pertasnyaannya: dimana negara ?

bukannya negeri ini seperti kampoeng tak bertuan?


.

On Fri, 2010-08-13 at 01:15 -0700, Satrio Arismunandar wrote:
>   
> 
> 
>  
> 
> Pembiaran Negara
> Jumat, 13 Agustus 2010 | 1:59 WIB 
>  
> Editorial 
> 
> Di negeri ini, berbagai 
> persoalan rakyat sepertinya tak kunjung selesai: kenaikan harga-harga
> kebutuhan 
> pokok, kekerasan yang terus merebak, gangguan terhadap kebebasan
> berkeyakinan, 
> kemiskinan. Pemberitaan mengenai penderitaan rakyat di seluruh pelosok
> negeri 
> hadir dihadapan kita, silih berganti. Situasi ini sangat kontras
> dengan 
> syarat-syarat kemajuan yang kita punyai, misalnya sumber daya alam,
> gotong 
> royong, dan lain sebagainya. Krisis multidimensi adalah kata yang
> tepat untuk 
> melukiskan keadaan negara saat ini. Dan kita sedang memasuki suatu
> fase yang 
> disebut ‘nation and character destruction’.
> Sementara itu, tidak terasa, bahwa republik ini akan berusia 65 tahun
> sejak 
> diproklamirkan pad tanggal 17 agustus 1945. Dibandingkan dengan
> cita-cita 
> proklamasi, situasi sekarang ini sudah sangat jauh bertolak belakang.
> Dalam 
> pembukaan UUD 1945 jelas-jelas disebutkan tujuan dan arah negara ini
> dibentuk, 
> yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
> darah 
> Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
> kehidupan bangsa, 
> dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
> perdamaian 
> abadi dan keadilan sosial.
> Namun, setelah berpuluh-puluh tahun hidup berbangsa dan bernegara,
> negara 
> tidak lagi melindungi tumpah darah Indonesia. Negara-negara
> benar-benar absen 
> dalam kehidupan real rakyat sehari-hari; golongan minoritas ditindas,
> TKI/TKW 
> disiksa di luar negeri, rakyat dirampas tanahnya, buruh menuntut
> kesejahteraan, 
> dan lain sebagainya. Apakah itu tujuan dari negara hasil proklamasi
> kemerdekaan 
> 17 Agustus 1945?
> Bagaimana kita bisa menamakan seorang anak yang katanya sudah dewasa,
> kalau 
> kenyataannya dia masih disuap oleh ibunya. Begitu pula dengan sebuah
> bangsa yang 
> dikatakan merdeka, namun sebagaian besar rakyatnya masih terjajah
> secara fisik 
> dan fikirannya. Negara hasil proklamasi 17 Agustus 1945 sedang
> berusaha 
> dilikuidasi oleh neo-kolonialisme, yang dibantu oleh agen-agen politik
> dan 
> ekonominya di dalam negeri.
> Pemerintah kita, meskipun dipilih secara rutin melalui pemilu oleh
> rakyat, 
> namun mereka tidak pernah bekerja untuk kepentingan nasional dan
> seluruh rakyat; 
> sebaliknya, pemerintah kita justru memilih bekerjasama dengan
> kepentingan 
> kapitalisme global.
> Akibatnya, kendatipun kita disebut negara merdeka, namun kebijakan
> ekonomi 
> dan politik kita dikendalikan dari luar. Sudah begitu, semua produk
> kebijakan 
> politik pemerintah ini tidak pernah melindungi dan mensejahterakan
> rakyat, malah 
> mendorong eksploitasi dan penindasan yang tiada taranya; UU nomor 25
> tahun 2007 
> tentang Penanaman Modal, UU nomor 13 tahun 2003 tentang
> ketenagakerjaan, UU 
> nomor 22 tahun 2001 mengenai Migas, dan masih banyak lagi.
> Dapat disimpulkan, bahwa kita sedang mengalami “kevakuman”
> kepemimpinan 
> nasional, tidak ada pemerintah yang benar-benar bisa memerintah. Tokoh
> legenda 
> kuno Jepang, Toyotomi Hideyoshi, pernah berkata; “jadilah seorang
> pemimpin, 
> bukan atasan”. Menurutnya, seorang pemimpin harus berani memasuki
> masalah, 
> mengambil langkah, dan memutuskan sebuah solusi. Jangalah seorang
> pemimpin 
> melakukan pembiaran, melakukan curhat, dan hobby menyampaikan
> perkataan yang 
> tidak jujur kepada rakyat.
> Presiden SBY kurang memahami pesan Hideyoshi di atas. Ada banyak pihak
> yang 
> mengeluh dengan gaya kepemimpinan presiden SBY, yang terlihat sangat
> lamban, 
> kurang tegas, dan terlalu mudah untuk mengeluh di hadapan rakyat. Jika
> seorang 
> pemimpin keseringan mengeluh, maka bagaimana dia bisa menyakinkan
> rakyat untuk 
> maju?
> Tentu saja, mau tidak mau kita harus memilih diantara dua pilihan; 
> melanjutkan cita-cita negara hasil proklamasi 17 Agustus 1945, ataukah
> memilih 
> untuk menjadi bangsa yang terombang-ambing,-bangsa kuli di antara 
> bangsa-bangsa.
> Akhirnya, menutup editorial ini, kami kembali menegaskan perkataan
> Bung 
> Karno; kita bertujuan bernegara untuk satu windu saja, kita bertujuan
> bernegara 
> untuk seribu windu lamanya. Bernegara untuk selama-lamanya. Sekali
> merdeka, 
> tetap 
> merdeka!]
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> 
> 



Kirim email ke