Dengan "banjir bandang" hot money, Indonesia disanjung oleh media Barat (siapa 
lagi) sebagai ekonomi yang mantap, tentu sesuai tolok ukur neoliberalisme yang 
predatoris. Sekejap hot money bisa disedot, imbasnya bukan pada yang super 
kaya, pada semua yang kian melarat. Kita sungguh perlu pemerintah yang pro 
rakyat. Status quo pelestarian kemiskinan 2004-2014 teramat panjang!
Hati-Hati Mengelola Utang
Suryopratomo
METROTVNEWS
Kamis, 12 Agustus 2010 19:09 WIB

EKSPOSE utang luar negeri kita yang melewati angka Rp1.600 triliun memang bisa 
dilihat dari dua sisi yang berbeda. Dilihat dari perbandingannya terhadap 
produk domestik bruto yang tercatat 25 persen, utang itu masih dalam tingkatan 
yang aman. Namun dilihat dari sisi nominalnya, angka itu tergolong menakutkan.

Mengapa kita katakan seperti itu? Karena dilihat dari sisi perbandingannya 
terhadap PDB masih dalam batasan wajar. Utang-utang negara lain ada yang di 
atas 60 persen, bahkan banyak yang di atas 100 persen.

Namun melihat kewajiban pembayaran pokok dan bunga yang mencapai Rp110 triliun 
per tahun, kita pantas untuk berhati-hati. Belum lagi pembayaran bunga obligasi 
peninggalan krisis keuangan 1998 yang mencapai Rp60 triliun per tahun, artinya 
hampir 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara habis untuk 
membayar utang.

Hal yang harus kita perhatikan dari utang itu adalah bagaimana penggunaannya. 
Untuk apa semua utang itu dipergunakan? Apakah utang itu dipakai untuk 
kepentingan yang produktif ataukah dipakai untuk konsumtif.

Menarik penjelasan yang disampaikan Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada 
rapat kerja di Istana Bogor pekan lalu. Menurut Menkeu, APBN yang ada sekarang 
sekitar 91 persen habis untuk biaya rutin. Anggaran yang tersedia untuk 
pembangunan hanya sekitar sembilan persen dari APBN sekitar Rp1.000 triliun 
atau sekitar Rp90 triliun saja.

Artinya, APBN yang kita siapkan setiap tahun itu lebih banyak dipakai untuk 
membayar utang daripada untuk membangun. Lalu dengan kondisi seperti itu, dari 
mana kita mendapatkan modal untuk membayar kembali utang yang di atas Rp1.600 
triliun itu?

Inilah yang pantas membuka mata kita. Utang yang kita buat setiap tahun itu 
lebih banyak dipakai untuk kepentingan yang tidak produktif. Anggaran kita 
lebih banyak dipakai untuk membiayai provinsi atau kabupaten baru yang 
terbentuk karena pemekaran.

Kita mendukung langkah moratorium pemekaran daerah. Kalau pemekaran hanya 
sekadar memerbesar biaya dan tidak lebih menyejahterakan kehidupan masyarakat 
di daerah, lebih pemekaran itu dihentikan dulu sementara. Lebih baik anggaran 
yang tersedia dipakai dulu untuk membangun negara ini.

Kita harus meningkatkan produksi nasional. Kita harus menggerakkan sektor riil 
agar kita mampu membangun industri yang lebih kokoh. Dengan hadirnya industri 
yang bisa diandalkan dan membawa keunggulan bagi bangsa dan negara ini, maka 
kita akan mampu mengakumulasikan modal. Akumulasi modal dari kegiatan usaha 
itulah yang bisa dipakai untuk melunasi utang negara kita itu.

Kalau kita sekadar mengandalkan dari PDB artinya kita hanya mengandalkan kepada 
sumber daya alam yang kita miliki. Memang dengan menjual hasil tambang, minyak, 
dan hasil kehutanan dalam bentuk mentah, kita bisa mendapatkan devisa untuk 
melunasi utang itu. Namun ketika kekayaan alam itu habis, maka kita tinggal 
gigit jari tidak lagi memiliki apa pun untuk membangun negara kita.

Oleh karena itulah kita tidak bosan-bosan mengingatkan agar kita segera 
mengubah orientasi. Kita tidak bisa hanya mengandalkan kekayaan alam, tetapi 
secara sungguh-sungguh membangun industri yang berlandaskan kekuatan kita. Apa 
itu? Industri berbasis pertanian serta tambang dan energi.

Kalau kita membangun perkebunan dengan industri pendukungnya, maka kita akan 
menjadi raksasa yang menakutkan. Mulai dari kelapa sawit, karet, kakao, gula, 
kita bisa menjadi raksasa dunia. Demikian pula di industri kertas dan bubur 
kertas, kita seharusnya tidak perlu kalah dari Amerika Serikat yang produksinya 
bisa mencapai 30 juta ton per tahun.

Demikian pula kalau kita mampu membangun industri tambang dan energi. Kita 
seharusnya menjadi raksasa di industri petrokimia. Kita seharusnya bisa 
memiliki industri tambang emas, tembaga, timah, bauksit yang besar karena kita 
memiliki semua sumber alam itu.

Sungguh ironis kalau untuk bahan bakar minyak saja kita harus membeli dari 
Singapura. Bahkan harga BBM yang kita jual menggunakan patokan harga Singapura. 
Siapa Singapura itu? Apa yang dimiliki oleh negara itu? Mengapa kita yang lebih 
kaya justru harus berkiblat ke negara kota itu.

Ada yang salah dalam pengelolaan negeri ini. Bukan hanya sekarang, tetapi 
selama 45 tahun ada yang keliru dari arah pembangunan negara kita ini. Kita 
terlalu terpaku kepada kekayaan alam dan lupa untuk meningkatkan kualitas 
manusia kita. Akibatnya, kekayaan yang kita miliki tidak membuat kita menjadi 
kekuatan ekonomi utama dunia.

Kita bahkan semakin terperosok ke dalam jebakan utang. Kalau kita tidak 
mengelolanya secara baik utang-utang itu, maka kita akan terpuruk sebagai 
bangsa. Semua kekayaan alam yang kita miliki akan habis hanya membayari utang. 
Sementara rakyatnya terus hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.

Inilah yang harus kita hindari. Kita tidak boleh seperti tikus yang mati di 
lumbung padi. Kita harus bangkit untuk meraih kejayaan sebagai sebuah bangsa 
yang besar.



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke