************************
     Layanan Informasi Aktual
          eskol@mitra.net.id
************************
Artikel Lepas: Selasa, 20 Desember 2005

Revisi SKB Tidak Mendidik Rakyat
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Oleh: Augustinus Simanjuntak*

Poin penting yang menjadi sorotan akademis dalam revisi Surat Keputusan
Bersama (SKB) Dua Menteri No. 1 Tahun 1969 usulan Pemerintah adalah bab
mengenai Pembinaan Kerukunan Umat Beragama. Pasal 2 SKB mengatakan bahwa
pembinaan kerukunan umat beragama ditujukan untuk membina, membangun dan
mewujudkan keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi rasa saling
pengertian, saling menghormati, toleransi dan kerjasama dalam mengamalkan
agamanya serta menjaga persatuan, ketertiban dan ketentraman bermasyarakat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, pembinaan dimaksud ditugaskan kepada Gubernur dan Bupati/
walikota, dan dibantu oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama setempat.
Para kepala daerah bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat
dalam kehidupan keagamaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah
dibidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan
keagamaan.

Walaupun norma pembinaan di atas bersifat mengatur (bukan memaksa), akan
tetapi pengaturan yang demikian otomatis membawa konsekuensi logis terhadap
urusan birokrasi peribadatan yang rumit dan
berbelit-belit, walaupun melibatkan apa yang disebut Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB). Mengapa demikian?

Sebab bab itu mau menunjukkan kepada publik bahwa kerukunan umat beragama
itu sangat tergantung pada peran negara. Kerukunan itu mau dikondisikan
bersumber dari atas (pola 'top down'), bukan dari bawah, sehingga format
atau konsep kehidupan yang rukun serta-merta diambil alih oleh pemerintah.
Konsekuensinya, kerukunan menjadi sesuatu yang bernuansa politis karena
musti dikaitkan dengan
dalih-dalih stabilitas negara atau gangguan ketertiban masyarakat.

Politisasi kerukunan umat beragama ke dalam aspek kekuasaan secara mutatis
mutandis akan memudahkan agama dijadikan sebagai alat politik kepentingan,
termasuk kebiasaan "membisniskan" alat birokrasi yang dibentuk seiring
dengan tuntutan pembinaan tadi. Kecurigaan pun muncul, jangan-jangan hidup
rukun yang lahir dari kesadaran masyarakat dikondisikan tidak terlalu rukun
atau
tak terlalu aman biar birokrasi semakin penting dan mahal.

Memang, hal di atas benar-benar menjadi tantangan berat dalam kehidupan
berdemokrasi di negara kita akhir-akhir ini. Para birokrat belum siap dan
enggan untuk melakukan debirokratitasi sebagai tuntutan demokrasi. Di negara
kita, kekuatan politik birokrasi masih sangat berkepentingan atas sebuah
birokrasi, apalagi bagi kekuatan politik yang sumber dananya masih
tergantung pada
mesin uang (birokrasi). Bila perlu, birokrasi itu terus-menerus diperluas.
Pertanyaannya adalah, apakah penambahan jumlah PNS dan kenaikan gaji tiap
pergantian kekuasaan murni sebagai suatu kebutuhan? Atau ada motif lain di
balik itu? Selain mesin uang, bukankah jumlah suara dari pegawai birokrasi
cukup signifikan dalam memenangkan pemilu?

Sebenarnya, kalau pemerintah mau sungguh-sungguh mejadikan rakyat menjadi
dewasa dalam menyikapi perbedaan dan sungguh-sungguh hidup rukun (bukan
dikondisikan oleh
negara), maka negara semestinya cukup mengacu pada "prescribe" (rambu-rambu)
hukum yang menjadi patokan dalam negara hukum yang demokratis. Negara tidak
perlu mengambil alih konsep kerukunan (rukun versi kekuasaan), karena negara
kita bukanlah negara kekuasaan, melainkan negara hukum.

Semestinya, rukun itu dimaknai sebagai konsekuensi dari penerapan hukum yang
adil dan universal, bukan menurut kelompok tertentu. Tujuan hukum adalah
ketertiban, keadilan, dan kepastian. Di sinilah negera tidak boleh hanya
melihat persoalan dari satu pihak atau kelompok tertentu saja. Kebijakan
kekuasaan, misalnya masalah ijin rumah ibadah, semestinya tetap mengacu pada
nilai-nilai
hukum (nasional) yang adil, benar, dan mendidik masyarakat untuk taat hukum
plus prosedurnya. Oleh karena itu, dalam suatu negara yang beradab,
pemerintah semestinya tidak membiarkan perusakan atau penutupan rumah ibadah
secara paksa (main hakim sendiri).

Sebenarnya tidak ada larangan bagi negara untuk membina kerukunan warganya.
Akan tetapi pembinaan itu tidak harus diatur, apalagi akhirnya berimplikasi
birokratis. Akan jauh lebih efektif kalau pembinaan kerukunan beragama
dilakukan lewat lembaga pendidikan, iklan layanan masyarakat, dan
contoh-contoh yang diberikan oleh para pejabat negara.

Biarlah kerukunan itu lahir dari bawah ("bottom up") dengan kesadaran semua
warga, bukan karena diatur atau dibirokrasi-kan. Sedangkan pemerintah
berposisi sebagai pengarah dan menerapkan hukum bila terjadi pelanggaran
atas rambu-rambu hukum yang telah dibuat. Rambu-rambu dimaksud harus kembali
kepada hukum pidana bila ada penghinaan terhadap agama, hukum perdata kalau
menyangkut
sengketa tanah peribadatan, hukum pemerintahan bila menyangkut izin
(dikaitkan dengan kebijakan tata ruang kota/ wilayah).

Jadi, masalah izin peribadatan tidak masanya lagi mengacu pada pertimbangan
"like and dislike" atau pertimbangan politis-sosilogis. Di sinilah
dibutuhkan pemerintahan yang bijak dan arif dalam mendewasakan rakyatnya
dalam menyikapi perbedaan. Sekali lagi, apa yang diatur dalam RUU KUB
bukanlah rambu-rambu dalam konteks peningkatan kerukunan umat beragama,
melainkan sekedar aturan pem-birokrasi-an pembinaan kerukunan beragama.

*Penulis adalah pengamat hukum tinggal di Surabaya.

*************************************************************************************************
Satu tangan tak kuasa menjebol 'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.
Tapi bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,
kita akan berkata, "Kami mampu!"

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
*************************************************************************************************
Redaksi Eskol-Net menerima informasi/tulisan/artikel yang relevan.
Setiap informasi/tulisan/artikel yang masuk akan diseleksi dan di edit
seperlunya.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan masukan harap
menghubungi
Redaksi Eskol-Net <eskol@mitra.net.id>
*************************************************************************************************


Kirim email ke