------
Part I
------

Sudah seminggu terakhir ini ada wacana yang cukup sensitif dilempar ke 
masyarakat oleh Bank Indonesia (BI). Media massa pun menangkap lemparan 
tersebut 
dengan berbagai pengertian, yang sayangnya menurut gue, ada beberapa yang salah 
tangkap. Sebuah headline media ibukota menulis bahwa “Rupiah akan dipotong”. 
Hah?! Binatang kurban kalee… hihihi…

Wacana tersebut, yang memakai jargon “redenomisasi”, adalah sebuah rencana 
untuk 
merubah angka Rp.1.000,- menjadi Rp.1,- tanpa merubah nilai hakikinya. 
Pengertian yang gue pahami, pernah gue ekspresikan pada status facebook gue 
awal 
minggu ini:

“…is ‘redenominasi’ kan cuma merubah angka Rp.1000 menjadi Rp.1… tidak merubah 
‘value’ nya… yang pegang uang Rp.1000 tuker ke bank jadi uang baru Rp.1… yang 
dulu beli pisang goreng pake uang Rp.1000 trus jadi pake uang baru Rp.1 tetap 
dapat pisang goreng yang sama… kok pada ribut?”

Banyak sekali tanggapan dari teman-teman atas status facebook gue di atas. 
Kesimpulan awal gue — semoga gue gak salah — kebanyakan masih terjebak pada 
pengertian bahwa uang Rupiah akan “menyusut” nilainya sebanyak “seribu” kali.

Sebelum dilanjutkan, ada beberapa disclaimer yang ingin gue sampaikan 
sehubungan 
note yang gue tulis ini: pertama, gue gak hebat di bidang ilmu ekonomi secara 
dulu kuliah ambil jurusan teknik elektro, dan secara ekonomi gue juga 
biasa-biasa aja (apa neh maksudnya yang terakhir..? hihihi…).

Kedua, untuk membedakan Rupiah sekarang dan nanti apabila redenominasi jadi 
diberlakukan, gue bedakan istilah mata uang Indonesia yang berlaku saat ini 
yaitu “Rupiah” (disingkat Rp.) dan setelah redenominasi menjadi “Rupiah Baru” 
(disingkat Rb.)…. Oops… maaf Pak Gubernur BI, gue gak bermaksud melakukan 
fait-accompli… hihihi….

Istilah baru untuk mata uang bukanlah hal yang tabu di dunia Internasional. 
Pada 
pertengahan tahun 1990an, saat gue mendapat tugas ke negara Taiwan, gue dapati 
mata uang mereka adalah NT$ atau New Taiwan Dollar.

Intermezo: Sudah menjadi kebiasaan gue — sebelum ke luar negeri untuk jangka 
waktu lama — gue akan cari buku tentang negara tersebut untuk mengetahui adat 
istiadat, kebiasaan, dan sopan santun masyarakat di sana (dulu belum ada 
Internet boow… apalagi iBook di iPad… hihihi…). Sebelum berangkat ke Taiwan, 
gue 
sudah harus tahu DOs dan DON’Ts sebelum berbaur pada lingkungan baru atau 
masyarakat lokal.

Kembali ke New Taiwan Dollar: kalau kita mendengar istilah “New”, rasa 
penasaran 
pasti akan mengarah pada “…apa dunk kalo gitu yang Old?”. Buku yang gue baca 
tentang negara Taiwan menjelaskan, bahwa New Taiwan Dollar memang untuk 
menggantikan Taiwan Dollar yang “Old”. Begini ceritanya: Bank of Taiwan (BI-nya 
negara Taiwan) pada tanggal 15 Juni 1949, mengganti mata uang T$40,000 (baca: 
empat puluh ribu Taiwan Dollar) menjadi NT$1 (baca: satu New Taiwan Dollar).

Selain Taiwan, Turki pada tahun 2005 juga melakukan redominasi mata uang 
Lira-nya. Bahkan angkanya lebih hebat lagi: 1.000.000TL (baca: satu juta 
Turkish 
Lira) menjadi 1YTL (baca: satu New Turkish Lira). Wow! Alasan redominasi mata 
uang negara Taiwan dan Turki sama yaitu hiper-inflasi.

Rencana redenominasi oleh BI saat ini kondisinya berbeda dengan Taiwan dan 
Turki, karena inflasi negara Indonesia masih sebesar single-digit. Official 
Website BI melaporkan bahwa inflasi Indonesia pada bulan Juli 2010 selama 
setahun terakhir adalah 6,22%. Walaupun negara Taiwan dan Turki melakukan 
redominasi karena mereka saat itu sedang mengalami hiper-inflasi, namun yang 
ingin gue sampaikan adalah: sejatinya tidak tabu merubah angka dan istilah mata 
uang pada sebuah negara, selama lebih banyak manfaatnya alih-alih mudharatnya.

Kembali ke Rp. versus Rb.: apabila redenominasi jadi diberlakukan, maka negara 
Indonesia akan memiliki 2 versi mata uang pada saat masa transisi diberlakukan 
BI. Selama beberapa tahun ke depan, Rp.1.000,- (baca: seribu Rupiah) akan sama 
nilainya dengan Rb.1,- (baca: satu Rupiah Baru). Kedua mata uang tersebut akan 
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah hukum Indonesia, sampai 
masa 
transisi dinyatakan selesai oleh BI.

Lalu bagaimana dengan uang yang nilainya di bawah Rp.1.000,-? Ini pertanyaan 
yang sama dengan komentar teman gue terhadap status facebook di atas:

“…Kalo beli permen Rp.500,- jadi Rp.0,5 gt ya San ? aneh bener..kalo Rp.200,- 
jadi Rp.0,2 he he…”

Sebenarnya gak ada yang aneh. Sejarah telah mencatat, Indonesia pernah memiliki 
uang dengan satuan di bawah Rp.1,-. Maka, apabila redenominasi terjadi, bisa 
jadi akan ada Rb.0,50 yang berarti “50 sen Rupiah Baru” senilai Rp.500,00; dan 
akan ada Rb.0,20 yang berarti “20 sen Rupiah Baru” senilai Rp.200,00.

Uang sen Rupiah yang dikeluarkan pada saat Presiden Soekarno berkuasa, rupanya 
mudah dilupakan oleh putrinya sendiri. Minggu ini Megawati Soekarnoputri, 
mengeluarkan pertanyaan pada Rakornas 3 Pilar Partai yang Beliau pimpin di 
Sentul, Kabupaten Bogor, Rabu lalu, 4 Agustus 2010:

“Sekarang contoh konkret bagaimana menghitung mereka yang satuannya tidak tiga 
angka. Uang receh kita kan masih ada 50 perak kan? Silakan saja kalau mau tukar 
tempe?”

Beliau mungkin lupa, bahwa Ayahandanya sendiri saat menjadi Presiden RI pernah 
menerbitkan uang di bawah nilai Rp.1,- yaitu uang sen Rupiah. Jadi 50 perak itu 
(Rp.50,00) sesuai pertanyaan Beliau, nanti saat redenominasi diberlakukan oleh 
BI, akan menjadi Rb.0,05 atau “lima sen Rupiah Baru”. Dengan uang baru segitu, 
tempe tetap kebeli oleh wong cilik.

Ada lagi komentar teman gue terhadap status facebook di atas:

“…kalau redominasi jalan beneran, maka Rp 1,- = ¥ 10,- artinya nilai tukar 
rupiah 10x lebih tinggi dari Yen. Wow …. besar betul bohongnya … ;D”

Well, kalo yang ini penjelasannya agak panjang….
Soalnya ini ada hubungannya dengan junk food McDonald. Lho?!

…bersambung ke Part II…

HM Ihsan Kusasi
Aug 6, 2010


-------
Part II
-------

Sedikit refesh dari Part I, awal minggu lalu gue tulis status facebook berikut:

“…is ‘redenominasi’ kan cuma merubah angka Rp.1000 menjadi Rp.1… tidak merubah 
‘value’ nya… yang pegang uang Rp.1000 tuker ke bank jadi uang baru Rp.1… yang 
dulu beli pisang goreng pake uang Rp.1000 trus jadi pake uang baru Rp.1 tetap 
dapat pisang goreng yang sama… kok pada ribut?”

Dan seorang teman gue memberikan komentar berikut:

“…kalau redominasi jalan beneran, maka Rp 1,- = ¥ 10,- artinya nilai tukar 
rupiah 10x lebih tinggi dari Yen. Wow …. besar betul bohongnya … ;D”

Well, penjelasannya mungkin rada njelimet bikin mumet… hihihi…. Sejatinya 
perhitungan nilai tukar mata uang antar dua negara dipengaruhi banyak faktor: 
nilai ekspor dan impor barang, jasa, dan modal antara kedua negara tersebut, 
serta faktor makro ekonomi lainnya.

Memang benar, apabila redenominasi diberlakukan oleh BI saat ini, maka Rb.1,- 
(baca: satu Rupiah Baru) akan memiliki nilai tukar mata uang Jepang ¥10 (baca: 
sepuluh Japan Yen). Tapi bukan berarti orang Indonesia lebih kaya 10 kali lipat 
dari orang Jepang. Besar kecilnya “angka” dalam nilai tukar mata uang tidak ada 
pengaruhnya terhadap “value” dari barang atau jasa atau modal di negara-negara 
masing-masing.

Penjelasan lebih mudah adalah dengan memakai pendekatan “Big Mac Theory”: 
seperti kita ketahui, Big Mac adalah salah satu menu hamburger di kedai 
McDonald, dan kedai tersebut tersebar ke segala penjuru dunia, dengan standar 
bahan baku, cara masak, dan rasa yang sama. Memiliki “value” yang sama, melalui 
standarisasi dan pengawasan yang ketat dari kantor pusat McDonald.

Pada bulan September 1986, seorang wanita bernama Pam Woodall jurnalis majalah 
The Economist, menciptakan “Big Mac Index” untuk menentukan purchasing power 
parity (mahluk apaan lagi neh..? bikin tambah njelimet aja… hihihi…). Dengan 
index ini, orang yang awam ekonomi seperti gue, bisa dengan mudah secara kasar 
menentukan nila tukar mata uang negara lain. Tidak bikin mumet dengan 
perhitungan ekspor dan impor dan faktor makro ekonomi lainnya.

Pada tabel Big Mac Index tahun 2007 di akhir note ini, kita bisa tahu harga Big 
Mac di Indonesia (Rp.15.900,-) dan di Jepang (¥280). Orang Indonesia dan orang 
Jepang, dengan memakai uang negaranya masing-masing, akan mendapatkan Big Mac 
yang sama pada harga di masing-masing negara. Artinya: “value” yang didapat 
adalah barang yang sama, baik rasa, komposisi, maupun beratnya.

Andaikan, pada tahun 2007, dilakukan redenominasi oleh BI, maka harga Big Mac 
di 
Indonesia adalah Rb.15,90 (baca: lima belas Rupiah Baru sembilan puluh sen) dan 
di Jepang ¥280 (baca: dua ratus delapan puluh Japan Yen). Kalo kita bagi angka 
280 dengan 15,9 maka nilai tukar mata uang Jepang berada pada kisaran Rb.1,- = 
¥17.

Nilai tukar di atas bukan berarti tahun 2007 kita lebih kaya 17 kali dari warga 
Jepang. Toh dengan nilai uang tersebut, sama-sama akan mendapatkan Big Mac di 
masing-masing negara dengan “value” yang sama. Tidak ada yang lebih kaya atau 
lebih miskin.

Kemarin sambil jalan-jalan sekeluarga mencicipin sebuah mall yang sedang soft 
opening di Jakarta Selatan, gue coba mencuri-curi foto sebuah kedai donat dan 
kopi. Sama seperti yang gue dapati setahun terakhir ini, beberapa restoran dan 
kedai makan sudah mulai membuang tiga angka “ribuan” di daftar menu mereka.

Juga selama setahun terakhir, gue gak pernah dapati pengunjung yang protes atau 
bahkan membayar sesuai yang tertulis tanpa angka ribuan. Misalkan tertulis menu 
Nasi Goreng Rp.10, tidak pernah benar-benar orang membayar “sepuluh Rupiah” 
untuk sepiring Nasi Goreng, secara sepuluh Rupiah saat ini mungkin cuma bisa 
mendapatkan tiga butir beras… hihihi…

Penduduk Indonesia yang miskin baik di kota maupun desa, berdasarkan data Biro 
Pusat Statistik bulan Maret 2007, adalah sebanyak 16,58%. Siapa seh yang 
temasuk 
miskin? Tetangga gue yang kerja di kelurahan, pernah cerita: kalo ada keluarga 
yang mangajukan surat kemiskinan ke Kantor Kelurahan, kemudian begitu dilakukan 
survey dan keluarga tersebut kedapatan memiliki televisi di rumahnya, maka 
gugurlah status “miskin” pada keluarga tersebut.

Dengan data statistik di atas, saat ini gue bisa katakan bahwa 50% lebih 
penduduk Indonesia adalah “jutawan”. Secara harga televisi 14″ paling murah 
adalah Rp.1.000.000,- (baca: satu juta Rupiah), maka penduduk Indonesia yang 
memiliki televisi, atau kulkas, atau sepeda, atau motor, sudah akan masuk 
kategori “jutawan”: suatu sebutan yang tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya, 
karena “jutawan” masih diasosiasikan sebagai kondisi yang mapan, kaya, atau 
berlebih.

Dengan rencana redenominasi oleh BI, maka sebutan “jutawan” akan kembali ke 
asosiasi aslinya. Keluarga yang hanya memiliki sebuah motor bebek seharga 
Rp.13.000.000,- (baca: tiga belas juta Rupiah), saat redenominasi nanti tidak 
akan menjadi jutawan lagi, karena harga motor bebeknya menjadi Rb.13.000,- 
(baca: tiga belas ribu Rupiah Baru). Tidak perlu gengsi status jutawannya 
tercabut karena redenominasi, secara keluarga yang hanya memiliki sebuah motor 
bebek memang belum bisa diasosiasikan keluarga mapan, kaya, atau berlebih.

Tapi siapa yang tidak ingin mapan, kaya, atau berlebih secara ekonomi? Mau? 
Mau? 
Mau? Semua manusia gue yakin mau. Namun itu semua secara “value” manusia tidak 
berarti apa-apa, kecuali dia mapan iman, kaya hati, dan berlebih dalam 
bersedekah.

Selamat menjadi “jutawan” di bulan puasa Ramadhan besok…

HM Ihsan Kusasi
Aug 8, 2010 – tiga hari sebelum Ramadhan 1431

http://ihsankusasi.wordpress.com/



      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke