http://www.korantempo.com/korantempo/2007/05/04/Opini/krn,20070504,72.id.html
 
 Jum’at, 04 Mei 2007
 Opini
 
 Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah
 
 Mohamad Guntur Romli, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL
 
 Pewahyuan adalah proses kolektif, baik sumber maupun proses kreatifnya. Ia 
bukanlah proses yang tunggal. Al-Quran sendiri menegaskan gagasan ini. Ketika 
Al-Quran berbicara tentang pewahyuan, baik dengan kata "mewahyukan" (awha) 
maupun "menurunkan" (anzala, nazzala) Al-Quran, digunakan kata nahnu: berarti 
kami--sebagai subyek--seperti dalam awhayna (kami telah mewahyukan) ataupun 
anzalna, nazzalna (kami telah menurunkan). Dalam Al-Mu'jam al-Mufahhras li 
Alfadzil Qur'an, kata awhaytu (aku mewahyukan) hanya dipakai delapan kali, 
sedangkan awhayna (kami mewahyukan) digunakan lebih dari 30 kali.
 
 Kata "kami" adalah bentuk plural. Pertanyaannya, siapakah yang disebut "kami" 
dalam ayat-ayat itu? Para mufasir klasik yang berkeras pada doktrin ketunggalan 
dalam pewahyuan menolak memahami "kami" sebagai pluralitas dalam pewahyuan. 
Menurut mereka, meskipun "kami" bentuknya plural, konotasinya pada Dia Yang 
Tunggal, kata "kami" bertujuan lit ta'dzîm (memuliakan) "si pembicara".
 
 Namun, pendapat ini, menurut hemat saya, rancu. Kata "kami", bila digunakan 
sebagai pengganti "saya" atau "aku" untuk memuliakan "lawan bicara", bukan "si 
pembicara". Misalnya, seorang menteri tidak akan menggunakan kata "aku/saya 
telah melakukan" di depan presidennya, tapi mengatakan "kami telah melakukan". 
Sebab, selain menunjukkan penghormatan terhadap lawan bicara, menandakan 
pengakuan, karena apa yang telah ia lakukan bukanlah hasil kerjanya sendiri, 
melainkan kerja kolektif.
 
 Dalam tradisi tafsir klasik, menafsirkan istilah "kami" yang merujuk kepada 
Allah, Roh Kudus Jibril, dan Muhammad lazim kita temukan. Dalam pandangan ini, 
Al-Quran secara "maknawi" bersumber dari Tuhan, tapi secara "lughawi " (redaksi 
bahasa) disusun oleh Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad: Al-Quran adalah "karya 
bersama" Allah, Jibril, dan Nabi Muhammad. Kelompok rasional Islam Muktazilah 
adalah pelopor pemahaman ini.
 
 Pendapat ini berdasarkan sambungan sebaris ayat yang berbicara tentang 
turunnya Al-Quran: wa inna lahu lahafidzûn, "dan sesungguhnya kami pula yang 
akan menjaganya (Al-Quran)". Di sini proses turunnya Al-Quran, sebagaimana 
proses penjagaannya, melibatkan "kerja kolektif" antara Tuhan dan manusia. 
Proses penjagaan (autentisitas) Al-Quran oleh manusia berbentuk hafalan dan 
tulisan.
 
 Pewahyuan yang plural itu bisa ditegaskan lebih lanjut dengan menggunakan 
kajian sejarah yang melibatkan konteks sejarah, masyarakat, tradisi, dan 
lingkungan. Pewahyuan dari konteks ini, menurut saya, bisa lebih menegaskan 
klaim Al-Quran sendiri, yang menggunakan kata "kami" yang plural, bukan "aku" 
yang tunggal.
 
 Kisah dalam Al-Quran
 
 Saya akan mengambil contoh kisah-kisah yang banyak dimuat Al-Quran. Dua 
pertiga isi Al-Quran adalah tentang kisah yang bersumber dari konteks tempat 
wahyu itu turun: kisah-kisah yang diperbincangkan di pasar-pasar, di sela-sela 
transaksi dan safari perniagaan, ataupun dongeng yang diwariskan secara 
turun-temurun.
 
 Dari kajian sejarah ini, Al-Quran tidak bisa melampaui konteksnya. Dalam ranah 
ini, pendapat Nashr Hamir Abu-Zayd bahwa al-nash muntaj tsaqafi (Al-Quran 
merupakan produk budaya) adalah sahih. Al-Quran adalah produk rangkaian proses 
kreatif-kolektif manusia yang disebut budaya. Wahyu tidak bisa lepas dari dua 
faktor yang membentuknya: sejarah (al-tarikh) dan konteks (al-waqi').
 
 Kisah-kisah Al-Quran yang dipercaya sebagai mukjizat hakikatnya merupakan 
kisah-kisah yang sudah populer pada zaman itu. Al-Quran tidak pernah 
menghadirkan kisah-kisah yang benar-benar baru. Misalnya saja kita tidak 
menemukan kisah tentang masyarakat Cina atau India, yang waktu itu telah 
memiliki peradaban yang luar biasa. Hal itu terjadi karena kisah-kisah tersebut 
tidak pernah sampai atau kurang populer ataupun tidak memiliki dampak ideologis 
dan politis terhadap masyarakat Arab. Berbeda dengan kisah-kisah yang berasal 
dari kawasan yang disebut "Bulan Sabit Subur". Kawasan ini menjadi "mata air" 
yang mengalirkan kisah-kisah yang termaktub dalam Al-Quran.
 
 Kisah Nabi Isa
 
 Bukti lain bahwa Al-Quran tidak bisa melampaui konteksnya adalah kisah tentang 
Nabi Isa (Yesus Kristus). Sekilas kita melihat bahwa kisah Nabi Isa dalam 
Al-Quran berbeda dengan versi Kristen. Dalam Al-Quran, Isa (Yesus) hanyalah 
seorang rasul, bukan anak Allah, dan akhir hayatnya tidak disalib. Sementara 
itu, dalam doktrin Kristen, akhir hidup Yesus itu disalib, yang diyakini untuk 
menebus dosa umatnya.
 
 Ternyata kisah tentang tidak disalibnya Nabi Isa juga dipengaruhi oleh 
keyakinan salah satu kelompok Kristen minoritas yang berkembang saat itu, yakni 
sekte Ebyon. Bagi kelompok Kristen mayoritas yang menyatakan Isa (Yesus) mati 
disalib, sekte Ebyon adalah sekte Kristen yang bidah.
 
 Saya menjumpai adanya sekte Ebyon ini dalam buku Dinasti Yesus (2007) karya 
James D. Tabor. Menurut Tabor, sekte ini memiliki keyakinan yang mirip dengan 
keyakinan Islam dan berbeda dari Gereja Roma (lihat di bagian Konklusi di buku 
Tabor). Malah, menurut Tabor, sekte inilah ahli waris ajaran-ajaran kuno Yesus 
sebelum bercampur baur dengan ajaran Paulus. Tabor juga berasumsi bahwa Ebyon 
inilah yang memiliki kontak dengan Islam dan Nabi Muhammad.
 
 Namun, dalam konklusi yang sangat pendek itu, Tabor tidak mengulas secara 
detail persamaan keyakinan Ebyon dan Islam, khususnya dalam peristiwa yang 
sangat krusial, yaitu penyaliban Yesus. Bagi para peneliti Yesus Sejarah, 
penyaliban Yesus adalah fakta sejarah, sedangkan bagi Ebyon--sepanjang 
pengetahuan saya terhadap akidah sekte ini dari beberapa literatur sejarah Arab 
dan Kristen--memang mirip dengan akidah Islam serta menolak cerita penyaliban 
Yesus.
 
 Sejarah dan doktrin sekte Ebyon di Arab ini bisa ditemukan dalam buku Dr 
Jawwad Ali al-Mufashshal fi Tarîkh al-'Arab Qablal Islâm (Sejarah Bangsa Arab 
Sebelum Islam) dalam empat jilid dan buku Al-Nashrâniyah wa Âdâbuha Bayna 'Arab 
al-Jâhiliyah (Sejarah dan Sastra Kristen di Era Arab Jahiliyah) dalam dua 
jilid, karya Al-Abb Luwis Syaikhu al-Yasû'i, seorang Romo Katolik Jesuit. 
Demikian juga dalam Al-Mawsû'ah Tarîkh Aqbâth Mishr (Ensiklopedi Sejarah Koptik 
Mesir).
 
 Pada zaman Nabi Muhammad tidak hanya sekte Ebyon yang tersebar di Jazirah 
Arab. Ada dua sekte Kristen lain yang jauh lebih besar: Manofisit dan 
Nestorian, sebagai kelompok terbesar Gereja Timur yang berlawanan dengan Gereja 
Roma. Namun, kedua sekte itu (Manofisit dan Nestorian) tetap memiliki pandangan 
bahwa Yesus mati disalib. Hanya, keyakinan Ebyonlah yang benar-benar berbeda: 
Isa bukan anak Tuhan, ia hanya Rasul, dan matinya tidak disalib.
 
 Pengaruh Ebyon dan Waraqah bin Naufal
 
 Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Al-Quran lebih memilih pandangan Ebyon 
yang minoritas dan keyakinannya dianggap bidah oleh mayoritas Kristen waktu 
itu? Saya memiliki dua asumsi. Pertama, karena pandangan Ebyon ini lebih dekat 
dengan akidah ketauhidan Islam. Kedua, sepupu Khadijah bernama Waraqah bin 
Naufal adalah seorang rahib sekte Ebyon. Kedekatan Waraqah dengan pasangan 
Muhammad-Khadijah diakui oleh sumber-sumber Islam, baik dari buku-buku Sirah 
(Biografi Nabi Muhammad), seperti Sirah Ibn Ishaq dan Ibn Hisyam, ataupun 
buku-buku hadis standar: Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain.
 
 Waraqah adalah wali Khadijah yang menikahkannya dengan Muhammad. Seorang 
perempuan kali itu--yang kemudian dilanjutkan oleh syariat Islam--tidak bisa 
menikah tanpa seorang wali laki-laki. Bisa dibayangkan kedekatan Waraqah dengan 
Khadijah dan Muhammad. Pun Waraqah orang pertama yang mengakui bahwa Muhammad 
memiliki tanda-tanda kenabian. Ia juga bernubuat, "nasib Muhammad seperti 
nabi-nabi sebelumnya, dia akan diusir oleh kaumnya".
 
 Al-Quran juga mengisahkan mukjizat Isa (Yesus) masa kanak-kanak, membuat 
burung-burung dari tanah, kemudian menghidupkannya. Kisah ini memang tidak ada 
dalam empat Injil (Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes), tapi bukan berarti 
Al-Quran adalah sumber tersendiri. Kisah mukjizat Isa (Yesus) masa kanak-kanak 
ini ada dalam tradisi Gnostik Kristen: Injil masa kanak-kanak Yesus menurut 
Tomas.
 
 Kesimpulan saya sementara--yang tentu saja bisa didebat dan dibantah--kisah 
Isa (Yesus) dalam Al-Quran, yang menegaskan bahwa Isa "hanyalah" seorang rasul, 
bukan anak Tuhan, dan tidak ada penyaliban terhadapnya adalah "saduran" dari 
keyakinan sebuah sekte Kristen: Ebyon. Alasan Al-Quran menggunakan kisah Yesus 
versi ini, seperti yang telah saya kemukakan: akidah sekte ini sesuai dengan 
tauhid dan misi Islam, pun sepupu mertua Muhammad: Waraqah bin Naufal, adalah 
seorang rahib dari sekte Ebyon yang pertama kali "meyakini" Muhammad sebagai 
nabi.
 
 Kajian-kajian tadi, baik terhadap teks-teks Al-Quran maupun kajian sejarahnya, 
menyatakan bahwa pewahyuan Al-Quran berasal dari sumber dan konteks yang 
plural: konteks dan sejarah tempat Nabi Muhammad hidup, baik sebelum maupun 
setelah ia menerima wahyu. Malah "proses kreatif" itu lebih kuat sebelum 
Muhammad menerima wahyu, hanya periode itu adalah "tahun-tahun yang hilang" 
ataupun tidak menjadi pusat perhatian dalam studi Islam klasik, yang tujuannya 
untuk menegaskan pewahyuan yang tunggal dari Tuhan serta menafikan pengaruh 
konteks dan sejarah.
 
 Al-Quran sebagai "kitab-keimanan" sah-sah saja bila diyakini memiliki sumber 
tunggal: ia adalah mukjizat, melalui proses yang menakjubkan, hingga di luar 
nalar manusia. Namun, Al-Quran dalam kajian kesejarahan tidak bisa dipandang 
seperti itu. Dalam ranah ini, Al-Quran tetap memiliki banyak sumber dan "proses 
kreatif" yang bertahan serta berlapis-lapis. Al-Quran adalah "suntingan" dari 
"kitab-kitab" sebelumnya, yang disesuaikan dengan "kepentingan penyuntingnya". 
Al-Quran tidak bisa melintasi "konteks" dan "sejarah", karena ia adalah "wahyu" 
budaya dan sejarah.
  
       
---------------------------------
Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell?
 Check outnew cars at Yahoo! Autos.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke