Posted by:      "baswati"      
      basw...@postpi.com      
          
    
      Sat Aug 7, 2010 10:11 am        (SGT)    

    
                  


      

RIWAYAT  KI  AGENG  SURYOMENTARAM 



PANGERAN YANG KECEWA



Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang

jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono

VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang

bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya

bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI

yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Demikianlah, BRM

Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah

seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.



Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji

bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton.

Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar

sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein

Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai

kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.



BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama

tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam

dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.



Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat

menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.



Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya.

Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang

kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah,

yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena

merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah,

perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa

masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan

berkuasa.



KABUR



Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa

menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang,

adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak

mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa

tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton. Penderitaannya semakin

mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:



1. Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari

        jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia. 

        

     2. Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan

        dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya. 

        

     3. Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra

        yang baru berusia 40 hari.

        



Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada

puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku

Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut

tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk

naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak

tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap

menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia

mengganti namanya menjadi Notodongso.



Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri

Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo

(Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran

Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari

sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong

mengerjakan sumur.



PULANG



Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur

membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia

selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira

bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak

puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil

dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan

hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda),

pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.



Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas

kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu

orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke

tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa

Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu

tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap

ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar

ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian

dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat

menghilangkan rasa tidak puasnya.



BEBAS



Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri

Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah

ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain

daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran

kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai

dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke

makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat

kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih

yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil

mengempit payung Cina.



Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel

yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai

disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem

yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira

Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang

menganggapnya seorang wali.



Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja,

Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari

kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.



Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per

bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada

pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia

Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75

per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini

diterimanya dengan senang hati.



Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih

bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih

tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.



Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang

tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di

sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal

dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang

yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.



PERJUANGAN MORAL



Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih

sering ke Yogya. Di Yogya ia masih mempunyai rumah.



Waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki

Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap

malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon.

Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu:



1. Ki Gede Suryomentaram, 

        

     2. Ki Hadjar Dewantara, 

        

     3. Ki Sutopo Wonoboyo, 

        

     4. Ki Pronowidigdo, 

        

     5. Ki Prawirowiworo, 

        

     6. BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram) , 

        

     7. Ki Suryodirjo, 

        

     8. Ki Sutatmo, dan 

        

     9. Ki Suryoputro.

        



Masalah yang dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan

sosial-politik di Indonesia. Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I

yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang

maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis

ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang

sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan

Belanda.



Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan

Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan,

disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena ternyata

Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai

kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas.



Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun

semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam

sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk

membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan

menanamkan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui suatu pendidikan

kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan

nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi pimpinannya, Ki

Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua.



Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram

dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.



PENCERAHAN



Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin

lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di

Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.



Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi

Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia

berkata, "Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!" Sebelum

Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, "Ternyata yang merasa

belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama

ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah

kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa,

dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran

kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang

yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang

tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat

dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa

lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi."



Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat

seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi

teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang - bertemu diri

sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang - bertemu diri

sendiri masing-masing.



Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang

tersebut dinamakan "rasa bahagia", bahagia yang bebas tidak tergantung

pada tempat, waktu, dan keadaan.



Pada tahun 1928 semua hasil "mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri"

itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan

judul "Uran-uran Beja".



Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri

tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.



Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai

selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang

banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar

tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad

menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir

tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.



Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, "Aku

mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak

ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap

tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap

hampir tenggelam." Ki Prawirowiworo menjawab, "Tidak takut apa-apa itu

memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang

putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja." Ki Ageng menjawab, "Kau

benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati

kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh

diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu

kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap,

tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan

itu."



PEMBENTUKAN PETA 



Belanda mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan

ceramah ataupun pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke

Inlichtingen Dienst) atau reserse yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926,

ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, banyak

perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan

sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng bepergian dari

Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh

polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan.

Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng

kemudian dibebaskan.



Pada pertemuan-pertemuan "Manggala Tiga Belas" persoalan-persoalan yang

dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila

Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng

mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga

pilihan, ialah:



1. Membela majikan lama yaitu Belanda. 

        

     2. Ganti majikan baru yaitu Jepang. 

        

     3. Menjadi majikan sendiri yaitu merdeka.

        



Perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak

Belanda dan Jepang. Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri

sendiri, tetapi negeri kita ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau

kita mau pergi, mau pergi ke mana?. Kalau kita tinggalkan tentu akan

diambil oleh orang lain.



Pertemuan "Manggala Tiga Belas" yang pertama diadakan di pendapa Taman

Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat.

Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah

keburu mendarat di Jawa.



Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha kerasuntuk membentuk

tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung

negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat

Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar

Dewantara).



Ki Ageng juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan

yang diberinya nama "Jimat Perang", yaitu pandai perang dan berani mati

dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana.

Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, Ki Ageng memberikan Jimat

Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam

pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di

kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan

berani perang.



Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada

gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk

membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak.

Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano

menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo.



Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9

yang disebut "Manggala Sembilan", masing-masing adalah:



1. Ki Suwarjono 

        

     2. Ki Sakirdanarli 

        

     3. Ki Atmosutidjo 

        

     4. Ki Pronowidigdo 

        

     5. Ki Prawirowiworo 

        

     6. Ki Darmosugito 

        

     7. Ki Asrar 

        

     8. Ki Atmokusumo 

        

     9. Ki Ageng Suryomentaram

        



Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang

di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri

langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang

di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan

tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia

terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara

Sukarela tetap harus dibentuk.



Kemudian Ki Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang

mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan

nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air,

disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada

tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal

kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti

Tentara Nasional Indonesia (TNI).



Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang

disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah

ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga

meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat

pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara

gerilya.



PENUTUP



Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan

ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif

mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah

pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung

Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam

masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya

sehari-hari.



Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan

menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.



Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di

daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya,

dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih

sempat menemukan kawruh yaitu bahwa "puncak belajar kawruh jiwa ialah

mengetahui gagasannya sendiri".



Ki Ageng dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena

sakitnya tidak kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah.

Sakitnya makin lama makin parah, dan pada hari Minggu Pon tanggal 18

Maret 1962 jam 16.45, dalam usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di

rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam

keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan kota Yogyakarta.



Ki Ageng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga

yaituKAWRUH PANGAWIKAN PRIBADIatau yang sekarang lebih dikenal dengan

sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia melepaskan segala

atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi manusia

sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai

sejahtera.





================================================
Satrio Arismunandar 
Executive ProducerNews Division, Trans TV, Lantai 3
Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790 
Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 3542,  Fax: 79184558, 
79184627 http://satrioarismunandar6.blogspot.com
HP: 0819 0819 9163

"Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan turunnya si tigawarna 
(Belanda). Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk, belumlah pekerjaan 
kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat"

(Pidato Bung Karno, 17 Agustus 1950)




 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke