*~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*
 {  Sila lawat Laman Hizbi-Net -  http://www.hizbi.net     }
 {        Hantarkan mesej anda ke:  [EMAIL PROTECTED]         }
 {        Iklan barangan? Hantarkan ke [EMAIL PROTECTED]     }
 *~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~*
          PAS : KE ARAH PEMERINTAHAN ISLAM YANG ADIL
 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Assalamu alaikum,

Artikel Islam - Pusat Informasi dan komunikasi Islam Indonesia


          Assalamu'alaikum Wr.Wb.

            PERBEDAAN POKOK ANTARA AQIDAH ASY'ARIAH dengan AQIDAH
            AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH

            Disebut aqidah Asy'ariah karena pencetus awalnya adalah Al-Imam 
Abu al-Hasan al-Asy'ari. Pada awalnya beliau adalah tokoh firqah Mu'tazilah 
(paham rasionalisme) sebelum beliau bertaubat kembali
kepada pemahaman Manhaj Salaf, karena sejak kecil beliau diasuh oleh Bapak 
angkatnya yang juga sebagai tokoh Mu'tazilah pada masa itu yakni Abu Ali 
al-Jubba'i. Maka tidak heran jika beliau juga menjadi tokoh Mu'tazilah pada 
waktu itu disebabkan kecerdasan yang beliau miliki atas karunia Allah 
Ta'ala. Kemudian atas taufiq dari Allah  Ta'ala, beliau menyadari atas 
kekeliruannya selama ini dan dengan ijin Allah jua beliau mengoreksi kembali 
dan memberikan bantahan atas penyimpangan-penyimpangan pemahaman Mu'tazilah 
yang beliau  kagumi selama 40 tahun. Walau, tatkala itu beliau pun masih  
menonjolkan akal dalam menyergah faham-faham Mu'tazilah. Dan itu merupakan 
proses perjalanan panjang pemikiran dan keyakinan Abu  Al-Hasan Al-Asy'ari 
yang akhirnya berujung pada sikapnya untuk kembali kepada ajaran yang haq, 
yakni berpegang kepada pemahaman salaf.
            Dalam mengomentari perkembangan pemikiran Al-Imam Abu Al-Hasan 
Al-Asy'ari, Al-Imam Ibnu Katsir berkata, "Mereka menyebut bahwa Abu   
Al-Hasan Al-Asy'ari memiliki tiga tahapan :
            Pertama :
            Memegangi paham Mu'tazilah dimana kemudian beliau taubat tak
            diragukan lagi.
            Kedua :
            Menetapkan tujuh sifat bagi Allah berdasarkan akal yakni: 
Al-Hayat, Al-Ilmu, Al-Qudrah, Al-Iradah, As-Sam'u, Al-Bashar, Al-Kalam dan
menta'wil sifat-sifat khabariyah seperti, wajah Allah, tangan Allah, kursi 
Allah dan lain-lain.
            Ketiga :
            Menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai 
dengan pemahaman as-Salaf sebagaimana dalam kitab Al-Ibanah 'An Ushul   
Ad-Dieniiyah yang merupakan tulisan terakhirnya. (Dan kitab ini merupakan 
taubat dan kembalinya beliau kepada Manhaj Salaf-pen)
            Pengaruh Mu'tazilah yang sangat kuat membawanya melalui tahapan 
kedua sebelum akhirnya kembali pada madzhab salaf yang murni. Meski 
demikian, pemahaman yang telah dikembangkan oleh beliau dikala belum kembali 
kepada manhaj yang haq, hingga kini masih bergulir dan digeluti oleh banyak 
kaum muslimin. Dan yang paling menonjol  diantara faham yang pernah 
diajarkannya adalah berkenaan dengan  penetapan 7 sifat wajib bagi Allah dan 
7 sifat mustahil bagi Allah.
            Dan yang kemudian dikembangkan oleh Syaikh Maturidiyah menjadi 
13  sampai 20 sifat. Dan bila ditelusuri lebih lanjut, nyatalah bahwa 
penetapan sifat wajib dan mustahil bagi Allah sebanyak tujuh sifat
merupakan penetapan beliau berdasarkan akal. Padahal, untuk masalah-masalah 
yang menyangkut eksistensi Allah, segala penetapannya harus bersandar kepada 
apa yang telah dikhabarkan oleh
            Allah Ta'ala melalui firmanNya dan RasulNya shallallahu 'alaihi 
wa salam melalui hadits-haditsnya yang shahih dengan tanpa ta'thil, takyif, 
tahrif, tasybih atau tamsil. Oleh karena itu, ada
            kesalahpahaman yang sempat melanda kaum muslimin, baik dulu 
maupun
            sekarang. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa aqidah Asy'ariyah
            tidak berbeda dengan aqidah Ahlussunnah, atau mereka itulah
            Ahlusunnah yang sesungguhnya.
            Perlu diketahui bahwa Asy'ariyah dalam masalah aqidah, telah
            melewati masa-masa yang kian menambah jarak antara mereka dengan
            Ahlussunnah. Terutama setelah para tokohnya yang datang terakhir
            memasukkan prinsip-prinsip keyakinan yang diambil dari filsafat,
            tasawuf, mantiq dan ilmu kalam. Pada gilirannya Asy'ariyah 
tercemari
            oleh pemikiran-pemikiran bathil. Mereka (Asy'ariyah) sejalan 
dengan
            Ahlusunnah dalam beberapa masalah aqidah dan berbeda dalam 
beberapa
            perkara lainnya. Beberapa masalah penting yang menjadi perbedaan
            antara Asy'ariyah dengan Ahlussunnah adalah :
            Pertama :
            Penafsiran makna "Tauhid" yang dibatasi pada "Tauhid Rububiyah" 
dan
            kelalaian mereka dari Tauhid Uluhiyah dan Ibadah.
            Kita telah memahami bahwa para rasul datang mendakwahkan Tauhid
            Uluhiyah. Sebagaimana dalam Al-Qur'an surah Al-Anbiya' : 25, 
"Dan
            Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
            wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada yang diibadahi (dengan
            haq) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu akan Aku."
            Inilah tauhid yang menjadi tujuan diciptakannya jin dan manusia,
            sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an surah Adz-Dzariyat ayat 56 
:
            "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya 
mereka
            beribadah kepada-Ku."
            Manhaj Asy'ari dalam Tauhid Uluhiyah tidaklah jelas. Hal ini 
karena
            beberapa sebab diantaranya adalah :
            1. Definisi Al-Ilah yang mereka artikan sebagai "Yang Maha Kuasa
            untuk mencipta" seperti disebutkan oleh Al-Baghdadi yang dia
            nisbatkan kepada Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
            2. Kitab-kitab karangan mereka dalam hal aqidah tidak membahas
            Tauhid Uluhiyah secara khusus. Bahkan para tokoh Asy'ariyah 
dalam
            tulisan-tulisan mereka menggunakan cara-cara ahli filsafat atau 
ahlu
            kalam. Mereka memulai tulisan-tulisannya dengan
            pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata
            berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan
            filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) 
tidak
            memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal 
adalah
            qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat 
sekitar
            kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal 
dari
            filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya 
tertumpu
            pada penetapan Tauhid Rububiyah.
            3. Asy'ariyah menetapkan bahwa kewajiban pertama bagi mukallaf
            (orang yang sudah mencapai masa baligh) adalah an-Nazhar 
(melihat)
            untuk menetapkan wujud Allah dan akhirnya keesaan Allah dalam 
dzat
            dan perbuatan. Bukan berarti Ahlusunnah mengenyampingkan Tauhid
            Rububiyah, tetapi orang-orang Asy'ariyah telah memulai dengan 
suatu
            hal yang tidak dicontohkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu
            'alaihi wa salam. Sebab Tauhid Rububiyah adalah fitrah,
            hampir-hampir tidak ada yang mengingkari secara keseluruhan
            melainkan sedikit. Tidak pernah kita mengenal suatu umat yang
            sepakat untuk mengingkari Tauhid Rububiyah, kalaulah ada kita 
akan
            dapatkan dalam kisah-kisah para nabi. Sebaliknya kesesatan 
berbagai
            umat, firqah atau kelompok terdapat pada penentangan terhadap 
Tauhid
            Uluhiyah.
            4. Sebagai akibat dari penafsiran tauhid yang dibatasi pada 
Tauhid
            Rububiyah oleh Asy'ariyah secara umum, kita jumpai bermacam 
bid'ah
            dalam ibadah bahkan perbuatan syirik atau membela perbuatan 
syirik
            pada orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada Asy'ariyah. 
Ini
            karena sikap remeh dan menganggap enteng Tauhid Uluhiyah. 
Disamping
            itu Asy'ariyah memang memiliki hubungan lama dengan Sufiyah.
            Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebut lima tabaqat (generasi) 
orang-orang
            yang menisbatkan diri mengambil dari Abu Al-Hasan Asy'ari. Dari
            setiap tabaqat (generasi) terdapat orang yang ber-intisab kepada
            sufi.
            Kedua :
            Mendahulukan akal yang mereka istilahkan dengan 
kepastian-kepastian
            akal dari pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam perkara-perkara 
ghaib,
            I'tiqad dan sifat-sifat Allah.
            Beberapa permasalahan penting yang menjadi kesepakatan 
Asy'ariyah,
            Maturidiyah, Mu'tazilah dan Jahmiyah adalah mendahulukan akal
            daripada wahyu. Kaidah mereka dalam hal ini diungkap oleh 
Al-Juwaini
            dan Ar-Razi dan juga yang lainnya, yaitu dalil naqli tidak
            memberikan faedah berupa keyakinan, karena dalil naqli sifatnya
            zhanni sedang dalil aqli sifatnya qath'I (pasti), perkara yang
            bersifat zhanni (dugaan) tidak bisa menentang yang qath'i.
            Oleh karena itu, lihatlah di dalam majlis-majlis mereka dalam
            membahas perkara-perkara agama sedikit sekali mereka menggunakan
            cara-cara Ahlusunnah dalam menyampaikan ilmu dien yakni cara 
ahlu
            hadits/ ahlu atsar. Kebanyakan mereka berbicara tentang agama 
dengan
            kepastian kebenaran akal. Bisa jadi pembahasan satu ayat 
Al-Qur'an
            atau hadits Nabi, ditakwilkan dengan berbagai macam-macam bentuk
            penakwilan agar dapat diterima oleh akal-akal mereka dan 
memuaskan
            hawa nafsunya. Mereka memulai penyampaian ilmu dengan
            pengertian-pengertian logika, teori-teori, bukti kebenaran nyata
            berdasarkan akal, tashawwur dan berbagai istilah ahlu kalam dan
            filsafat. Kemudian penyebutan dalil-dalil naqliyah (tekstual) 
tidak
            memberikan faedah berupa keyakinan sedang dalil-dalil akal 
adalah
            qath'I (pasti) dan yakin. Setelah itu pembicaraan berpusat 
sekitar
            kejadian alam, penetapan pencipta dan hal-hal lain yang berasal 
dari
            filsafat dan ilmu kalam, kemudian alur pembicaraan akhirnya 
tertumpu
            pada penetapan Tauhid Rububiyah
            Ketiga :
            Asy'ariyah tenggelam dalam ta'wil sifat-sifat Allah yang telah
            dilarang oleh para salaf as-Shalih
            Asy'ariyah dan para pengikutnya seperti Maturidiyah dan
            lain-lainnya. Mereka, dalam mengimani masalah Asma' dan Sifat 
Allah
            adalah dengan menetapkan nama-nama Allah dan sebagian sifat-Nya
            serta menolak sebagian besarnya. Mereka menetapkan nama-nama dan
            menolak sebagian besar sifat-sifat Allah berdasarkan kesesuaian 
akal
            manusia. Mereka menetapkan sifat tujuh bagi Allah yakni 
Al-Iradah,
            Al-Qudrah, Al-'Ilmu, Al-Hayah, Al-Bashar, As-Sama', dan 
Al-Kalam.
            Mereka meyakini sifat-sifat yang mereka tolak itu bila 
ditetapkan
            (menurut mereka) akan terjadi tasybih (penyerupaan dengan 
makhluk).
            Mereka katakan, "Kami menetapkan sifat tujuh bagi Allah ini 
lantaran
            secara akal memang demikian."
            Cobalah lihat cara mereka menetapkan sifat-sifat Allah itu 
dengan
            logika: "Dengan adanya makhluk, berarti menunjukkan bahwa Allah 
itu
            Al-Qudrah (memiliki sifat kuasa). Kemudian, dengan adanya 
makhluk
            yang mempunyai kekhususan masing-masing menunjukkan Allah itu
            mempunyai sifat Al-Iradah (berkehendak). Selanjutnya, dengan 
ihkam
            (keserasian penciptaan) makhluk menunjukkan Allah itu mempunyai
            sifat Al-Ilmu (berilmu). Dan semua sifat-sifat Al-Ilmu, 
Al-Qudrah,
            Al-Iradah menunjukkan Allah itu hidup (Al-Hayyu) dan hidup 
tentunya
            mempunyai sifat Al-Bashar (melihat), As-Sam'u (mendengar), 
Al-Kalam
            (berbicara). Inilah sifat yang sempurna, kemudian meletakkan
            sifat-sifat yang berlawanan dengan hal-hal di atas, seperti 
bisu,
            buta, dan tuli sebagai sifat terlarang bagi Allah."
            Adapun sifat-sifat Allah yang lain yang mereka tolak karena 
tidak
            cocok dengan akal mereka. Mereka menolak sifat-sifat itu dengan 
cara
            menakwil dengan merubah makna asli kepada makna yang lain. 
Ta'wil
            yang mereka lakukan khususnya pada sifat-sifat khabariyah 
seperti
            tangan, mata, wajah, istiwa', nuzul (turunnya Allah ke langit
            dunia), benci, ridha dan lain-lain. Asy'ariyah tidak 
mengimaninya
            seperti kedatangan kabar-kabar tentang itu sebagaimana yang
            dilakukan oleh Salaf as-Shalih. Tetapi mereka mena'wil dan
            memalingkan lafazh-lafazhnya dari bentuk zhahirnya. Hal ini 
menurut
            mereka karena adanya tajsim (menjasmanikan) dan tamsil
            (menyerupakan). Mereka lalai bahwa akibat dari perbuatan ini 
berarti
            mereka telah berbuat tahrif (penyimpangan) pada kalam Allah dan
            mena'wil maknanya. Mereka juga berkata tentang Allah tanpa 
dilandasi
            ilmu dan keharusan-keharusan lainnya (perangkat dalam memahami 
ilmu
            agama) akibat dari perbuatan ta'wil serta menafikan (menolak) 
sikap
            penyerahan terhadap Allah. Bagaimana mungkin Allah memberitakan
            tentang diri-Nya atau Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam 
dengan
            sesuatu yang tidak layak atau mengharuskan tasybih dan tajsim,
            kemudian baru dapat disingkap kebenarannya oleh ahlu kalam 
setelah
            abad III hijriyah. Tidak mungkin pemahaman yang benar tentang
            sifat-sifat Allah itu terlepas dari para shahabat, tabi'in dan 
salaf
            al-Ummah yang lainnya. Padahal Allah telah menutup pintu tasybih 
dan
            tamsil dengan firmanNya yang artinya :
            "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang 
Maha
            Mendengar lagi Maha Mengetahui." (As-Syura: 11)
            Kaidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam menyikapi tentang 
khabar-khabar
            yang datang dari Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah
            diberitakan oleh Rasulullah shallallahu 'alahi wa salam yang 
tertera
            dalam kitab-kitab hadits yang shahih adalah wajib untuk diimani,
            baik dipahami maknanya atau tidak, sebagaimana firman Allah 
dalam
            surat An-Nisa':136 yang artinya :
            "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah 
dan
            Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya,
            serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang 
kafir
            kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
            kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat 
sejauh-jauhnya." (
            An-Nisa' : 136 )
            Atau surat An-Nisa' : 170 yang artinya :
            "Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad
            shallallahu 'alaihi wa salam) itu kepadamu dengan (membawa)
            kebenaran dari Rabbmu, maka berimanlah kamu, itulah yang lebih 
baik
            bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan
            Allah sedikitpun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di 
bumi
            itu adalh kepunyaan Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi
            Maha Bijaksana." (An-Nisa' : 170 )
            Dalam hal ini, apa yang sudah disepakati oleh Salaf al-Ummah dan
            imam-imam Ahlussunnah yang menerima nash-nash yang berhubungan
            dengan asma' dan sifat, seperti bersemayam (istiwa'), tangan
            (al-yad) dengan tanpa tahrif, ta'thil, takyif, tasybih atau 
tamsil.
            Mentauhidkan Allah dalam asma dan sifat-sifat-Nya termasuk 
perkara
            yang amat besar dalam pembahasan ilmu ushuluddin. 
Pendapat-pendapat
            para ahli filsafat dan ahli Ilmu Kalam telah rancu dan simpang 
siur
            dalam masalah ini. Ada yang menafikan sama sekali, ada yang 
mengakui
            asma Allah secara mujmal tapi menafikan sifat-sifat-Nya dan ada 
pula
            yang mengakui kedua-duanya (asma dan sifat) tetapi menolak
            sebagiannya dan mentakwilnya dengan mengubah makna dan 
lafazhnya.
            Dalam masalah ini, Salafush Shalihin mengimani seluruh apa yang 
ada
            pada Kitabullah dan yang disebutkan dengan Sunnah yang shahih 
tanpa
            tahrif (menyimpangkan lafazh kepada lafazh yang lain), ta'thil
            (mengurangi/menolak), takyif (menanyakan bagaimana hakikatnya),
            tasybih (penyerupaan dengan makhluk) atau tamsil. Mereka 
meyakini
            bahwa asma Allah Ta'ala dan sifat-sifat-Nya bersifat tauqifiyah 
(apa
            adanya dari Allah dan Rasul-Nya) tak boleh ditetapkan (itsbat) 
atau
            ditolak (dinafikan) kecuali dengan izin syara'. Yakni mereka 
tidak
            mengitsbat asma dan sifat untuk Allah kecuali asma dan sifat 
yang
            Allah itsbatkan sendiri dan yang diitsbatkan Rasul untuk 
diri-Nya
            dengan izin Allah. Dan bahwa asma dan sifat yang telah tetap 
bagi
            Allah ialah bahwa Dia tidak menyerupai sesuatupun dari 
makhluk-Nya,
            bahkan seluruh sifat-sifat kesempurnaan yang tetap bagi Allah 
yang
            disebutkan oleh nash-nash yang jelas adalah khusus buat-Nya 
saja.
            Jika ada asma yang ditetapkan bagi Allah tetapi juga dimiliki
            makhluk-Nya, maka persamaan tersebut hanya dalam lafazh, tidak 
dalam
            hakikat. Karena dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak sama dengan 
dzat-dzat selain Allah, maka sifatnya pun demikian, karena Allah itu tidak 
dapat disamakan dengan makhluk-Nya baik pada dzat maupun sifat-Nya. Seperti 
contoh di dalam firman-Nya bahwa Allah mempunyai tangan (yaddullah), ini 
berarti bahwa tangan Allah berbeda dengan tangan makhluk-Nya. Hanya sama 
dalam lafazh tetapi berbeda dalam  hakikat. Sebagaimana kata Ibnu Abbas yang 
artinya :
            "Tidaklah sama apa-apa yang di surga dengan apa yang ada di 
dunia kecuali hanya sama dalam masalah nama." (Sanadnya shahih. Lihat  dalam 
Taqrib at_tadmuriyah, hal. 42)

            Dan dalam hadits Qudsi dengan sanad yang shahih yang artinya : 
"Telah Kami siapkan untuk hamba-Ku yang shalih apa-apa (nikmat surga) yang 
tidak pernah dilihat oleh mata dan tidak juga didengar oleh telinga dan 
tidak pernah terdetak di hati manusia." Padahal  Allah telah mengkhabarkan 
di dalam Al-Qur'an tentang kenikmatan di   surga, seperti Allah 
memberitakan, dalam surga itu ada makanan,   minuman, pakaian, istri-istri, 
rumah, kurma, anggur, buah-buahan, daging, arak, susu, madu, air, emas, 
perka, dan lain-lain.
            Berita-berita tersebut benar dan benar-benar ada. Walau 
nama-nama tersebut sama dengan apa yang ada di dunia tetapi hakikatnya 
berbeda, kita tidak mengetahuinya. Apalagi tentang nama-nama dan  
sifat-sifat Allah Yang Maha Suci, tentu Allah Yang Maha Tahu tentang   
hakikat diri-Nya.
            Mengenai pembatasan sifat-sifat Allah menjadi beberapa bahagian, 
misal sifat wajib dan mustahil bagi Allah atau sifat wajib bagi Allah ada 13 
atau 20, hal ini sangat bertentangan dengan hukum    syara' dan kaidah 
salafush-shalih. Karena Allah lah yang mengetahui tentang diri-Nya sendiri 
bukan makhluk-Nya. Karena jika sifat Allah  dibatasi berarti hilang lah 
kesempurnaan bagi Allah, karena dengan   pembatasan tersebut berarti 
mengurangi kesempurnaan bagi Allah Yang  Maha Sempurna. Sekiranya Allah 
menyebutkan tentang diri-Nya dalam Asma-ul Husna, maka kita wajib mengimani 
apa adanya dengan tanpa pembatasan, mengurangi atau menambah, takwil, 
penyimpangan makna  dll. Maka kita wajib mengimani apa-apa yang diterangkan 
Allah di dalam kitab-Nya yang mulia (Al-Qur'an) dan petunjuk Rasul-Nya.  
Sedangkan makhluk-Nya mengetahui asma dan sifat Allah hanya sebatas  
asma-asma dan sifat-sifat Allah yang Allah terangkan di dalam Kitabullah dan 
Sunnah Nabi-Nya. Selain itu Allah lah Yang Maha Tahu.

            Dalam menyikapi akal sebagai karunia yang diberikan oleh Allah  
kepada manusia, maka manhaj Ahlussunnah memberikan penjelasan yang  gamblang 
dan terang. Kita mengetahui bahwa akal adalah media pengetahuan yang 
terbatas yang tak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib kecuali dengan 
gambaran semata, tidak sampai yakin. Para  salafush shalihin mengimani apa 
yang diberitakan oleh nash Al-Qur'an dan sunnah Nabi-Nya yang mulia dalam 
perkara-perkara ghaib dengan tidak mencoba-coba memikirkan hakikat 
sebenarnya, karena hal itu di luar jangkauan akal. Membatasi akal dari 
memikirkan perkara-perkara seperti itu bukan berarti membelenggunya secara 
keseluruhan, karena kaum muslimin telah sepakat bahwa seorang anak kecil dan 
orang gila tidak terkena taklif (beban syari'at) lantaran akalnya kurang. 
Allah juga menyuruh kita untuk mentadaburi kitab-Nya, dan tadabur ini  tidak 
mungkin kecuali dengan akal. Akal hanya dilarang digunakan untuk masalah 
yang bukan bidangnya atau digunakan untuk menarik kesimpulan bagi manhaj 
(metodologi) yang bertentangan dengan manhaj  Al-Qur'an dan Sunnah. Sikap 
salafush-shalihin dalam mensyukuri  nikmat akal sebagai karunia dari Allah 
adalah bahwa mereka tidak  mengunggulkan akal, tidak menuhankannya dan tidak 
menganggapnya  cukup dan berdiri sendiri, tetapi mereka menempatkan fungsi 
akal    sesuai dengan kedudukannya. Mereka menggunakan akal dalam
batas-batas wilayahnya, seperti dalam mentafakuri alam, dalam 
masalah-masalah fikih (amaliah) dan dalam menemukan ilmu-ilmu yang bersifat 
kebendaan yang bertujuan meningkatkan dan mengembangkan  masyarakat. Inilah 
kesempurnaan ilmu dan jangkauan pandangan serta     selamatnya pemikiran 
mereka. Seandainya akal dijadikan penafsir seluruh masalah, maka tak perlu 
Rasul-Rasul diutus dan tak perlu kitab-kitab suci (kitab-kitab samawi) 
diturunkan. Wallahu a'lam
            Sumber : Majalah Assunah edisi 19/II/1417-1996
            Penerbit : Lajnah Istiqamah - Surakarta


Copyright © Al-Islam 1998
Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
Telpon: 62-21-86600703, 86600704, Fax: 62-21-86600712
E-Mail: [EMAIL PROTECTED]

_________________________________________________________________________
Get Your Private, Free E-mail from MSN Hotmail at http://www.hotmail.com.


 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
 ( Melanggan ? To : [EMAIL PROTECTED]   pada body : SUBSCRIBE HIZB)
 ( Berhenti ? To : [EMAIL PROTECTED]  pada body:  UNSUBSCRIBE HIZB)
 ( Segala pendapat yang dikemukakan tidak menggambarkan             )
 ( pandangan rasmi & bukan tanggungjawab HIZBI-Net                  )
 ( Bermasalah? Sila hubungi [EMAIL PROTECTED]                    )
 ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Pengirim: "k b" <[EMAIL PROTECTED]>

Kirim email ke