini. Kecenderungan mana pada akhirnya yang akan
dominan di dalam PKS, kecenderungan dengan agenda-agenda politik inklusif
atau eksklusif, sejarah yang akan memberikan kesaksian nanti. ***
http://www.mediaindo.co.id/cetak/berita.asp?id=2005072422464709