~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
    Layanan Informasi Aktual
         eskol@mitra.net.id
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hot Spot: Jumat, 14 Oktober 2005
 
SUARA PEMBARUAN DAILY

Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif dan HAM

 JE Sahetapy

And even if we should not be able to agree, let us do so in a way which will make the world safe and secure still in our diversity

- John F Kennedy

SIAPA yang tidak mengenal dan memahami Bhinneka Tunggal Ika? Praktis semua orang, termasuk sebagian besar orang asing atau warga negara Republik Indonesia, dengan perkecualian orang-orang atau suku-suku tertentu di daerah pedalaman beberapa pulau tertentu di Tanah Air kita.

Pemahaman ini tidak berarti dengan sendirinya diimplementasikannya atau dihayati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, wakil-wakil rakyat yang terhormat di Senayan dan para Pemimpin Bangsa dan Negara acapkali kurang mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan.

Sebelum dan sesudah Indonesia diproklamasikan, bahkan sampai kini pun, selalu ada saja yang mempersoalkan hal tersebut atau (sengaja) dilupakan aspek Kebhinekaan, apalagi kalau itu dikaji dalam konteks dengan HAM.

Yang mengherankan parameter mayoritas seringkali yang jadi tolak ukur "absurditas". Catatan singkat dari perspektif sejarah tanpa ingin mengelaborasi, apalagi secara mendalam, dapat dicatat kebhinnekaan sudah diperdebatkan sejak percakapan dalam BPUK. Ide/konsep integralistik pada mula pertama dari Prof Soepomo sesungguhnya tidak mengakui, antara lain hak berkumpul dan hak kebebasan beragama. Kemudian beliau menerimanya dan juga tertuang dalam Mukadimah UUD 1945 adalah kenyataan sejarah. Itu semua karena dialektika dan dinamika waktu.

Dari segi legalistik positivistik dan persoalan akademik, Hukum Pidana seyogianya tidak bertumpu pada konsep Bhinneka Tunggal Ika, kecuali untuk Hukum Perdata dalam arti luas dan beberapa bidang hukum lainnya. Tetapi secara politis, konsep pemikiran yuridis yang seharusnya bernalar nasionalistik setelah Reformasi mengalami "Umwertung Aller Werte" setelah adanya realita NAD.

Seperti yang pernah saya tulis dalam "Dr Jekyll and Mr Hyde" (2005), di zaman mantan Presiden Soekarno, beliau berkata bahwa, "met de juristen kunnen wij geen revolutie maken". Tajam dan pedas kritik itu, entah benar atau tidak. Tapi Bung Karno lupa yang menyusun UUD 1945 dan UUD 1950 adalah para juristen. Bahkan dalam UUDS, dasar pemikiran HAM sudah dicantumkan, terlepas dari kritik Soekarno bahwa peran juristen selalu textbook thinking.

Berjiwa Reformasi

Di zaman mantan Presiden Suharto, hukum "dikandangkan" dan praktis tidak ada yang berani bersuara karena despot yang kejam ini, meskipun tampak ramah senyum, bisa menggunakan hukum tangan besi melalui para oknum sepatu bot.

Bukan saja itu, nasionalisme Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika disulap menjadi "nasionalisme Mataram dan atau nasionalisme Mojopahit" dengan prototype Jawa.

Kehidupan masyarakat adat dan struktur perdesaan berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika diobrak-abrik. HAM sekadar hanya pajangan. Baru jadi semacam "Gulag"-nya Rusia.

Pada waktu era transisi Habibie, penegakan hukum ditelantarkan. Bahkan Undang-Undang Korupsi Nomor 30 Tahun 1999 yang dikonsepkan oleh beberapa guru besar lahir tanpa anus. Implikasi dan konsekuensi, yaitu semacam koruptor di zaman Suharto, tidak bisa di pengadilankan. Setelah saya ribut dalam Komisi II DPR pada waktu itu, kemudian dipersiapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Ketika di masa mantan Presiden Abdurrahman Wahid hukum hendak direformasi, para akrobat politisi di kandang serigala di Senayan akhirnya menjegal beliau. Hemat saya, beliaulah yang paling berjiwa reformasi dan menghormati Bhinneka Tunggal Ika dan HAM, terutama yang menyangkut keagamaan dan budaya, terlepas dari suka atau tidak suka.

Pada waktu mantan Presiden Megawati Soekarnoputri berkuasa, hukum seperti berjalan di tempat. HAM dilihat dengan sebelah mata dan dalam beberapa hal sikapnya mengecewakan.

ìWe want change" sebagai semboyan yang segar lalu muncul. Beberapa waktu kemudian semboyan itu menjadi layu. Rakyat Indonesia memang memiliki presiden de jure, tetapi tidak jelas sekarang siapa presiden de facto. Janji-janjinya sedap didengar seperti nyanyian di zaman Jepang, yaitu "memang lidah tak bertulang".

Partai yang berpretensi dapat mandat dari "surga", dengan janji pemilu yang menggiurkan, gigi mereka kemudian sakit ketika rumah-rumah ibadah digebuk dan ditutup.

Dari perspektif hukum, juga secara politis, apakah konsep "Bhinneka Tunggal Ika" masih bisa bertahan atau menjadi Bhinneka Tinggalkan Ika? Undang-Undang Pilkada yang bisa di -"hocus pocus" di zaman Megawati telah menjadi bom waktu yang dahsyat. Korupsi di zaman Suharto yang dipraktikkan di bawah meja kini menjadi permainan "rolet" di atas meja.

Bung Karno memang benar. Masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri (1 Juni 1945). Dalam ungkapan sekuler, "Kecantikan ada di mata Anda." Ukuran apa Anda pakai!

Allah tidak pernah memberi mandat kepada siapa pun atau kelompok manapun dan pemerintah seolah-olah bersikap masa bodoh, ketika ada yang hendak mengatur orang masuk ke surga atau ke neraka.

Anehnya, yang berteriak HAM justru menjadi perusak HAM. Penutupan/pengrusakan rumah ibadah atau kantor perbedaan tafsir agama cuma terjadi di negara komunis. Pancasila sudah di pencaksilatkan.

Bhinneka Tunggal Ika sudah menjadi huruf-huruf mati. SKB yang tidak dikenal lagi dalam peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004) masih ingin dipertahankan "ten koste van wat!". Karena kami yang paling "benar?". Jadi kompetensi kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi.

Mungkin para "Sanhedrin" belum membaca Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. (HAM itu bukan "makanan" haram, tetapi HAK ASASI MANUSIA).

Korupsi telah menjadi "hallmark" di negara kita. Idem ditto dengan pelanggaran HAM. Banyak pelanggaran HAM sudah diselesaikan di pengadilan HAM, tetapi ada anggota masyarakat yang belum puas. Mereka yang tidak pernah diadili dan "disimpan" di pulau Buru demi Pancasila, oleh Laksamana Sudomo dikembalikan ke masyarakat demi Pancasila. Sungguh suatu "abracadabra".

Dan, mereka itu kini terlunta-lunta dan stigma sampai anak cucu yang melekat di jiwa dan kartu penduduk, entah kapan bisa dibersihkan demi harkat dan martabat kemanusiaan. Apakah Pulau Buru di zaman Orba seperti Gulagnya Rusia belum cukup atau Peristiwa Mei 1998 masih perlu lagi seperti pernah diucapkan oleh RI-2.

Bom Politik

Pelanggaran HAM di Papua, Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku Tengah, dan akhir-akhir ini di Jawa Barat dan Banten seolah-olah belum juga terdengar dan terlihat oleh Pemerintah? Ah, mereka itu memandang tetapi belum melihat, mendengar tetapi belum mengerti (ef. Markus 4 : 12). Semua itu mungkin dianggap sebagai modal politik, atau lupakah bahwa itu bisa jadi bom politik?

Kesimpulan dalam segenggam. Hukum dan penegakan hukum di Indonesia belum jelas dan jalan benar, apalagi yang menyangkut sistemnya, apakah mandiri dengan bersumber pada Pancasila dengan ramifikasi Bhinneka Tunggal Ika.

Ataukah dalam konteks globalisasi di mana "hallmark"-nya demokrasi liberal dengan paradoksnya kapitalisme.

Masalah ini, hemat saya , belum terpecahkan. (Simak buku Francis Fukuyama The End of History and The Last Man, 1993). Juga pada waktu dibicarakan Amendemen UUD 1945. Untung dengan Dekritnya Bung Karno pada tahun 1959, ketika UUD 1945 dimuat (kembali) dalam Lembaran Negara, Mukadimah "dipisahkan" dari Batang Tubuh UUD 1945. Pada waktu debatnya amendemen ada keinginan untuk "menulis kembali" Mukadimah ketika bergolaknya proses Amendemen UUD 1945.

HAM tidak akan terselesaikan jika persoalan dendam kesumat mau diselesaikan secara politis atau secara yuridis. Tampak Indonesia belum memiliki figur atau jiwa atau moralitas seperti Nelson Mandela, yang meskipun diperlakukan secara tidak manusiawi selama dipenjara, beliau menyelesaikan rekonsiliasi dengan indah. Apakah orang Indonesia yang beragama bisa forgive but not forget? *

Penulis adalah Guru Besar Emeritus, Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) RI


Last modified: 13/10/05
 
*************************************************************************************************
Satu tangan tak kuasa menjebol 'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.
Tapi bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,
kita akan berkata, "Kami mampu!"
 
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
*************************************************************************************************
Redaksi Eskol-Net menerima informasi/tulisan/artikel yang relevan.
Setiap informasi/tulisan/artikel yang masuk akan diseleksi dan di edit seperlunya.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan masukan harap menghubungi
Redaksi Eskol-Net <eskol@mitra.net.id>
*************************************************************************************************

Kirim email ke