Negeri Suka-Suka ini memang membuat banyak yang ber"suka-suka" hati-nya!
Tapi kalau terus saja semuanya berbuat sesukanya saja, lantas bagaimana kita
di jangka panjang nanti (masa depan)?
 
Masalah "perkebunan, hotel, turis, pengangkutan dan sembako rakyat" ini kan
bisa diatur bersama kalau semua mau beritikad baik?
 
Kalau semua pihak mau seenaknya sendiri saja tanpa mau melihat kepentingan
secara keseluruhan dan bersama, inikan bisa berbahaya?
 
FPI ini ada, karena ada yang memerlukan kehadiran mereka bahkan nampaknya
bakal selalu ada (apapun namanya)!
Siapa dibelakang FPI dan apa gunanya, hanya merekalah yang tahu!
 
Sementara itu mumpung masih banyak waktu, marilah kita semua bersuka hati
di Negeri Suka-Suka ini!
:=((
 
Salam
Las

--- On Tue, 10/8/10, Win Wan Nur <winwan...@yahoo.com> wrote:


From: Win Wan Nur <winwan...@yahoo.com>
Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Negeri Suka-Suka
To: "IACSF" <ia...@yahoogroups.com>
Received: Tuesday, 10 August, 2010, 2:27 PM


  



Pagi ini saat membuka Twitter, saya mendapati serial tweet dari Goenawan 
Mohammad yang mengkritisi lembeknya sikap pemerintah terhadap FPI yang hobi 
main hakim sendiri dan suka memamerkan kekerasan secara telanjang, pada siapa 
saja yang berbeda pandangan.

Atas lembeknya sikap pemerintah terhadap FPI ini, di Twitternya GM mencoba 
berspekulasi dan menduga-duga.

Di account twitternya GM menulis ; "Salah satu sebabnya mungkin: dari Presiden 
sampai dgn polisi tak melihat ada hal yg sangat serius dlm perilaku kekerasan 
atas nama agama. Atau Presiden dll tak melihat perilaku ala FPI sejajar dgn 
para teroris Negara Islam: menolak Indonesia sbg yg dilahirkan di tahun 1945. 
Atau mungkin juga Presiden dan Polisi tak berani bertindak, krn takut dianggap 
membela "Kristen", "liberal", "sekuler"."

Menurut saya, prasangka GM terhadap pemerintah ini terlalu jauh dan sangat 
berlebihan.

Sebab kenyataannya, pemerintah saat ini, pemerintah yang punya kemampuan 
istimewa dalam hal tebar-menebar pesona ini berbuat demikian bukan hanya pada 
FPI saja, tapi sepertinya pada semua kelompok dan golongan yang memiliki massa 
yang mampu menggunakan kekerasan, atau setidaknya mampu mempengaruhi pilihan 
banyak orang dalam Pemilu baik pemilu Nasional maupun Pemilukada. 

Dua hari yang lalu saya ada di Kali Klatak, Banyuwangi. Saya bersama rombongan 
turis asal Perancis yang saya bawa bermaksud mengunjungi sebuah perkebunan 
milik swasta yang terletak di sana.

Untuk dunia kepariwisataan Banyuwangi, Perkebunan Kali Klatak ini adalah 
highlight, karena merupakan salah satu atraksi wisata yang paling diminati 
orang eropa selain kawah Ijen yang sudah mendunia. Kami sendiri memang memiliki 
kontrak kerja dengan perkebunan ini.

Tapi pada hari itu, pihak perkebunan Kali Klatak menelepon saya sambil meminta 
maaf kalau hari itu kunjungan ke perkebunan mereka terpaksa tidak bisa 
dilakukan karena penduduk setempat yang kampungnya dilewati jalan menuju Kali 
Klatak memblokir jalan yang menjadi satu-satunya akses ke perkebunan itu. Tapi 
tidak lama kemudian mereka menelepon kembali, perkebunan mereka tetap bisa 
dikunjungi, hanya tidak boleh menggunakan bis dari luar. 

Bis yang membawa wisatawan harus berhenti di luar desa, lalu nanti pihak 
perkebunan akan menyediakan dua bis sewaan untuk mengangkut wisatawan sampai ke 
bagian jalan yang di blokir. 

Singkat cerita, kamipun sampai di sana dan saya pun melihat bagaimana di tengah 
jalan menuju ke perkebunan Masyarakat desa setempat meletakkan batu dan palang 
kayu agar kendaraan pengangkut dari dan menuju ke perkebunan tidak bisa lewat, 
tapi lucunya pada rintangan itu masyarakat masih menyisakan sedikit jalan untuk 
dilewati motor dan pejalan kaki, agar motor milik masyarakat yang biasa mencari 
rumput di perkebunan seluas 100-an hektar ini tetap bisa leluasa masuk lahan 
perkebunan ini.

Ketika saya tanyakan kepada pihak perkebunan, apa yang menjadi masalah dan 
pokok persoalan sehingga terjadi konflik dengan masyarakat seperti ini. Mereka 
menceritakan kalau akar masalahnya adalah karena mereka tidak mampu memenuhi 
tuntutan masyarakat supaya pihak perkebunan tidak menyemprot rumput liar yang 
mengganggu pertumbuhan tanaman di lahan milik mereka dengan cairan herbisida, 
sebab masyarakat yang tinggal di luar perkebunan, membutuhkan rumput-rumput 
liar itu untuk makanan ternak mereka.

Negosiasi soal rumput ini deadlock karena bagi pihak perkebunan, cara paling 
murah untuk mengendalikan gulma yang merusak tanaman mereka adalah dengan 
herbisida, mereka tidak mampu menggaji banyak orang untuk membersihkan rumput 
di lahan mereka secara manual. Tapi masyarakat tidak mau tahu, bagi mereka 
makanan bagi ternak milik mereka tetap harus diprioritaskan. Karena itulah 
masyarakat yang dalam hal ini berada dalam posisi lebih kuat, melakukan 
pemblokiran.

Saat melewati tempat itu, saya melihat di sana ada seorang petugas polisi yang 
ditempatkan. Tapi si petugas ini ditempatkan di sana untuk membuka blokir 
terhadap perkebunan, tapi sebaliknya justru dia di sana untuk memastikan agar 
pihak perkebunan membuka blokir jalan, sehingga aksi itu akan memancing 
kemarahan massa yang tinggal di luar perkebunan.

Masih di Kabupaten yang sama tapi di kecamatan yang berbeda. Di desa Licin, 
dimana terdapat sebuah hotel yang dibangun tahun 2002, yang dimiliki oleh 
seorang warga Indonesia yang berasal dari kabupaten Banyuwangi juga. 

Keberadaan hotel ini telah membawa banyak manfaat bagi warga sekitarnya. 
Keberadaan hotel ini di sana membuat masyarakat setempat memperoleh lapangan 
kerja. Keberadaan hotel ini telah membuka akses jalan ke desa-desa di 
sekitarnya, yang seblum adanya hotel ini hanya bisa dicapai dengan jalan 
setapak yang hanya bisa dilewati motor saja.

Setelah sekarat dan hampir bangkrut total karena ketiadaan tamu sehabis bom 
Bali I dan II, belakangan Hotel yang tamu-tamunya hampir 100 % adalah, 
turis-turis yang akan berkunjung ke Kawah Ijen ini menjadi sedemikian maju dan 
berjaya. 

Jalan menuju kawah Ijen yang selalu muncul di setiap brosur wisata kabupaten 
banyuwangi ini, sekarang dalam kondisi sangat rusak karena tidak pernah 
diperbaiki. Keadaan jalan yang seperti ini membuat Hotel ini terpikir untuk 
menyediakan Jeep bagi tamu-tamunya yang akan berkunjung ke Ijen. Tapi beberapa 
tamu yang datang dengan berbagai biro perjalanan memilih berangkat dengan 
kendaraan sendiri.

Melihat situasi ini, muncullah fikiran-fikiran kreatif dari beberapa anggota 
masyarakat yang memiliki Jeep untuk bisa meraih pendapatan. Maka masyarakat ini 
pun mebuat sebuah paguyuban. Atas nama paguyuban ini mereka kemudian menuntut 
pihak Hotel agar memberikan sebagian jatah pengangkutan tamu yang datang tidak 
memakai Jeep kepada mereka. Dan seperti di Kali Klatak, tuntutan ini pun 
disertai dengan ancaman penutupan jalan. Lalu entah apa dasarnya (yang jelas 
sama sekali tidak ada Perda yang mengaturnya), setiap mobil yang akan menuju ke 
Ijen harus menyetor Rp. 10.000 kepada mereka.

Dan karena mereka memang lebih kuat, pihak Hotel pun mau tidak mau harus 
memenuhi tuntutan mereka dan tanpa ada aturan tertulis apapun yang mengharuskan 
mereka untuk bertanggung jawab seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan. 
Sehingga ketika mereka datang terlambat menjemput tamu sesuai jadwal yang 
disepakati, atau ada kerusakan mobil mereka di tengah jalan, maka pihak Hotel 
lah yang menjadi sasaran makian para wisatawan.

Lalu apa tindakan dari pihak kepolisian atas aturan yang ditetapkan oleh pihak 
paguyuban yang tanpa didukung oleh Perda ini?...mereka membuat sebuah imbauan 
di banner besar yang dicetak berwarna berbunyi, bagi Wisatawan yang hendak 
berkunjung ke kawah Ijen, disarankan untuk menggunakan kendaraan JEEP.

Itulah Potret negeri ini, kalau kita mau didengarkan, maka perkuatlah barisan, 
kumpulkan massa dan berteriaklah sekerasnya.

Lihat kasus Prita dan Bibit-Chandra, ketika ada massa yang kuat di belakangnya 
Pemerintah pun mampu mengatur keputusan hukum yang sesuai dengan keinginan 
massa. 

Situasi yang sama juga bisa kita lihat pada kasus video porno antara Ariel, Cut 
Tari dan Luna Maya.

Sebaliknya pada kasus tabung gas, karena pemerintah tidak melihat adanya 
kegiatan pergerakan massa baik secara nyata maupun dunia maya, maka pemerintah 
pun tenang-tenang saja dan bisa dengan santai tetap menyebar pesona. Pemerintah 
sama sekali tidak peduli apa kata orang apalagi apa kata dunia.

Jadi soal kasus pembiaran terhadap FPI, saya pikir apa yang diduga Goenawan 
Mohammad benar-benar terlalu mengada-ada, karena faktanya negeri ini memang 
negeri suka-suka. Kalau mau selamat di negeri ini, bersikaplah seperti penghuni 
rimba belantara, perkuat diri sendiri karena kalau lawan kita yang lebih kuat 
siap-siaplah menjadi sansak hidup dan dibulan-bulani. Meskipun hak rakyatnya 
terampas, pemerintah negeri ini tetap dengan santai berdiam diri.

Membaca fakta-fakta di atas, orang yang tidak mengetahui negeri ini secara 
mendalam tentu akan menduga kalau pemerintah negeri ini adalah pemerintah yang 
sama sekali tidak peduli kepada rakyatnya.

Tapi tentu saja anggapan di atas sama sekali tidak benar, karena dalam beberapa 
hal,  pemerintah negara ini menunjukkan kepedulian sangat besar kepada 
rakyatnya. Kepedulian besar ini misalnya bisa kita lihat dalam urusan 
bayar-membayar PAJAK. Untuk urusan seperti ini pemerintah sangat peduli.

Kalau sudah urusan PAJAK, pemerintah tiba-tiba menjadi begitu sensitif dan 
melankoli. Untuk urusan ini pemerintah bukan hanya khawatir pada bisik-bisik 
tetangga. Kalau sudah urusan PAJAK, pemerintah tiba-tiba menjadi sangat 
khawatir terhadap APA KATA DUNIA!!!!

Wassalam

Win Wan Nur

Penduduk Negeri Suka-Suka

[Non-text portions of this message have been removed]









      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke