Saya sebagai Muslim tetap tidak yakin bahwa mayoritas Muslim menginginkan 
konflik dengan penganut agama Minoritas.
Dalam kehidupan sehari - hari saya tidak melihat adanya tanda - tanda adanya 
konflik tersebut.
Konflik baru tersulut ketika perbedaan agama diperuncing oleh kelompok tertentu 
seperti FPI dan secara diam - diam konflik tersebut didorong oleh "Aparat 
Pemerintah" agar menjadi lebih runcing, dengan cara melakukan pembiaran aksi 
kekerasan yang dilakukan oleh "Kelompok Islam Garis Keras" terhadap penganut 
agama Minoritas.
Pembiaran yang dilakukan oleh Kepolisian (dan juga secara tidak langsung 
mendapat dukungan dari Presiden SBY), membuat "Kelompok Islam Garis Keras" 
seperti FPI merasa mendapat angin segar untuk bertindak lebih beringas lagi.
 
Ketika konflik terjadi, Partai - Partai Islam koalisi Pemerintah 
cenderung berdiam diri.
Organisasi Keagamaan Islam seperti NU dan Muhammadiyah hanya sekedar 
berkomentar mengecam tindak kekerasan tersebut, tetapi tidak melakukan tindakan 
konkrit untuk mencegah aksi kekerasan yang terjadi.
Pada jaman Gus Dur masih hidup, biasanya NU mengerahkan Banser untuk 
mengamankan Gereja yang diserbu oleh Kelompok Islam Garis Keras.
Setelah Gus Dur wafat, kelihatannya peran Banser untuk menjaga aksi kekerasan 
terhadap kelompok minoritas sudah tidak digunakan lagi.
Banser lebih banyak Tidurnya.
 
Jadi aksi kekerasan memang merupakan Program para elit politik kita, termasuk 
para petinggi di pemerintahan SBY, guna tujuan tertentu, misalnya mengalihkan 
perhatian masyarakat yang hidupnya makin sulit, banyaknya ledakan akibta 
penggunaan Tabung Gas LPG 3 Kg, dan sebagainya.
 
Rakyat sendiri umumnya enggan untuk bertengkar karena sudah disibukkan oleh 
kesulitan hidup sehari - hari.
 
Salam,
Adyanto Aditomo

--- Pada Rab, 11/8/10, Michael <yakam...@yahoo.co.id> menulis:


Dari: Michael <yakam...@yahoo.co.id>
Judul: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Re: Gereja Disegel Bupati Bekasi Saaduddin (PKS), 
Jemaat HKBP Filadelfia Diterima DPR
Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Tanggal: Rabu, 11 Agustus, 2010, 9:48 AM


 




Di Zaman ORLA : Semua elemen masyarakat , baik minor dan mayor bersatu padu 
berjuang mempertahankan NKRI , padahal begitu banyak kalangan yang menginginkan 
pemisahan wlayah Negeri ini.
Zaman Orba : Dengan satu komitmen yang tangguh di bawah kekuasaan bp Soeharto , 
NKRI tetap berkibar , si Mayor dan Si Minor tidak saling gontok2an , entah 
karena takut atau apalah, tapi yg jelas pada saat itu ada Penataran P4 dan BP 7 
dan berbagai alat / fasilitas di kerahkan agar setiap warga negara lebih 
mencintai NKRI.
Zaman Reformasi : era dimana Demokrasi sedang diperjuangkan dan korban2 telah 
jatuh bergelimpangan baik dari kaum Minor atau Mayor , tapi anehnya di Zaman 
inilah sesama anak bangsa ini saling bakar , mengusir dan menganiaya sesamanya 
?? Demokrasi kah yang salah ?
Zaman ......??? : Di era ini sebaiknya kita bertanya pada diri kita masing2 
anak bangsa ini : Masihkah kita Mencintai NKRI ??? Atau sebaiknya memang kita 
harus rela bahwa Negeri ini di bagi saja sesuai Mayor / Minor nya ??? kalau mau 
jujur saja , saya dari kaum minor inginnya kalau diperbolehkan sebaiknya NKRI 
ini di ubah saja bentuknya ; apakah federal atau Serikat , silahkan ??? Supaya 
tidak ada Dusta lagi di antara kita. !!!

--- In Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com, Lisman Manurung <lism...@...> 
wrote:
>
>
>
>
> Ada fakta sosial yang tidak pernah mau diterima elite bangsa ini, padahal
> teorinya ada. Negara jangan melakukan identifikasi formal menurut ras, suku 
> dan
> agama atas warganya. Kebodohan itu ditegur Harold Laski (1893-1950),   
> seorang
> Jahudi Inggeris  yang berkiprah di Harvard.
>
>
> Ketika PM Australia Gillard mengatakan bahwa dia termasuk tipe orang yang 
> "not
> too religious",  ada banyak orang di Indonesia yang tersinggung.
> Gillard tidak risau dengan Indonesia. Mungkin Gillard cuma ingin mengirim 
> sinyal
> pertemanan ke kaum Aborijin.  Kok gitu? Aborigin itu tidak beragama, tetapi
> percaya ada Tuhan.

Kirim email ke