Hubungan Indonesia dan Malaysia saat ini sedang memanas. Banyak pihak yang 
menginginkan Indonesia memutuskan hubungan dengan Malaysia. Di tengah situasi 
yang panas itu, saya menemukan sebuah tulisan yang memandang persoalan ini dari 
sudut pandang berbeda. Sepertinya ada agenda dari pihak-pihak tertentu yang 
tidak menginginkan Indonesia dan Malaysia rukun. Berikut tulisan tersebut saya 
kutip seutuhnya.

Mengapa Kita Beraninya Hanya pada Malaysia? 
http://rinaldimunir.wordpress.com/2010/08/27/artikel-mengapa-beraninya-hanya-pada-malaysia-pada-singapura-tidak/

Oleh: Afriadi Sanusi
Sumber tulisan:  www.hidayatullah.com

SEORANG Profesor Singapura menulis dalam sebuah artikelnya; Kebanyakan rumah 
mewah yang ada di Singapura, Kebanyakan uang yang beredar di Singapura adalah 
punya orang Indonesia. Kebanyakan pembangunan yang ada di Singapura, dibangun 
dari uang yang datangnya dari Indonesia. Dan di saat Singapura mengadakan Grand 
Sale setiap tahunnya, lebih 2 juta orang Indonesia datang belanja ke sana..”

Seorang sahabat di Singapura pernah mengatakan, “dari jalan ini sampai ke ujung 
sana dulunya adalah lautan, dan sekarang menjadi daratan cantik yang ditimbun 
dengan pasir yang didatangkan dari pulau-pulau kecil di Riau”.

Apa yang sebenarnya kita dapatkan dari Singapura?

Pertama, TKI laki-laki dari Indonesia diharamkan bekerja dan mencari nafkah di 
Singapura seperti di bidang pembangunan, kuli kasar, buruh dan sebagainya. 
Singapura lebih memilih warga negara lain daripada WNI, dengan berbagai alasan 
yang tidak masuk akal.
Kedua, banyak orang mengatakan dan dari sumber lainnya, “Satu per satu 
pulau-pulau kecil di Riau hilang karena pasirnya diangkut ke Singapura.

Ketiga, identitas orang Melayu yang identik dengan Islam seperti istana, rumah, 
perkampungan orang Melayu, dihilangkan. Adat dan budaya melayu dimuseumkan. 
Azan diharamkan menggunakan pengeras suara di semua masjid dan surau di 
Singapura.

Keempat, pemerintah Singapura melayani dan melindungi koruptor RI yang telah 
membuat rakyat RI sengsara selama ini (karena hak-hak rakyat untuk mendapatkan 
pendidikan, rumah sakit, infrastruktur, makan dan tempat tinggal yang baik 
terjajah dan terzalimi), dengan tidak mau menandatangani perjanjian ekstradisi.

Kelima, banyak rakyat, nelayan dan petugas kita diacungi senjata berat dan 
diusir dengan pengeras suara karena disangka telah melintasi garis batasan laut 
kepunyaan Singapura.

Malaysia Lebih Baik dari Singapura

“Sejahat” apapun Malaysia, saat ini ada 2 juta orang lebih WNI yang sedang 
mencari rezeki di Malaysia untuk nafkah keluarga mereka di RI. Triliyunan uang 
TKI dikirim ke Indonesia setiap tahunnya. Dapat dibayangkan, bagaimana dampak 
sosial, ekonomi dan budaya yang akan berlaku di Indonesia kalau TKI pulang 
sekaligus.

Faktanya, TKI-lah sebenarnya “pahlawan” yang harus dilindungi, karena mereka 
penyumbang devisa negara. Di saat lain, ada banyak institusi yang keberadaannya 
hanya menghambur-hamburkan uang negara. Kegunaan mereka sangat perlu 
dipertanyakan di saat keberadaan mereka tidak memberikan manfaat yang berarti 
kepada rakyat. Ibarat pepatah Arab, ”wujuduhu ka adamihi.” (adanya seperti 
tidak adanya). Dengan kata lain, ada atau tidak adanya mereka, sama saja. Tak 
memberi manfaat.

Ribuan orang Indonesia sedang belajar S2 & S3 di Malaysia saat ini. 
Kebanyakannya mendapat bantuan atau keringanan biaya dari pemerintah Malaysia 
dan banyak juga yang sambil bekerja. Uang kuliah di perguruan tinggi negeri 
Malaysia lebih murah dari Indonesia. Kualitas, infrastruktur dan kemudahan 
lainnya jauh lebih baik dari di Indonesia tentunya.

Sebagai warga asli Indonesia, penulis tidak merasa sakit hati kalau ditilang 
oleh polisi Malaysia. Karena kami yakin, uang itu pasti akan masuk ke dalam kas 
negara untuk pemerintah Malaysia memperbaiki jalan, jembatan, lampu jalan yang 
aku gunakan setiap hari di negara ini.

Sebalinya, saya sering sakit hati jika ditilang oleh polisi Indonesia. Karena 
kami yakin, uang itu belum tentu masuk kas negara. Bahkan ada yang masuk 
pribadi polisi, keluarga dan golongannya tanpa dikembalikan kepada ke negara 
untuk membangun infrastruktur.

Lalu yang sangat mengherankan, isu-isu yang sebenarnya bisa diselesaikan di 
tingkat diplomat, tetapi menjadi barang dagangan pasar yang dikonsumsi oleh 
rakyat umum. Boleh jadi isu ini sepertinya dimanfaatkan oleh segelintir orang 
yang memang memiliki agenda, bagaimana supaya Islam, Melayu dan Nusantara yang 
kaya dengan SDM & SDA ini, tidak menjadi sebuah kekuatan. Mengapa rakyat di 
negaraku begitu mudah emosi?

Pengalihan Isu

Isu-isu penangkapan Abubakar Ba‘asyir, isu VCD porno artis, isu teroris, dan 
sebagainya, faktanya tidak berhasil mengalihkan perhatian rakyat terhadap 
berbagai skandal perampokan uang rakyat melalui kasus BLBI, Century, Rekening 
Gendut Polisi, kenaikan BBM dan harga bahan pokok, penangkapan Susno Duadji, 
buruknya birokrasi dan pelayanan publik, maraknya korupsi, pelemahan KPK, 
gagalnya sebuah kepemimpinan, meningkatnya jumlah kemiskinan, pengangguran, 
perbuatan kriminal, buta huruf dan gagalnya hampir setiap departemen dan 
institusi pemerintahan, dalam memberikan manfaat keberadaan mereka yang berarti 
kepada rakyat.

Isu “memanasnya” hubungan Indonesia-Malaysia tidak akan membuat rakyat lupa 
terhadap semua penipuan, pembodohan dan “perampokan” uang rakyat yang telah, 
sedang dan akan berlaku.

Damaikanlah Saudaramu

Pakar Melayu Prof. Dr. Dato’ Nik Anuar Nik Mahmud dari Institut Alam dan 
Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dalam sebuah wawancara 
khusus dengan hidayatullah.com [“Ada Kuasa Besar Halangi Terbentuknya Melayu 
Raya], mengatakan, dalam buku-buku sejarah Melayu yang ditulis sebelum perang 
dunia ke-2, seperti “Sejarah Melayu” yang ditulis oleh Abdul Hadi dan Munir 
Adil, wilayah Semenanjung dan Indonesia dianggap sebagai alam “Melayu Raya”. 
Mereka menamakan tanah Melayu; Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, 
Johor, Kelantan, Pattani, dan lainnya sebagai “alam Melayu”, atau di Indonesia 
dikenal istilah Nusantara. Yaitu wilayah Semenanjung tanah Melayu dan gugusan 
tanah Melayu.

Sejarah ini diajarkan kepada pelajar-pelajar Melayu sebelum Perang Dunia ke-2. 
Saat itu, ada semangat untuk memulai kembali bersatunya Melayu. Intinya, ada 
hasrat untuk bersatu.

Kalau mau jujur, semua suku di Indonesia ada di Malaysia: Jawa, Bugis, Aceh, 
Minang. Kini banyak orang Jawa di Johor, juga di Selangor. Termasuk banyak 
warga Aceh di Malaysia. Negeri sembilan sebagian penduduknya dari Minangkabau. 
Bahkan Sultan Selangor itu berasal dari Bugis.

Jadi seharusnya, semangat kita (Indonesia dan Malaysia) adalah semangat “satu 
rumpun” untuk bekerjasama untuk bangunkan alam Melayu ini. Hanya saja, jika 
berpecah, mustahil, bangsa Melayu tumbuh menjadi bangsa yang besar.

Aksi ingin mengajak perang dengan Malaysia, pelemparan kotoran ke Kedutaan 
Malaysia, sweeping warga Malaysia pasti akan menyakitkan hati dan membuat 
hubungan bukan makin mendekat, tapi malah menjauh.

Walaupun gerakan LSM Bendera tidak mewakili gerakan orang-orang cerdas di 
Indonesia, seperti Senat Mahasiswa, Muhammadiyah, ICMI, HMI, dll., namun warga 
Indonesia harus lebih peka dan mencari tahu, siapakah LSM ini? Ada apa di balik 
agenda mereka?

Apakah mereka bergerak untuk kepentingan partai politik tertentu, ataukah untuk 
menaikkan partai dan pemimpin tertentu, ataukah mereka dibiayai oleh pihak 
asing untuk menghancurkan rumpun Melayu?

Di sisi lain, biasanya, isu-isu yang akan memungkinan pecahnya hubungan 
Malaysia-Indonesia jarang ditanggapi dan dibesar-besarkan media Malaysia. Namun 
akhir-akhir ini, khususnya pemberitaan ‘ketegangan’ hubungan 
Indonesia-Malaysia, ditanggapi berbagai pihak. Termasuk pakar politik di 
berbagai media massa, seperti oleh Samy Vellu, Bernama dll.

Ada dua kemungkinan mengapa mereka menanggapinya. Pertama, untuk membangkitkan 
rasa nasionalisme rakyat menjelang hari kemerdekaan Malaysia yang jatuh pada 
setiap tanggal 31 Agustus. Kedua, mungkin juga dimanfaatkan oleh keturunan 
China dan India Malaysia yang memang kurang suka dengan hubungan baik 
Indonesia-Malaysia. Karena ini akan menguatkan kepentingan mereka dari segi 
politik, ekonomi, sosial, budaya dan pembangunan di Malaysia.

Apakah kita akhirnya memutuskan “berperang” dengan Malaysia? Apakah kita tetap 
ngotot mengajak perang dengan Negara yang di dalamnya banyak keturunan Melayu 
Riau, Palembang, Aceh, Bugis, Minang, Mandailing, Rao, Jambi, Kerinci, Jawa, 
karena kita seagama Islam dan satu rumpun melayu?

Di saat yang sama, sudah ratusan kali pasir kita dicuri, minyak kita 
diselundupkan, tapi kenapa kita selama ini tidak membenci Singapura yang 
menguras minyak kita dengan Caltexnya? yang menguras gas kita dengan Harunnya 
dan sebagainya, tanpa memberikan dampak yang berarti terhadap pembangunan, 
ekonomi dan sosial rakyat?

Apakah kita takut pada Singapura karena mereka memiliki peralatan perang yang 
sangat canggih dan jauh meninggalkan Indonesia? Ataukah kita sengaja dibuat 
takut, karena para pejabat kita banyak yang memiliki hubungan mesra dengan 
Singapura yang menyimpan uang mereka dalam bentuk saham dan investasi?.

Malaysia secara tidak resmi telah melarang rakyatnya datang ke Indonesia. Kalau 
ini berlanjut, pasti semua ini akan memberikan pengaruh terhadap perusahaan 
penerbangan, hotel, pariwisata, tempat berbelanja, investor di Indonesia.

Kalau sengketa ini berlanjut di tingkat pemerintah, maka akan sama-sama kita 
dengar, tiga, lima bulan lagi. Malaysia akan membeli peralatan perang yang 
baru, Amerika pula akan menawarkan “jasanya” pada TNI untuk memberikan pinjaman 
utang, untuk membeli peralatan perangnya yang katanya, harga sebuah kapal 
perang bekas saja, sama dengan harga sebuah pulau besar di Indonesia.

Namun sebelum itu terjadi, ada sebuah pesan dari al-Quran.

“Sesungguhnya orang beriman itu adalah bersaudara, karena itu damaikanlah 
antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah semoga kamu mendapat 
rahmat.” (QS: al-Hujurat ayat 10)

*)Penulis yang berasal dari Sumatera, PhD. Candidate Islamic Political Science, 
University of Malaya, Kuala Lumpur

http://rinaldimunir.wordpress.com/2010/08/27/artikel-mengapa-beraninya-hanya-pada-malaysia-pada-singapura-tidak/




Kirim email ke