Setujunya sejumlah tokoh di pemerintahan (SBY) mengenai SK bagaimana mengendalikan peningkatan jumlah rumah ibadah penganut agama minoritas non Muslim sebetulnya bertolak dari asumsi/pemahaman yang salah atas gagasan mayoritas-minoritas itu sendiri. Mayoritas dan minoritas di dalam konteks kebijakan SK 3 Menteri Mengenai Aturan Mendirikan Tempat Ibadah didasarkan pada ketidak-tahuan atas fakta. Fakta ialah bahwa penganut agama Muslim tidak selalu mayoritas di setiap daerah. Sebaliknya, penganut agama Kristen, Hindu Bali juga tidak selalu merupakan kelompok minoritas di daerah-daerah khususnya di belahan Timur Indonesia.
Oleh sebab itu teori mayoritas-minoritas menurut agama ini pada saatnya nanti justru akan merugikan kaum Muslim, dan merepotkan elemen negara. Jika di suatu hari perkauman menurut agama semakin kuat dan merubuhkan karakter inklusifitas kebangsaan, karena telah merasuk ranah kehidupan berbangsa, sebagaimana semakin dirasakan oleh warga non Muslim di kantor-kantor pemerintah dan di sekolah-sekolah negeri yang Muslimnya dominan penuh dengan atribut keagamaan. Kaum Muslim di birokrasi semakin diterima sebagai kelas yang berada satu tingkat di atas tingkatan sosial kaum non Muslim. Namun kemudian, repotnya, identifikasi diri sebagai WNI kelas 2 juga semakin dirasakan oleh kaum non Muslim, yang juga banyak di antaranya merupakan etnis minoritas seperti Batak (sebagian) , Bali (nyaris semuanya), Minahasa, Papua, Timor, Dayak dan masih ada ratusan komunitas etnis yang juga non muslim, serta kaum minoritas etnis China yang notabene tidak banyak di birokrasi namun juga kebanyakan menganut agama non Muslim. Jadi aksi warga yang merazia urusan rumah ibadah ini atas dasar SK 3 Menteri bisa juga menimbulkan hal lain. Dampak kebijakan tidak selalu sesuai atau cocok dengan keluaran yang diharapkan pembuatnya. Selalu ada outcome yang tidak diperkirakan. Bagaimana jika di kemudian kesadaran kelompok sebagai mayoritas justru timbul di kalangan non Muslim di Bali, Minahasa, NTT dan Papua. Dalam waktu dekat tidak mustahil kalangan elite Hindu Bali di Pulau Bali menyatakan bahwa gereja dan masjid di pulau Bali sudah cukup. Hal yang cukup kritis dan dapat merepotkan adalah jika Majelis Rakyat Papua menyatakan bahwa di seluruh tanah Papua jumlah masjid, pura atau wihara sudah cukup. ________________________________ From: Zulkifli <zulk_...@yahoo.com> To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Sent: Wed, August 11, 2010 1:33:45 PM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Dimanakah kekuatan suara muslim moderat ? Media tidak membutuhkan orang-orang moderat dalam kaitan ini karena yang mereka butuhkan ialah orang-orang yang membuat ini lebih ramai. Anda mungkin ikut memirsa tayang bincang antara Fadjroel dan Ulil; Fadjroel teruuuuuus memancing si Ulil tentang kebebasan berpendapat; bahwa pemikiran ekstrem boleh-boleh saja. Yang laku lagi, uztad Ja'far yang bertentangan 180 derajat dengan ABB. Salam, Zul --- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Budi Dharma <budiprest...@...> wrote: > > Menyaksikan acara bincang-bincang dalam program berita tv kemarin sore yang >mengupas soal penangkapan lagi ABB, mengapa yang melulu disorot adalah tokoh2 >Islam radikal ? Topik jihad dimunculkan kembali, teroris timbul gara2 benci >soal >Amerika dan sekutunya. > > Disudut lain, sebagian kelompok orang2 “muslim” yang sebenarnya mempermalukan >institusi kepolisian dalam hal keamanan, justru malah diberi peluang tampil >sebagai “pembela”. Gubernur seolah menjadi “tameng” bahwa keberadaan mereka >“sah” walau meresahkan. Fyi, kemarin malam FPI sempat jadi trending topik di >twitter gara2 apa yah ? > > Sementara kalangan minoritas yang beragama lain kian tertekan karena untuk >dapat beribadah sesuai agama dan keyakinan malah diteror. Sudah izin >mendirikan >bangunan dipersulit, eh mau berhubungan dengan Yang Maha Kuasa secara pribadi >pun seakan dihalang-halangi. Ahmadiyah dan umat HKBP menjadi contoh >ketidakjelasan sikap pemerintah untuk melindungi umat beragama di negeri ini. >Apa kata dunia kalau begitu ? > > > Disinilah, sebenarnya tokoh-tokoh agama yang moderat untuk lebih lantang >menyuarakan lagi soal konsep pluralitas yang digagas Gus Dur. Jangan takut >untuk >mengajak mereka yang berlaku frontal untuk diajak berdebat, tentunya bukan >acara >debat ala tvOne yang malah memperuncing pro kontra dan bukan mencari titik >tengah yang damai ( atau menurut istilah Mario Teguh : mencari jalan baiknya >). >Bukan sekedar wacana di media massa semata. > > Agama adalah hal yang privat, bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Justru >mestinya kalau hendak mengajak orang untuk lebih bersimpati, bukan dengan cara >kekerasan dan anarki, tetapi menjadi teladan kebaikan. Toleransi dan >kerukunan, >itulah keunggulan negeri kita, bukannya malah pengen ikut-ikutan terseret >budaya >Islam ala timur tengah yang tidak cocok untuk kultur bangsa ini. > > > Bukan perbedaan agama yang menjadi masalah bangsa ini, tetapi korupsi, >kemiskinan, dan kebodohan. Mestinya itulah medan perang jihad kita semua, >bukan >berkelahi dengan sesama anak bangsa saudara setanah air. > > > NB : > Andai saja para anggota FPI itu sering menyimak acara Mario Teguh Golden > Ways, >he he he… > > > > [Non-text portions of this message have been removed] > [Non-text portions of this message have been removed]