~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
    Layanan Informasi Aktual
         eskol@mitra.net.id
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hot Spot: Jumat, 18 Nopember 2005

Politik Kerukunan Model Kolonialisme
Oleh : Benny Susetyo Pr
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Langkah pemerintah merevisi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan 
Menteri Dalam Negeri No 1/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah 
dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat 
Agama oleh Pemeluk- pemeluknya dinilai banyak pihak tidak memberikan ruang 
untuk menjalankan ekspresi kebebasan beribadat.

Revisi yang tujuannya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi 
selama ini, justru akan menghasilkan masalah baru yang lebih 
mengkhawatirkan. Lembaga Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsam) (Kompas, 25/10) 
dalam draf yang diperolehnya tertanggal 3 Oktober 2005 mempersoalkan bahwa 
revisi SKB dua menteri itu tidak akan menyelesaikan persoalan yang sekarang 
ini merebak, tetapi dikhawatirkan malah menimbulkan persoalan baru.

Kini, untuk menjalankan ibadah harus ada izin dan hal itu jelas akan semakin 
sulit. Seperti lazimnya budaya aparat kita, yang mudah saja bisa menjadi 
sulit apalagi yang sudah terasa sulit jelas akan tambah dipersulit. Itu 
nyata dan tidak bisa dielak, apalagi semakin ditegaskan dengan draf revisi 
yang terkesan sebagai "politik akal-akalan" itu.

Dalam naskah tersebut dinyatakan pendirian rumah ibadat harus mendapatkan 
dua izin, yaitu Izin Prinsip Pendirian Rumah Ibadat (IPPRI) dan Izin 
Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMBRI). IPPRI diterbitkan oleh bupati/wali 
kota sebagai dasar pengajuan permohonan IMB rumah ibadat, sedang IMBRI 
diterbitkan oleh bupati/wali kota untuk pembangunan rumah ibadat.

IPPRI harus diajukan oleh ormas keagamaan atau panitia pembangunan rumah 
ibadat kepada bupati/wali kota, yang dilengkapi dengan rekomendasi Forum 
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kelurahan/desa, rekomendasi FKUB kecamatan, 
FKUB kabupaten/ kota, dan rekomendasi Kepala Kantor Departemen Agama 
Kabupaten/Kota. Sedangkan IMBRI harus dilengkapi IPPRI, persyaratan IMB 
sesuai peraturan daerah kabupaten/kota.

Ini birokrasi yang super rumit. Membayangkannya saja sudah ruwet, apalagi 
kenyataannya. Dan kita sudah lelah dengan pengalaman kalau perihal beragama 
berada dalam pengaturan birokrasi, yang terjadi kita tidak jadi beribadat 
tetapi akan disibukkan dengan intrik.

Sarat Kepentingan

Betapa sulitnya beribadat di negara Pancasila. Sudah ada keinginan baik 
untuk merevisi SKB yang tidak membuat umat beribadat secara terikat, kini 
justru hasil revisi itu tidak lebih toleran, tidak lebih demokratis, dan 
tidak lebih baik dari yang direvisi.

Polemik yang terjadi di publik ini sebenarnya dipicu dari ketika negara 
melakukan intervensi terhadap umat beragama dan sejauh mana intervensi itu 
dilakukan. Dalam konsitusi negara kita secara jelas dikatakan negara 
memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk menjalankan ibadat.

Persoalannya timbul ketika negara dengan badan publiknya yang mengurus hal 
ini kerapkali kurang bisa memainkan peranannya sebagai zona netral. Padahal 
aparat negara harus berlaku adil untuk semua warga negara. Perlaku adil akan 
menjadi dasar untuk menjalankan konsitusi yang seharusnya menjadi perekat 
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Realitasnya, negara gagal memainkan peranannya sebagai pemersatu anak bangsa 
ini. Kecenderungannya adalah negara yang ingin mencari rasa aman dengan 
menodai prinsip konstitusional. Peraturan yang dibuatnya kerapkali 
menimbulkan potensi konflik baru karena peraturan dibuat berdasarkan asumsi 
ketidakpercayaan terhadap masyarakat.

Asumsi inilah yang melahirkan kata-kata "pembinaan", "pengawasan" dll. 
Pembinaan dimaksudkan merukunkan warga karena negara memandang masyarakat 
penuh konflik. Politik kerukunan ini didasari oleh filosofi yang indah dan 
baik, tapi di balik politik kerukunan ini ada semacam bom waktu yang sengaja 
dibuat untuk menciptakan potensi konflik baru dalam menata kehidupan 
beragama.

Model Kolonial

Politik seperti ini terjadi ketika kehidupan beragama diatur dalam zone 
berdasarkan jumlah pemeluk umat beragama. Padahal ini merupakan pola pikir 
kolonial untuk mencurigai umat beragama sebagai entitas yang membahayakan. 
Peraturan dibuat sedemikian rupa supaya umat beragama mudah diadudomba.

Realitas itulah yang kita temukan dalam draf revisi SKB dua menteri itu. Di 
dalamnya ada bahaya besar ketika umat beragama akan mudah dijadikan kayu 
bakar. Kerukunan umat beragama adalah buah dari penghayatan imannya kepada 
Tuhan-Nya. Inilah yang membuat umat beragama menjadi lebih dewasa, tulus dan 
jujur dalam membangun relasi dengan sesamanya.

Tetapi ini pula yang hilang ketika umat beragama dijadikan sumbu untuk 
menciptakan konflik baru. Asumsi inilah yang akan membawa bangsa ini dalam 
bencana. Perukunan umat beragama itu seolah-olah hanya dapat dilakukan oleh 
negara. Kita melihat warna etatisme itu sangat kuat/mendalam.

Terdapat kesan untuk mereduksi identitas menjadi komunalitas di mana hal ini 
akan membuat masing-masing kelompok merasa terancam oleh kelompok yang bukan 
kelompoknya sendiri. Kalau agama tidak dipahami sebagai kualitas melainkan 
hanya dilihat dalam kerangka kuantitasnya, maka jelas dari sini masyarakat 
sudah merasa terkotak-kotak.

Kalau agama dilihat dalam kerangka kuantitas, akan potensial dijadikan 
sarana untuk mengorbankan agama lain. Jika itu maksudnya, maka wajar drat 
SKB itu segera disahkan. Keterkotakan dan keretakan itu potensial sekali 
untuk diadudomba. Adu domba itu membuat masyarakat terbagi-bagi sehingga 
dengan mudah dikuasai. Ini sebuah praktik "divide et impera" yang dibangun 
berdasarkan keterbagian dan penguasaan.

Penulis adalah Budayawan

Copyright © Sinar Harapan 2003
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0511/17/opi01.html

*************************************************************************************************
Satu tangan tak kuasa menjebol 'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.
Tapi bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,
kita akan berkata, "Kami mampu!"

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
*************************************************************************************************
Redaksi Eskol-Net menerima informasi/tulisan/artikel yang relevan.
Setiap informasi/tulisan/artikel yang masuk akan diseleksi dan di edit 
seperlunya.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan masukan harap 
menghubungi
Redaksi Eskol-Net <eskol@mitra.net.id>
*************************************************************************************************
 

Kirim email ke