salam,

lagi bongkar file lama. ini ada tulisan tentang Danau
Limboto Dulu dan Kini (1997). termasuk juga kejasama
Pemda dengan CIDA.

Mungkin menarik untuk penelitian mengenai proyek
khusus Inpres Penghijauan di masa Presiden Soeharto
dan Gerakan Reboisasi Hutan Lindung Nasional (GRHLN)
yang berkembang sekarang ini. Bagaimana tingkat
keberhasilan kedua proyek untuk memulihkan kembali
lahan yang kritis  tersebut di Gorontalo. 

Di Gorontalo, Penghijauan Nasional 16 tahun lalu
dipusatkan di kawasan Limboto yang diresmikan Presiden
Soeharto. Bila penghijauan ini berhasil usia pohon
yang ditanam sudah 16 tahun. Paling tidak, ini bisa
mengurangi dampak banjir. Tapi, banjir meluas di
mana-mana dengan kerugian miliaran rupiah.

verri

===========

Majalah D&R, 19 Juli 1997

Limboto, Dulu dan Kini

Danau Limboto mengalami penyempitan dan pendangkalan
yang sangat drastis. Penyebabnya adalah penggundulan
hutan di hulu danau.

KEKERINGAN yang melanda Tanah Air belakangan ini
menyebabkan pendangkalan di sejumlah danau dan sungai.
Tapi, tidak demikian halnya dengan Danau Limboto, yang
terletak di Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara
(Sul-Ut). Selama 60 tahun terakhir ini, tak peduli
musim kering atau musim hujan, danau alam yang
menghidup ribuan warga yang tinggal di sekitarnya itu
terus mengalami penyempitan dan pendangkalan. ”Dulu,
waktu saya masih kuat menyelam, kedalaman danau masih
10 meter lebi. Sekarang tinggal satu sampai dua meter.
Itu pun lumpurnya lebih banyak,” tutur Hutu Tudi, 80
tahun nelayan Desa Iluta, Kecamatan Batudaa, yang
sepanjang hidupnya menggantungkan nasib di danau yang
melingkupi lima kecamatan—Batudaa, Limboto, Tibawa,
Telaga dan Kota Barat--- itu. Tudi masih ingat, tahun
1951, pesawat Catalina yang membawa Presiden Soekarno
mendarat di permukaan Danau Limboto, yang tentunya
belum sedangkal sekarang.

Menurut catatan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Sul-Ut tahun 1995, selama enam dasawarsa, Danau
Limboto mengalami penyempitan sekitar empat ribu
hektare dan pendangkalan sampai 12 meter. Tahun 1934,
kedalaman danau ini masih 14 meter dengan luas
mencapai tujuh ribu hektare. Tapi, pada tahun 1993,
luasnya tinggal 3,022 hektare, dengan kedalaman Cuma
1,8 meter (lihat tabel). Di satu sisi, pendangkalan
dan penyempitan itu ”menguntungkan” warga. Kawasan
bekas danau itu dimanfaatkan oleh warga setempat
menjadi lahan yang cukup subur. Di Desa Bolihuangga,
misalnya, sekitar dua kilo meter persegi luas areal
danau itu kini sudah berubah menjadi tegalan yang
ditanami padi dan jagung pada saat musim pancaroba.

Namun, kerugian yang mereka derita lebih besar lagi.
Saat musim hujan tiba, danau yang makin menciut itu
tak sanggup lagi menampung luapan air yang datang dari
13 anak sungai yang bermuara ke Limboto. Akibatnya,
banjir menenggelamkan rumah-rumah penduduk, lahan, dan
menggagalkan panen. Pernah terjadi, banjir besar
menyebabkan panen gagal sampai dua tahun lamanya
karena semua tanaman rusak.

Pendangkalan itu juga menyebabkan berkurangnya ikan
yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Di Danau
Limboto hidup beragam jenis ikan, seperti ikan huluu,
gabus, payangga, belut, mangga bai, botuwa,
monggaheto, dumbaya, bandeng, mujair, udang dan
kepiting. Menurut Penelitian Sub Balai Perikanan Air
Tawar Jatiluhur, produksi perikanan di Danau Limboto
kini cuma sekitar 223 kilogram per hekare per tahun.
Padahal, tahun 1970, panen bisa mencapai empat ribu
ton per tahun. Tak jelas, apakah jenis-jenis ikan itu
juga ikut berkurang. Tapi kini, tempat penjualan ikan
di Desa Dehualolo tampak sepi dan ditinggalkan para
pedagang. Di pasar Sore dan pasar Seribu, aktivitas
penjualan ikan pun tampak menyurut. ”Penghasilan saya
untung-untungan, cuma Rp 1000 sehari. Kadang-kadang
bahkan tidak dapat ikan sama sekali,” Tudi mengeluh.

Para nelayan kecil itu juga masih harus bersaing
dengan para nelayan bermodal besar yang kini mulai
menjamur. Di sepanjang areal danau yang tersisa tampak
berjejer ratusan rumah kecil yang digunakan sebagai
tempat pembiakan ikan dengan sistem karamba. Jenis
ikan yang dibiakkan umumnya adalah yang bernilai jual
tinggi, seperti ikan emas dan nila. Para nelayan
”kelas baru” itu umumnya adalah kalangan berduit,
seperti pejabat pemerintah dan pengusaha. Kehadiran
karamba ikan itu juga menjadi salah satu faktor
penyebab pendangkalan. Karena, sampah dedaunan dan
batang kayu yang dipakai untuk membikin karamba itu
biasanya ditinggalkan begitu saja.

Bisa dimaklumi kalau para nelayan kecil yang harus
bertarung dengan dua ”lawan” –alam dan para pemodal
besar—kini cenderung berlaku nekat untuk menjala ikan
yang tersisa. Mereka kini mulai menggunakan cara-cara
yang tak ramah lingkungan untuk menangkap ikan.
Misalnya dengan menggunakan aki enam volt. Aki itu
dimasukkan ke kotak kecil, lalu kutub-kutubnya
disambungkan ke kawat sepanjang 1,5 meter yang
sebagian diselongsongi papan. Kawat itu lalu diulur ke
air. Nah, ikan-ikan yang terkena setrum itu akan
kelojotan, lalu teler dan gampang ditangkap secara
massal. Tapi, cara itu juga berbahaya bagi si nelayan
sendiri. ”Ada yang mati karena pakai listrik yang
lebih besar dari enam volt,” kata Tudi.

Mengapa Danau Limboto terus menciut dan mendangkal?
Menurut Ibrahim Lamasika, 34 tahun, warga Bolihuangga,
penggundulan gunung dan hutan di sekitar Limbotolah
penyebab utama pendangkalan dan penciutan danau itu.
Akibatnya, terjadi erosi di muara danau. Banjir juga
membawa rerumputan, sampah, lumpur, dan bermacam
sedimen lainnya mengendap di dasar danau dan
menyebabkan pendangkalan. ”Erosi itu membawa
partikel-partikel yang merusak ladang-ldang di
bawahnya dan mempercepat pendangkalan,” ujar lulusan
Universitas Sam Ratulangi ini.

Menurut catatan Sub Balai Rehabilitasi Lahan dan
Konservasi Tanah Kanwil Kehutanan Sul-Ut, luas hutan
yang merupakan daerah resapan air menyusut dari 91.004
hektare pada awal 1980-an menjadi cuma 23.257 hektare
saat ini. Secara hidrologis, daerah resapan air Danau
Limboto terdiri dari dua bagian: bagian hulu yang
berupa kawasan berbukit-bukit dan daerah dataran
rendah yang menjadi daerah cebakan air (water
reservoir). jadi, bila bagian hulunya ditebangi, air
hujan akan mengalir tak tertahankan ke daerah-daerah
di bawah.

Wartawan D&R yang menyusuri daerah hulu dan kawasan
resapan air Danau Limboto mendapati penebangan hutan
itu dimodali kalangan berduit di Gorontalo. Bahkan, di
Kecamatan Kwandang, konon, aksi penebangan itu
dibekingi oknum aparat keamanan. Para penebangan
ilegal itu, biasanya, beroperasi secara diam-diam dan
memuat kayu hasil tebangan pada malam hari. ”Kalau
ketemu petugas jagawana (penjaga hutan), mereka main
mata dengannya. Padahal, kalau yang memuat kayu curian
itu orang biasa, biasanya diproses dan kayunya
disita,” cerita seorang warga Kwandang kepada D&R.

Akibat penyusutan daerah resapan air itu, banjir besar
berkali-kali melanda kawasan itu. Apalagi, pola aliran
sungai-sungai yang bermuara ke Danau Limboto tergolong
unik. Di beberapa tempat terdapat percabangan anak
sungai yang hampir tegak lurus dengan sungai induknya.
Sementara itu, panjang lereng danau di sisi barat
relatif lebih besar daripada lereng utara dan timur.
Hal itu mempengaruhi intensitas aliran banjir yang
melanda kawasan dibawahnya. Di bagian barat itu pula
air membanjiri Danau Limboto.Daerah aliran sungai
Limboto-Bone-Bolango juga merupakan daerah
pendangkalan yang paling kritis. Sementara itu di
bagian timur, banjir mengalir ke sekitar Sungai Poso
dan Kelurahan Dambalo. Bulan Juli sampai September
1995, misalnya, Danau Limboto meluap dan membanjiri
Gorontalo.

Selain erosi, banjir juga menyebabkan terjadinya
proses penyuburan (eutrofikasi). Aliran banjir
meningkatkan jumlah kandungan bahan organik di air,
yang pada gilirannya menaikkan pertumbuhan tanaman air
pengganggu (gulma). Proses itu juga menyebabkan
kandungan oksigen di air menurun, yang mengakibatkan
matinya ikan dan hewan air lainnya. Dua tahun silam,
Pemerintah Daerah Gorontalo sudah berupaya untuk
mengeruk endapan lumpur dan memangkas gulma air itu.
Tapi, proyek itu cuma berjalan sesaat karena
kekurangan dana, sementara gulma yang digusur itu
tumbuh kembali dengan cepat. ”Sebenarnya, kami juga
kerja bakti untuk memperlancar aliran air ke danau.
Tapi, bagaimana dengan bukit yang terus digunduli
itu,” ujar Lamasika.

Toh, bukannya tak ada upaya untuk mengatasinya.
Pemerintah daerah dengan dibantu tim dari Canadian
International Development Agency sedang mengembangkan
rencana induk proyek pengelolaan sumberdaya air
terpadu di Danau Limboto. Di antaranya, pembangunan
waduk-waduk, pembagian air dari satu sungai ke sungai
lainnya, dan penggunaan air secara optimal. Sementara
itu, untuk menanggulangi penggundulan hutan di daerah
aliran sungai Limboto, pihak Kanwil Kehutanan Sul-Ut
juga telah memprogram penghijauan kembali hutan gundul
itu. Tak tanggung-tanggung, penghijauan itu
dilaksanakan lewat proyek khusus Inpres Penghijauan
Danau Limboto. Tahun 1992, Pekan Penghijauan Nasional
yang diresmikan Presiden Soeharto dipusatkan di
kawasan itu. Dengan begitu diharapkan Danau Limboto
tak akan tinggal sebagai kenangan indah saja.

Verrianto Madjowa (Gorontalo)



      
____________________________________________________________________________________
Never miss a thing.  Make Yahoo your home page. 
http://www.yahoo.com/r/hs

Kirim email ke