Sayang, saya belum berhasil menemukan website IPDN sehingga bisa
mendapat informasi lebih banyak lagi mengenai lembaga pendidikan
"menakutkan" tersebut. Namun, setelah membaca berbagai tulisan di
berberapa Media, saya mendapatkan sedikitnya 5 problem besar, yg
secara praksis terdapat pada lembaga pendidikan tsb. Silahkan
rekan-rekan mengoreksi pendapat saya ini dengan menunjukkan sisi
sebaliknya "secara praksis" (bukan dalam bentuk ide atau visi-misi). 5
Problem itu adalah:

1. Pemusatan IPDN memberikan peluang besar terjadinya KKN, baik dalam
proses penerimaan mahasiswa baru (praja)maupun dalam Institusi IPDN
sendiri. Monopoli pendidikan oleh IPDN dan pembiayaan proses
pembelajaran yang ditanggung oleh negara juga berpeluang membuat
lembaga pendidikan ini tidak memiliki kesadaran kontrol kualitas,
karena tidak ada saingan. 

2. Sistem Pendidikan menganut cara kekerasan (militer?) sebagai metode
penanaman kedisiplinan dan tugas pengawasan kedisiplinannya dijalankan
oleh(diserahkan pada?)  Praja Senior. Padahal Praja Senior bukanlah
pendidik, yang tentu saja tidak mengerti metodik-didaktik mengajarkan
kedisiplinan. Akibatnya terjadilah kekerasan yang tidak terkendali.
Kedisiplinan ditekankan pada aspek penerapan sanksi atas pelanggaran
atau kelalaian, bukan aspek penanaman karakter. Sistem pendidikan
seperti ini juga mematikan kreatifitas yang kelak sangat diperlukan
oleh lulusan  dalam menjalankan tugasnya di masyarakat.

3. Kepentingan Politik 
Tidak bisa tidak, diadakannya IPDN oleh pemerintah (di bawah DEPDAGRI)
memiliki kepentingan politik. IPDN dijadikan sebagai sarana untuk
memelihara sistem pemerintahan sentralistik yang ada sejak ORBA.
Sistem pendidikan ala militer yang dipakai untuk menanamkan semangat
"integritas" yaitu dipalsukan untuk tujuan menanamkan "taat buta" pada
atasan. Kekerasan dipakai dalam sistem pendidikan IPDN untuk
melahirkan Lurah "takut" pada atasan karena atasan punya power untuk
menekan. Mentalitas "taat buta" dan "takut pada atasan" di dalam
pemerintahan sentralistik akan akan sangat mudah dipakai sebagai
kendaraan politik dan manjur digunakan untuk menutupi korupsi di dalam
birokrasi. Lurah-lurah yang memiliki mentalitas seperti ini akan
sangat mudah di-"atur" oleh penguasa. Tergantung siapa penguasa dan
mentalitas acam apa yang dimiliki oleh penguasa.

4. Kontrol masyarakat lemah terhadap IPDN, karena masyarakat hampir
tidak punya akses ke situ.  Tanpa kontrol masyarakat membuat lembaga
pendidikan ini jalan semaunya sendiri. 

DEPDAGRI sebagai penaung yang mestinya berperan sebagai pelaku kontrol
nampaknya juga tidak berfungsi. Kasus kematian yang terjadi
berulang-ulang dengan pola yang sama adalah bukti bahwa sistem kontrol
tidak jalan. Dalam kasus kematian Cliff terbukti bahwa Saut Situmorang
(Humas DEPDAGRI) lebih percaya pada pihak IPDN dan buru-buru
mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa kematian Cliff bukan
karena kekerasan, melainkan karena sakit, tanpa menunggu hasil
pemeriksaan polisi.

Apakah secara hierarkis-resmi dalam sistem pendidikan IPDN praja
senior dilibatkan dalam proses pendidikan untuk menjadi "tukang pukul"
terhadap pelanggar tata-tertib di IPDN? Kita tidak tahu. Yang kita
tahu  berdasarkan fakta bahwa praja senior berfungsi sebagai "tukang
pukul". Pertanyaanya: siapa yang memberikan peran tsb? Kalau peran
praja senior ada diluar hierarki, berarti praja senior telah
"dimanfaatkan" oleh sistem pendidikan di IPDN. Praja senior menjadi
"algojo" tidak resmi, yang dipakai oleh IPDN sebagai alat penanaman
kedisiplinan, namun kalau perannya buruk, IPDN bisa "cuci tangan".
 
5. Tidak percaya pada PTN/PTS lain.
Dari pernyataan Prof. Dr. I. Nyoman Sumaryadi. M.Si. Ketua STPDN/Purek
III IPDN kepada SENTANA di Jakarta, nampak bahwa latar belakang
keberadaan IPDN adalah karena pemerintah tidak percaya akan kemampuan
PTN/PTS mendidik lulusan yang bermutu serta memiliki sikap integritas
pada bangsa. Silahkan lihat di: 
http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=Berita&op=detail_berita&id=374
Latar belakang ini sungguh sebuah ironi. Selain itu, pernyataan
Prof.Nyoman tsb juga menyiratkan sikap arogansi IPDN. Kalau mentalitas
yang ditanamkan di IPDN diletakkan pada sudut pandang tersebut, tidak
heran kalau lulusan IPDN akan memiliki sikap arogan juga.

5 Problem tsb di atas cukup menjadi alasan mengapa IPDN patut
dibubarkan. Namun sekarang tergantung pada pihak IPDN dan pemerintah.
Kalau IPDN mau tetap dipertahankan, langkah pertama yang perlu dibuat
IPDN/Pemerintah adalah merombak total IPDN dan IPDN harus lebih
terbuka pada masyarakat. 

Salam
Mulyadi






Kirim email ke