Para Miliser yang Budiman,

Berikut ini, menurut teman saya, adalah tulisan Pak Siswo yang kemudian 
disampaikan dalam sidang BPK sebagai bahan diskusi dengan Tim Penyusunan Paket 
RUU Keuangan Negara. Semoga tulisan yang dibuat sekitar tahun 2001-an ini 
bermanfaat bagi kita dalam upaya memahami peran dan kedudukan Bendaharawan 
sampai dengan tulisan ini dibuat.

Saya sangat mengharapkan bantuan dari teman-teman di Forum milis kita ini untuk 
menyampaikan pendapat tentang Bendahara, khususnya terkait dengan tindak lanjut 
pembentukan jabatan fungsional Bendahara (pasal 10 UU No. 1/2004 tentang 
Perbendaharaan Negara), yang kemudian diubah menjadi Jabatan Fungsional 
Pengelola Perbendaharaan, yang saat ini menurut saya perlu dikaji kembali. Saya 
juga membutuhkan informasi terkini tentang pelaksanaan jabatan fungsional 
Perencana di daerah, yang kalau tidak salah pernah disampaikan oleh mas 
Okalaksana.

Terimakasih atas bantuan dan partisipasinya.



Salam,
budisan

----------- 

BENDAHARAWAN  : Perkembangan Peran dan Kedudukannya

Abstraksi

(Pada masa kolonial, sistem administrasi keuangan mengenal 2 kelompok pejabat, 
yaitu kelompok beschickers atau kelompok penguasa dan  kelompok bewaarders atau 
kelompok penerima kuasa atau yang lebih popular disebut bendaharawan. Kelompok 
pertama terdiri dari para pejabat yang memegang fungsi otorisasi dan fungsi 
ordonansi, sedangkan  kelompok kedua merupakan pejabat yang memegang fungsi 
komtabel. Kedua kelompok tersebut terdapat di setiap kementrian (departemen). 

Sejak kemerdekaan, fungsi ordonansi dan fungsi komtabel beralih ke tangan 
Menteri Keuangan. Dengan pergeseran tersebut, di setiap departemen tidak lagi 
terdapat fungsi ordonansi dan fungsi komtabel, sehingga di setiap departemen 
tidak lagi terdapat bendaharawan).

-------------

ICW, yang hingga kini masih merupakan acuan dalam pengurusan kebendaharaan 
(comptabel beheer), dalam pasal 77 ayat 1 menyatakan bahwa,

Dengan tidak mengurangi ketentuan pada pasal 67, maka orang-orang dan 
badan-badan yang oleh karena Negara diserahi tugas penerimaan, penyimpanan, 
pembayaran atau penyerahan uang atau surat-surat berharga dan barang-barang 
termaksud pada pasal 55, adalah Bendaharawan, dan dengan demikian, berkewajiban 
mengirimkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan perhitungan mengenai pengurusan 
yang dilakukan mereka. 

Namun demikian, kata ‘comptabele’ (komtabel) dalam rumusan pasal di atas oleh 
A.P. van Gogh  diartikan sebagai  tanggungjawab (yaitu bertanggungjawab atas 
keuangan dan sebagainya  yang ada dalam simpanan, yang harus dikeluarkan) dan 
wajib hitung (atas pengurusan yang dilaksanakan yang mengharuskan adanya 
pertanggungjawaban) . Oleh karena itu kata ’comptabele’ diposisikan dalam 
fungsi sebagai sifat. Bukan sebagai subyek (kata benda ). Sehingga, pasal 
dimaksud kemudian diartikan sebagai berikut :

……………………., maka orang orang dan badan- badan yang oleh karena Negara diserahi 
tugas penerimaan, penyimpanan, pembayaran atau penyerahan uang atau surat-surat 
berharga dan barang-barang termaksud pada pasal 55,  (adalah) wajib mengadakan 
perhitungan dan tanggungjawab atas keuangan, dan sebagainya yang ada dalam 
simpanan yang harus dikeluarkan, dan dengan demikian,

berkewajiban mengirimkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Perhitungan  mengenai 
pengurusan yang dilakukan mereka. 

        Dengan memperhatikan makna yang terkandung dalam pasal 77 ayat  ( 1) 
ICW tersebut, kemudian disusunlah definisi tentang bendaharawan. Sehingga, 
menurut rumusan pasal di atas, tugas bendaharawan adalah : menerima, menyimpan 
dan melakukan pembayaran atau penyerahan uang atau surat-surat berharga dan 
barang. Tugas tersebut, sesuai dengan usulan Dewan Pengawas Keuangan, bukan 
hanya terbatas pada uang dan barang milik negara, tetapi juga meliputi uang dan 
barang milik pihak ke tiga yang oleh negara ditetapkan dibawah pengurusannya. 

        Dari penelitian terhadap literatur yang berkaitan dengan administrasi 
keuangan negara di Hindia Belanda, dapat dilihat bahwa tugas yang dibebankan 
pada bendaharawan, pada hakekatnya, lebih dititikberatkan pada tugas-tugas 
administratif  (clerical work ), yaitu yang berkaitan dengan penatausahaan  -- 
( dalam arti pembukuan dan penyimpanan bukti) -- penerimaan atau pengeluaran 
negara, penyimpanan uang atau barang yang diserahkan  kepadanya dan pelaksanaan 
perintah pemegang  kekuasaan ordonansering untuk melakukan pembayaran ataupun 
penerimaan.   Rincian tugas dimaksud membawa implikasi bahwa bendaharawan  
hanya memiliki kebijakan yang sifatnya pelaksanaan (operasional) . Bukan 
seperti halnya pemegang kekuasaan otorisasi ataupun ordonansering yang memiliki 
kebijakan yang bersifat diskresional. 

        Bila dicermati, tugas yang demikian merupakan cerminan peran 
bendaharawan dalam sistem pengurusan keuangan negara di Hindia Belanda. 
Bendaharawan, yang pengangkatan dan pemberhentiannya merupakan kewenangan 
kepala departemen, dimaksudkan sebagai pihak yang menerima perintah dalam 
sistem pengurusan keuangan negara. 

        Konsep pembagian kekuasaan seperti itu di negara jajahan Belanda 
(Indonesia), mengandung beberapa perbedaan dibandingkan dengan konsep pembagian 
kekuasaan di Prancis yang, ketika itu, merupakan referensi bagi sistem yang 
berlaku di Nederland.

        Di Prancis kewenangan pelaksanaan anggaran terbagi  diantara 2 pejabat 
yang berbeda, yaitu ordonnator (ordonnateur) dan bendaharawan  (comptable). 
Namun, berbeda dengan Hindia Belanda, bendaharawan di Prancis merupakan suatu 
koprs khusus yang diangkat dan diberhentikan oleh menteri keuangan.    

Sementara itu, para ordonnator, seperti halnya di Hindia Belanda, adalah para 
kepala departemen.

        Bila diamati, sistim yang dikembangkan di Prancis tersebut menyiratkan 
hal-hal sebagai berikut: 

-       Adanya pembagian kewenangan yang tegas antara pejabat  pelaksanaan  
anggaran negara ;
-       Terjaminnya kemandirian bendaharawan dalam pengambilan keputusan.

Kemandirian bendaharawan dimaksud diwujudkan dalam fungsi bendaharawan yang 
tidak hanya merupakan kasir (caissier), yang bertugas mengurus harta yang 
dipercayakan kepadanya, akan tetapi juga merupakan pengawas (controleur), yang 
bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap kebenaran (regularitas) keputusan 
ordonator dalam pengeluaran negara,  baik dari aspek formal, maupun dari aspek 
material. Berkaitan dengan itu, bendaharawan dapat menolak perintah ordonator 
untuk melakukan pembayaran, bilamana menurut pertimbangannya perintah tersebut 
tidak memenuhi kebenaran yang  passer-outre (semacam penyimpangan ) dengan 
menyampaikan surat permintaan kepada bendaharawan.

Kendati bendaharawan dalam keadaan diatas terpaksa harus melakukan pembayaran 
yang diperintahkan oleh ordonnator, prosedur yang ditempuh tersebut telah 
membebaskannya dari beban tanggungjawab. Dalam keadaan seperti itu, peran 
lembaga pemeriksa keuangan  menjadi sangat penting, karena prosedur ’pemaksaan‘ 
tersebut kemudian memerlukan keterlibatan lembaga pemeriksa keuangan setelah 
menerima tembusan yang disampaikan oleh menteri keuangan.   

Di Hindia Belanda, kemandirian posisi bendaharawan juga tersirat dari pola 
pemisahan pejabat perbendaharaan sebagaimana telah dikemukakan. Namun, dari 
penelitian kepustakaan yang dilakukan, diperoleh gambaran bahwa kemandirian 
tersebut bersifat semu.  Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa, bendaharawan 
merupakan pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala departemen, yang 
pada hakekatnya, merupakan pejabat pemegang kekuasaan otorisasi dan juga 
ordonansi. Kenyataan tersebut memberi  indikasi bahwa bendaharawan bukanlah 
merupakan personal yang mandiri, yang memiliki kedudukan kuat dalam hal 
pelaksanaan anggaran negara.    

Sistim pembagian kewenangan di atas, menghendaki agar proses pembayaran tagihan 
dilakukan melalui proses pengujian oleh ordonator baru kemudian dilaksanakan 
pembayarannya oleh bendaharawan, bila  ternyata semua persyaratan terpenuhi. 
Namun demikian, prosedur sebagaimana diatas seringkali dipandang sangat lamban. 
Oleh sebab itu, untuk pengeluaran tertentu yang jumlahnya tidak terlalu besar 
dan memerlukan kecepatan pelaksanaan pembayaran, ditempuh prosedur khusus yang 
menyimpang dari prosedur baku. Pola tersebut dikenal dengan nama prosedur ’uang 
untuk dipertanggungjawabkan’  atau prosedur ’u.u.d.p‘. Dalam hal ini perlu 
diperhatikan bahwa, kendati pengeluaran uang tersebut dilakukan oleh kepala 
departemen melalui ordonansi, pengeluaran tersebut merupakan beban sementara 
anggaran negara. Artinya, uang yang
dikeluarkan melalui prosedur u.u.d.p masih tetap merupakan uang negara, dan 
hanya karena alasan praktis uang dimaksud ditarik dari kas umum untuk 
ditempatkan dalam kas khusus. Dari situlah kemudian dikenal istilah pemegang 
kas umum (bendahara umum) dan pemegang kas khusus (bendahara khusus).   

Penyimpangan prosedur ‘u.u.d.p‘ terhadap prinsip yang berlaku umum terletak 
pada tercampurnya kekuasan ordonansering dan bendaharawan dalam satu tangan. 
Artinya, bahwa seseorang yang diserahi tugas mengurus u.u.d.p memiliki 
kekuasaan ordonansering sekaligus kekuasaan bendaharawan.  Dari berbagai sudut 
pandang, pemegang kas khusus tidak dapat dikategorikan sepenuhnya sebagai 
bendaharawan, melainkan sebagai pegawai pemerintah pada umumnya. Oleh karena 
itu, kesalahan yang mungkin dilakukan akan dianalisis sesuai dengan 
kapasitasnya pada saat keputusan yang dinyatakan salah tersebut dilaksanakan. 
Atas dasar itu, pemegang u.u.d.p dapat dituntut dalam kapasitasnya sebagai 
pegawai non bendaharawan ataupun sebagai bendaharawan, tergantung pada 
kesalahan yang dilakukannnya.

Satu hal yang menarik untuk diperhatikan dalam sistem administrasi keuangan 
negara Hindia Belanda adalah, bahwa sistim tersebut menganut desentralisasi 
kekuasaan. Menurut pasal 5 Regelen voor het Administrative Beheer (RAB) 
kekuasaan ordonansi para kepala kementrian diserahkan kepada kepala 
pemerintahan daerah, sepanjang berkaitan dengan pengeluaran kementrian yang 
bersangkutan di daerah. Kendati para kepala daerah, pada saat itu, disebut 
sebagai hulp ordonnateur, pada hakekatnya, mereka adalah ordonator tunggal bagi 
pengeluaran berbagai kementerian di daerah masing-masing.

Selanjutnya, untuk dapat  melaksanakan pembayaran terhadap mandat-mandat yang 
diterbitkan oleh kepala pemerintahan daerah dibentuklah suatu instansi yang 
bertindak sebagai bendaharawan untuk seluruh kementrian di daerah yang diberi 
nama CKC (Centraal Kantoor voor de Comptabiliteit), yang seluruh pegawainya 
berasal dari kementrian keuangan. Dan seperti halnya bendaharawan  pada 
umumnya, CKC, sebagai suatu instansi, tunduk pada pasal 77 ayat (1) ICW. 
Sementara itu, sebagai kasir negara dibentuklah ‘s Lands kas.

Kemerdekan Indonesia membawa pengaruh sangat fundamental dalam sistem 
administrasi keuangan negara. Sistem desentralisasi yang selama ini 
dilaksanakan dirubah menjadi sistem sentralisasi. Menteri keuangan, sesuai 
dengan ketentuan perundang-undangan, merupakan penguasa tunggal di bidang 
keuangan yang bertindak sebagai ordonator bagi seluruh departemen dan sekaligus 
merupakan pemegang kas umum negara. Hal ini membawa implikasi terhadap 
penyatuan kas umum yang dulunya berada di setiap kementrian dan dikelola oleh 
bendaharawan.

Hal prinsip yang dapat ditarik dari perubahan tersebut antara lain adalah, 
terjadinya pergeseran fungsi pemegang kas umum yang dulu berada di tangan 
bendaharawan masing-masing departemen ke tangan menteri keuangan yang, kini, 
dilaksanakan oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Dengan 
beralihnya fungsi tersebut ke tangan menteri keuangan, di setiap departemen 
tidak lagi terdapat fungsi bendahara yang menangani kas umum. Yang tinggal, di 
masing-masing departemen, adalah para pegawai yang 

bertugas mengelola ‘uang untuk dipertanggungjawabkan’ atau u.u.d.p. (kini 
dikenal dengan nama UYHD), yang menurut kenyataan tidak memiliki kualifikasi 
sebagai bendaharawan.

Berdasarkan analisis di atas, dan dalam kaitannya dengan pasal 77 ayat (1) ICW, 
sejak kemerdekaan, yang dimaksud dengan bendaharawan (publik) adalah KPKN. 
Berkaitan dengan itu, hanya KPKN-lah yang berkewajiban menyampaikan laporan 
pertanggungjawaban pengurusan keuangan negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan 
(BPK). Sedangkan para pemegang UYHD di berbagai departemen yang jumlahnya lebih 
dari 33.000, pada hakekatnya, bukan merupakan bendaharawan yang dimaksud oleh 
pasal 77 ayat (1) ICW. Dan oleh karena itu, para pemegang UYHD tersebut tidak 
berkewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa 
Keuangan.
         
 



     




      

Kirim email ke