Oleh DAHONO FITRIANTO
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/18/urban/4011639.htm
=====================

Predikat sosialita dan fashionista ternyata tak selamanya membuat
orang senang atau bangga. Bagi seorang Widi Wardhana, julukan tersebut
justru mengandung makna peremehan yang membuat tidak nyaman. "Kesannya
yang dilihat hanya hura-hura dan senang-senangnya saja."

Padahal, Widi memiliki semua syarat untuk menyandang gelar
sosialita—dalam pengertian tidak meremehkan lho.... Penulis senior
tentang gaya hidup dan mode, Samuel Mulia, dalam terbitan Jakarta
Fashion Minute edisi 2007/2008, menulis, Widi Wardana adalah seseorang
yang memenuhi semua persyaratan sebagai sosok sosialita dalam definisi
yang sesungguhnya.

Betapa tidak? Widi dapat dikatakan memiliki segalanya yang hanya dapat
diimpikan orang kebanyakan. Ia terlahir di tengah keluarga pengusaha
sukses. Ayahnya, Wiwoho Basuki, dari sekian banyak cerita suksesnya,
adalah pendiri dan pemilik perusahaan konstruksi Tripatra Engineering
dan galeri seni Duta Fine Arts serta masuk dalam daftar 100 orang
terkaya di Indonesia tahun 2007 versi majalah Globe Asia. Ibunya,
Kartini Basuki, adalah mantan sprinter nasional pada 1960-an dan
kemudian menjadi pelukis.

Sosok Widi yang cantik, anggun, tinggi, langsing, dan selalu mengikuti
perkembangan mode terbaru selalu menjadi salah satu sosok paling
dinanti fotografer majalah mode dan gaya hidup dalam setiap acara
sosial kalangan atas Jakarta yang kerap dihadirinya. Widi lahir di
Singapura, sekolah di Swiss, dan menyelesaikan kuliahnya di Malibu,
California, Amerika Serikat.

Sisi lain

Begitu kuatnya kesan gemerlap dan indah kehidupan Widi sehingga orang
seolah berhenti melihatnya sampai di situ saja dan mengabaikan sisi
cerita yang lain. "Padahal, ada kerja keras di balik itu semua," kata
Widi.

Di usianya yang 30-an, Widi saat ini menjabat sebagai salah satu
direktur kelompok usaha Teladan Resources. Widi juga menjadi salah
satu pemilik dan perancang blok apartemen mewah Capital Residence yang
dibangun kelompok usaha tersebut.

Suatu siang awal November lalu, kami berbincang-bincang di lobi
apartemen yang terletak di kawasan Sudirman Central Business District
di pusat Jakarta itu. Widi terlihat antusias menceritakan proses
pembangunan blok apartemen yang terdiri atas tiga menara setinggi 37
lantai itu. "Desain arsitekturnya terinspirasi Candi Prambanan yang
megah, simbol kejayaan kerajaan di Jawa dengan aplikasi teknologi dan
material modern," ungkapnya.

Widi terlibat pembangunan apartemen untuk kalangan high end Jakarta
itu sejak awal dengan bertanggung jawab terhadap desain dan pengadaan
seluruh perlengkapan interior, mulai dari furnitur, pencahayaan,
karpet, gorden, hingga berbagai benda seni.

Meski detail pekerjaan teknisnya dikerjakan biro desain interior dari
Singapura, Widi mengawasi dan memutuskan bentuk finalnya. "Pengadaan
barangnya dari supplier dalam dan luar negeri, dan saya dengan
hati-hati memilih barang berkualitas terbaik," papar istri pengusaha
muda, Wishnu Wardhana, ini.

Salah satu kebanggaan Widi dalam proyek ini adalah bisa memberi
kesempatan bagi para seniman muda dari Jakarta, Bandung, hingga Bali
untuk menciptakan berbagai bentuk karya seni, mulai dari lukisan
hingga berbagai wujud patung, yang dipajang di dalam apartemen. "Kami
ingin berkontribusi dalam membangun Jakarta 'to be a better place to
live'," tuturnya.

Meski tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang desain,
kemampuan Widi dalam menata interior terbukti mumpuni dari hasil kerja
kerasnya di Capital Residence. Menurut dia, menata interior adalah
salah satu hobinya. "Sejak dulu, saya selalu senang menata ruangan di
rumah atau kantor," kata pemegang gelar Bachelor of Science (BSc) di
bidang administrasi bisnis ini.

Mendidik generasi

Dan, saat Widi tidak aktif di sebagai pebisnis dan eksekutif di
perusahaannya, dia adalah ibu dari dua buah hati yang baru berusia
enam dan sebelas tahun. Mengasuh anak di lingkungan yang dimanjakan
segala kepenuhan hidup tidaklah semudah dan seindah yang dibayangkan
orang. Apalagi kalau anak-anak tersebut suatu saat nanti bakal
mewarisi bisnis keluarga yang bertanggung jawab terhadap hajat hidup
ribuan pekerjanya.

Ada pandangan yang banyak dipercaya bahwa bisnis keluarga didirikan
oleh generasi pertama, dibesarkan generasi kedua, dan dihancurkan
generasi ketiga. Sebagai generasi kedua dalam kerajaan bisnis keluarga
yang didirikan ayahnya, Widi mengakui adanya risiko tersebut.

Generasi ketiga biasanya lahir di tengah segala sukses dan kenikmatan
hidup yang diperjuangkan generasi sebelumnya. Kemudahan ini bisa
membuat anak menjadi terbiasa hidup bermanja-manja. "Dan saya enggak
kepengin anak-anak saya menjadi seperti itu. Ada tiga hal yang harus
dipenuhi anak-anak saya, yakni mereka harus berpendidikan tinggi,
harus bisa menghargai uang, dan harus bisa dan mau bekerja keras. Saya
tidak menolerir kemalasan," kata Widi, yang sempat vakum dari urusan
bisnis selama delapan tahun untuk berkonsentrasi mengasuh dan mendidik
langsung anak- anaknya.

Salah satu cara yang ditempuh Widi untuk mendidik anak memenuhi tiga
hal itu adalah dengan mengajak mereka ke kantor. "Agar mereka tahu apa
yang dikerjakan ibunya dan belajar tentang arti kerja keras," ujarnya.

Selain itu, Widi juga mendidik anak-anaknya menghargai uang dengan
membatasi jumlah uang saku dan tidak selalu memenuhi permintaan
mereka. "Saya selalu tekankan kepada mereka untuk membeli barang yang
benar-benar mereka butuhkan," tutur Widi.

Semua itu adalah prinsip-prinsip yang didapat Widi dari kedua
orangtuanya. Ayah Widi tak ingin melihat anak-anaknya malas dan hanya
bisa berfoya-foya. Salah satu prinsip hidup utama yang diajarkan
adalah "a man gets what he deserves". "Segala sesuatu harus diraih
dengan kerjas keras," kata Widi.



Kirim email ke