Anda terdaftar dengan alamat: arch...@mail-archive.com

e-JEMMi -- Misi dan Antropologi 2
No.02, Vol.16, Januari 2013

Shalom,

Mengintegrasikan sudut pandang teologis dan antropologis tentang manusia 
merupakan hal yang sangat penting karena jika kita hanya menitikberatkan pada 
satu sisi saja, maka dapat menimbulkan suatu konflik. Bagaimana agar keduanya 
bisa berjalan sinergis? Silakan menyimak artikel di bawah ini, yang juga 
merupakan lanjutan artikel dari edisi sebelumnya. Tuhan Yesus memberkati.

Redaksi Tamu e-JEMMi,
Novita Yuniarti
< http://misi.sabda.org/ >


ARTIKEL MISI: MISI DAN ANTROPOLOGI 2

Asumsi-Asumsi Antropologis

Teori evolusi budaya mendominasi antropologi sampai seperempat awal abad 20. 
Pada masa itu, seperti dalam teologia Kristen abad pertengahan, sejarah menjadi 
acuan catatan pengalaman manusia. Tetapi di dalam teori-teori ini, sejarah 
murni dijelaskan secara naturalisme, bukan secara teisme. Kala itu, "budaya" 
dipandang sebagai ciptaan manusia dalam tahap perkembangan yang bervariasi di 
berbagai belahan dunia.

Teori evolusi budaya mulai dipertanyakan setelah PD I. Menolak gagasannya bukan 
berarti bahwa kita harus mengabaikan paradigma penjelasan berdasarkan sejarah. 
Alkitab sendiri menjelaskan kehidupan manusia dalam lingkup sejarah kosmik, 
bagai sebuah drama yang memiliki plot; terdiri dari awal, perkembangan, dan 
akhir. Namun, Alkitab menolak gagasan bahwa pengalaman manusia adalah rangkaian 
peristiwa yang acak, tak terarah, dan tak bertujuan, sehingga tidak bermakna. 
Lebih lagi, Alkitab menyatakan bahwa yang menggerakkan sejarah bukanlah 
kebetulan yang buta, tetapi tujuan Allah dan tanggapan manusia. Kita perlu 
memahami perjalanan manusia dan penyingkapan Ilahi dalam konteks sejarah.

Pada tahun 1930-an, teori evolusi budaya telah tergeser sepenuhnya, sebagian 
oleh teori-teori fungsional struktural yang berpusat pada keberagaman 
masyarakat manusia dan melihatnya sebagai sistem masyarakat yang utuh. Seperti 
organisme yang hidup, masyarakat dianggap memunyai banyak karakter budaya yang 
semuanya berkontribusi pada keberlangsungan hidupnya secara keseluruhan.

Teori-teori tersebut memberi sumbangan besar kepada pemahaman kita akan 
struktur sosial dan dinamika perubahan sosial. Tetapi secara ekstrem, 
teori-teori ini menjadi determinisme dan mengabaikan peran manusia sebagai 
makhluk yang berpikir dan bertindak. Teori-teori ini kemudian menjelaskan 
pemikiran manusia dalam pengertian organisasi sosial dan dengan demikian 
merelatifkan semua sistem keyakinan, termasuk semua agama dan ilmu pengetahuan. 
Akhirnya, relativisme ini meruntuhkan pernyataan para determinis sosial itu 
sendiri. Seperti yang dikatakan Peter Berger, "Jika sebuah analisis 
direlatifkan sampai pada titik tertentu, pada akhirnya analisis itu akan 
membengkokkan punggungnya sendiri." Menjauh dari determinisme sosial tidaklah 
seperti yang ditakutkan oleh para antropolog, yaitu kelumpuhan total pemikiran, 
sebaliknya justru membuat kelenturan dan kebebasan yang baru dalam 
mempertanyakan kebenaran dan makna.

Aliran pemikiran lain yang muncul setelah penolakan terhadap teori evolusi 
budaya adalah antropologi budaya. Teori ini memusatkan perhatian pada 
sistem-sistem ide dan simbol. "Budaya" tidak hanya dipandang sebagai kumpulan 
pemikiran dan perilaku manusia, tetapi juga dipandang sebagai sistem keyakinan 
di balik pemikiran dan tindakan yang spesifik tersebut, serta sebagai simbol 
untuk mengungkapkan gagasan dan tindakan itu. Selain itu, budaya juga dipandang 
sebagai suatu kesatuan yang saling berintegrasi, yang setiap bagiannya bekerja 
sama demi memenuhi kebutuhan dasar anggota-anggotanya.

Alih-alih mereduksi keyakinan dan tingkah laku manusia menjadi 
tanggapan-tanggapan yang "siap pakai", konsep budaya ini membuat pemikiran 
rasional dan pilihan-pilihan manusia menjadi mungkin dan penuh arti. Konsep ini 
membantu kita memahami bagaimana manusia berkomunikasi dan membangun masyarakat 
yang lebih luas. Ini juga membantu kita memahami perbedaan budaya, natur 
komunikasi lintas budaya, dan bagaimana masyarakat berubah. Pemahaman-pemahaman 
ini tidak terhingga nilainya dalam tugas misi.

Akhir-akhir ini, para ahli antropologi memusatkan perhatian mereka pada 
asumsi-asumsi fundamental yang mendasari keyakinan budaya secara eksplisit. 
Tampaknya, setiap budaya memunyai cara pandang atau cara fundamentalnya sendiri 
untuk menilai berbagai macam hal. Jika demikian, komunikasi lintas budaya di 
tingkat yang terdalam hanya dimungkinkan jika kita memahami cara pandang 
orang-orang yang kita layani. Ini juga berarti bahwa orang-orang akan memahami 
Injil dari perspektif mereka sendiri. Oleh karena itu, para utusan Injil tidak 
hanya harus memahami simbol-simbol eksplisit, tetapi juga keyakinan-keyakinan 
implisit dalam sebuah budaya jika ingin menyampaikan Injil kepada pemilik 
budaya tersebut.

Para antropolog telah mengembangkan teori-teori khusus yang berhubungan dengan 
aspek-aspek hidup manusia yang khusus dan berguna untuk misi. Salah satunya 
adalah linguistik, ilmu yang mempelajari struktur bahasa manusia dan memberi 
kita pemahaman penting dalam pembelajaran bahasa, serta penerjemahan Alkitab. 
Yang lain adalah antropologi psikologis, yaitu ilmu tentang kepribadian manusia 
dan hubungan mereka dengan budaya serta perubahan.

Menuju Integrasi

Bagaimana kita mengintegrasikan sudut pandang teologis dan antropologis tentang 
manusia? Kita harus mengintegrasikan kedua hal itu dengan kesadaran. Selama 
kita memakai hasil ilmu pengetahuan dalam kehidupan kita sehari-hari -- 
listrik, mobil, komputer, obat-obatan modern, dan ribuan penemuan lainnya -- 
asumsi-asumsi tertentu akan memengaruhi teologia kita. Hal ini juga berlaku 
ketika kita menggunakan hasil dari pengetahuan sosial, sehingga jika kita tidak 
mewaspadai pengaruh-pengaruh ini, maka pemahaman kita tentang Injil bisa 
menyimpang.

Segala usaha kita untuk mengintegrasikan kedua sudut pandang itu harus bersifat 
menyeluruh. Kita tidak bisa hanya mengambil beberapa bagian teori ilmiah, lalu 
menggabungkannya ke dalam pemikiran Kristen kita. Jika kita ingin menggunakan 
pemahaman ilmiah, kita harus berhadapan dengan pertanyaan bagaimana pengetahuan 
itu sendiri berkaitan dengan kebenaran Alkitab.

Untuk itu, kita harus melihat teori-teori ilmiah tentang keberadaan manusia dan 
membandingkannya dengan ajaran-ajaran Alkitab tentang natur laki-laki dan 
perempuan. Walaupun kita harus memakai pemahaman pengetahuan -- karena ini 
sesuai dengan pemahaman kita akan Alkitab -- kita tetap harus mencari integrasi 
antara apa yang telah Allah nyatakan kepada kita melalui Alkitab, dan apa yang 
telah Dia tunjukkan kepada kita melalui ciptaan-Nya.

Perbedaan dan Kesatuan Umat Manusia

Kebanyakan orang tidak tertarik pada keberadaan umat manusia secara global, 
mereka hanya tertarik pada kelompok mereka, masyarakat mereka, atau bagian 
mereka sendiri di dunia. Mereka tidak peduli terhadap orang lain di dunia, 
kecuali jika ada pengaruhnya bagi mereka.

"Umat manusia" di sini memunyai beberapa dimensi. Istilah itu berarti semua 
orang di seluruh belahan dunia; semua orang di setiap tingkatan masyarakat -– 
miskin dan lemah, kaya dan berkuasa. Lebih jauh lagi, termasuk semua orang di 
sepanjang sejarah -- yang hidup di masa lalu, yang akan hidup di masa depan, 
dan yang hidup saat ini. Hanya di dalam gambaran yang luas inilah, kita mulai 
bisa memahami makna menjadi "manusia".

Studi terhadap manusia dengan semua latarnya telah membuat para utusan Injil 
dan para antropolog menyadari banyaknya perbedaan di antara manusia. Setiap 
orang berbeda dalam rupa fisik dan psikologis, mereka berbeda dalam masyarakat 
yang mereka kelola dan budaya yang mereka ciptakan. Perbedaan-perbedaan ini 
memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan teologis yang tinggi.

Para utusan Injil dan para antropolog juga memerhatikan unsur universal manusia 
-- apa kesamaan antara manusia-manusia yang berbeda ini? Manusia berbagi 
fungsi-fungsi psikologis. Mereka melahirkan keturunan, mengunyah makanan, 
menderita penyakit, dan merespons rangsangan dengan proses biologis yang sama. 
Mereka mengalami sukacita dan kesedihan, dan berbagi bermacam-macam pendorong 
psikologis. Mereka mengelola masyarakat dan menciptakan kebudayaan. Tanpa unsur 
universal manusia, tidaklah mungkin orang-orang di dalam satu kebudayaan 
memahami dan berkomunikasi satu sama lain. Nyatanya, mengenali kesamaan kita 
dengan orang lain merupakan langkah awal dalam membangun hubungan kasih, untuk 
menjembatani perbedaan besar yang memisahkan "kami" dan "mereka".

Dalam hal ini, kekristenan menambahkan unsur universal manusia yang lain; semua 
manusia telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah, dan keselamatan terbuka 
bagi semua melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Karena itu, kita 
ingin semua orang mendengar dan memiliki kesempatan untuk memberi respons 
kepada Injil.

Gereja dipanggil untuk menjadi satu tubuh orang-orang percaya yang melampaui 
perbedaan ras dan budaya, melalui penciptaan manusia baru. Mungkin ada bahasa 
yang berbeda tetapi hanya ada satu Injil, ada bentuk-bentuk penyembahan yang 
berbeda tetapi hanya ada satu Allah, dan ada latar budaya yang berbeda tetapi 
hanya ada satu gereja.

Model Kemanusiaan yang Holistik

Sering kali, kita memakai pendekatan yang tidak utuh terhadap manusia. Ketika 
kita memandang mereka sebagai makhluk fisik, subjek pada hukum gerak, kita 
dapat menganalisis apa yang terjadi pada tubuh mereka saat mereka mengalami 
kecelakaan mobil; sebagai makhluk biologis, saat kita meneliti bagaimana tubuh 
mereka mengasimilasi makanan, mengeluarkan kotoran, menghasilkan keturunan, dan 
memberi tanggapan terhadap tekanan; sebagai makhluk psikologis, hasil dorongan 
alam sadar maupun alam bawah sadar, perasaan, dan gagasan; sebagai makhluk 
sosiokultural yang menciptakan masyarakat dan sistem keyakinan; atau sebagai 
orang-orang berdosa yang membutuhkan keselamatan.

Masing-masing model membantu kita memahami sesuatu tentang apa arti menjadi 
manusia. Tetapi, bagaimana kita menyatukan semua itu? Bagaimana kita 
menghindari pandangan yang tidak utuh, yang memecah mereka menjadi 
bagian-bagian dan kehilangan pandangan akan kenyataan bahwa mereka adalah 
manusia yang utuh -- bukan hanya lengan dan kaki, atau tubuh, atau dorongan, 
atau roh?

Jawaban termudah dan yang paling sederhana adalah reduksionisme 
(menyederhanakan suatu gejala). Meskipun kita mungkin mengenali banyak dimensi 
dalam kehidupan manusia, kita mereduksi itu semua menjadi satu macam 
penjelasan. Bahaya reduksionisme dalam misi adalah pendekatan yang terlalu 
sederhana pada kebutuhan manusia. Kita cenderung melihat orang lain hanya dalam 
kebutuhan fisik atau spiritual saja. Kristus melayani orang-orang dalam semua 
kebutuhan mereka. Keselamatan kekal jelas menjadi prioritas utama, tetapi kita 
juga harus menyampaikan Injil yang utuh. Keselamatan, dalam pengertian Alkitab, 
terkait dengan semua dimensi kehidupan kita.

Kita cenderung berpikir dalam lingkup sebab-akibat dan percaya bahwa kita mampu 
memecahkan masalah, serta mencapai tujuan kita jika kita memunyai metode atau 
jawaban yang benar. Pendekatan ini memang membuat kita menguasai alam, tetapi 
juga membuat kita melihat orang lain hanya sebagai objek yang bisa kita 
manipulasi jika kita menggunakan formula yang tepat. Injil memanggil kita untuk 
memandang manusia sebagai manusia yang utuh. Karena itu, tindakan misi yang 
efektif dimulai dengan membangun hubungan, bukan program.

Pendekatan mekanisme juga menggoda kita untuk mengendalikan Allah demi tujuan 
kita sendiri. Kita menentukan agenda dan berusaha membuat Allah melakukan 
perintah kita. Alkitab memanggil kita untuk menjauh dari godaan ini dan tetap 
terarah pada penyembahan dan ketaatan. Tugas misi adalah karya Allah dan kita 
harus mengikuti pimpinan-Nya. Ini tidak menghilangkan pentingnya perencanaan 
dan strategi, tetapi berarti bahwa kita harus melakukan semua itu dalam 
kepatuhan kepada Allah dan mengakui bahwa Ia bertindak sesuai dengan cara-Nya, 
yang sering kali tidak kita mengerti.

Jawaban selanjutnya adalah apa yang Clifford Geertz sebut "pendekatan 
bertingkat". Pendekatan ini hanya menumpuk teori-teori yang berbeda tentang 
manusia, tanpa usaha yang serius untuk mengintegrasikannya. Setiap model 
manusia dalam teori-teori itu, baik teologis maupun ilmiah, tetap berdiri 
sendiri-sendiri. Hasilnya adalah sekumpulan pemahaman yang terpisah-pisah, yang 
dibangun menggunakan metode analisis yang berbeda-beda, namun tetap tidak dapat 
menolong kita melihat manusia secara utuh.

Kita mungkin memperkenalkan pertanian modern, membawa orang yang sakit ke rumah 
sakit, atau mendirikan sekolah bagi yang tidak berpendidikan. Tetapi, kita 
sering lupa bahwa semua faktor ini saling berkaitan -- pengetahuan dapat 
mencegah penyakit dan membantu orang-orang untuk menyediakan makanan, 
sebaliknya makanan dan kesehatan harus cukup agar mereka bisa belajar. Kita 
gagal menghubungkan antara kelaparan, penyakit, dan kebodohan dengan penyebab 
yang ada dalam dosa manusia. Kita juga gagal melihat bagaimana hal-hal tersebut 
bisa menimbulkan dosa-dosa yang lain.

Di sini, para utusan Injil harus waspada. Kita tumbuh dalam masyarakat yang 
menarik garis tegas antara agama dan pengetahuan, antara yang supernatural 
dengan yang natural. Pembedaan ini berasal dari pendidikan Yunani, tidak 
alkitabiah. Pembedaan ini juga membawa kita kepada pendekatan bertingkat, yang 
mengategorikan hal-hal materi ke dalam hukum alam yang berdiri sendiri, 
sementara menempatkan karya Allah ke dalam kategori mukjizat. Pembedaan ini 
memisahkan roh manusia dari tubuh mereka dan membuat perbedaan yang tajam 
antara penginjilan dan kepedulian sosial. Para dokter, guru, dan pekerja 
pertanian sering memandang diri mereka berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan 
fisik, dan para pengkhotbah sering membatasi perhatian mereka pada keselamatan 
yang kekal.

Orang-orang yang patah hati, menderita, dan terhilang mendengarkan para dokter, 
guru, dan pekerja pertanian karena mendapat pemenuhan atas kebutuhan mereka. 
Berita para pengkhotbah sering tidak relevan bagi mereka saat itu. Sebagai 
akibatnya, mereka menerima pengetahuan sekuler yang terpisah dari teologia dan 
menolak kekristenan. Seperti yang dinyatakan oleh John Stott, kita seharusnya 
melihat manusia sebagai tubuh-roh. Kita bukanlah salah satu dari kedua hal itu 
(tubuh atau roh), tetapi gabungan dari kedua hal yang saling terhubung itu. 
(t/Jing-Jing)

Diterjemakan dan diringkas dari:
Judul buku: Anthropological Insights for Missionaries
Judul asli artikel: Missions and Anthropology
Penulis: Paul G. Hiebert
Penerbit: Baker Book House, Grand Rapids, Michigan 1985
Halaman: 19 -- 25


Kontak: jemmi(at)sabda.org
Redaksi: Yudo, Amy G., dan Yulia
Berlangganan: subscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Berhenti: unsubscribe-i-kan-misi(at)hub.xc.org
Arsip: http://sabda.org/publikasi/misi/arsip
BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati
(c) 2013 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org >

Kirim email ke