Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org 
           
                  SADAR 

                  Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
                  Edisi: 41 Tahun III - 2007
                  Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
                 

--------------------------------------------------------------
                 


                  RATIFIKASI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL (ICC) DAN PENEGAKAN 
KEADILAN DI INDONESIA[1]
                   


                  Oleh: Mugiyanto[2]  



                  ICC merupakan pengadilan permanen dan independen inter 
nasional yang dibentuk oleh masyarakat negara-negara di dunia untuk menjatuhkan 
hukuman kepada pelaku kejahatan menurut hukum internasional yang meliputi 
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. 
                    

                  Sekilas tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC

                  Pada bulan Juli 1998 sebuah Konferensi Diplomatik di Roma 
Italia mengesahkan sebuah Statuta tentang ICC (Statuta Roma) dengan suara 
sebanyak 120 setuju dan hanya 7 yang tidak setuju (21 abstein). Statuta yang 
kemudian dikenal dengan Statuta Roma ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan 
kejahatan, cara kerja pengadilan dan negara-negara mana saja yang dapat bekerja 
sama dengan ICC. Statuta Roma tentang ICC ini telah berlaku aktif sejak  1 Juli 
2002 setelah memenuhi syarat ratifikasi oleh 60 negara. 

                  Berdasaarkan prinsip saling melengkapi, ICC hanya akan 
bertindak ketika pengadilan nasional tidak mampu (unable) atau tidak mau 
(unwilling) mengambil tindakan. Contohnya adalah ketika pemerintah tidak mau 
menghukum warga negaranya terlebih ketika orang tersebut adalah orang yang 
berpengaruh (unwilling) atau ketika sistem pengadilan pidana telah runtuh 
sebagai akibat dari konflik internal sehingga tidak ada pengadilan yang mampu 
mengatasi kasus-kasus tipe kejahatan tersebut (unable).

                  Sebuah kasus bisa ditangani oleh ICC dengan cara 3 cara. 
Pertama, Jaksa Penuntut dengan inisiatifnya sendiri melakukan investigasi 
ketika satu atau lebih kejahatan telah terjadi  berdasarkan informasi dari 
berbagai sumber, termasuk para korban dan keluarga. Kedua, Negara yang telah 
meratifikasi Statuta Roma dapat meminta Jaksa Penuntut untuk menginvestigasi 
sebuah situasi dimana satu atau lebih kejahatan telah terjadi. Ketiga, Dewan 
Keamanan PBB dapat meminta Pengadilan untuk menginvestigasi situasi dimana satu 
atau lebih kejahatan telah dilakukan. 
                   

                  Pentingnya Ratifikasi bagi Indonesia

                  Indonesia adalah salah satu peserta aktif dalam K onferensi 
Diplomatik di Roma 1998 yang melahirkan ICC. Sejak saat itu Indonesia sudah 
menampakkan diri untuk menjadikan dirinya sebagai negara pihak (state party) 
dari ICC. Niat ini juga ditunjukkan dengan diundangkannya UU No 26 tahun 2000 
tentang Pengadilan HAM yang dalam beberapa hal berusaha mengadopsi Statuta Roma 
tentang ICC. Namun sayangnya, adopsi setengah-setengah atas prinsip-prinsip 
Statuta Roma ini menjadikan UU No 26 tahun 2000 menjadi tumpul dan tidak bisa 
memberikan penghukuman bagi pelaku. Lebih dari itu, Undang Undang tentang 
Pangadilan HAM tersebut justru dijadikan tameng impunitas sebagaimana nampak 
pada pengadilan ad hoc kasus Timor Timur dan Tanjung Priok, serta pengadilan 
HAM kasus Abepura. 

                  Selama ini, komitmen Indonesia untuk bersama-sama masyarakat 
internasional melawan impunitas dan mewujudkan ratifikasi universal atas ICC 
nampaknya hanya jargon-jargon semata,  karena pada kenyataannya Indonesia baru 
merencanakan melakukan ratifikasi atas Statuta Roma tentang ICC pada tahun 
2008, sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional tentang Hak Asasi 
Manusia (RANHAM 2003-2008), Padahal, kalau serius sejak awal, ratifikasi bisa 
dilakukan jauh lebih cepat, paling tidak pada tahun 2007 ini.
                  Pentingnya percepatan ratifikasi ini memiliki beberapa alasan 
mendasar. Pertama, ratifikasi akan menjadi acuan masyarakat dalam mengukur 
konsistensi pemerintah SBY atas ucapan dan tindakan dalam penegakan HAM dan 
keadilan. Kita semua tahu, konsistensi antara ucapan dan tindakan adalah salah 
satu kelemahan mendasar pemerintahan SBY selama ini. 

                  Kedua, ratifikasi atas ICC akan berdampak pada penguatan dan 
perbaikan mekanisme pengadilan hak asasi manusia yang saat ini ditengarai 
sedang kolaps. Ratifikasi ICC akan menjadikan dasar yang kuat bagi perlunya 
melakukan amandemen mendasar atas peraturan perundangan tentang hak asasi 
manusia, terutama UU No 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM yang selama ini 
tidak efektif dan tidak memenuhi standar fair trial internasional. Ratifikasi 
atas Statuta Roma yang dibarengi dengan perbaikan atas perundangan mengenai HAM 
dan Pengadilan HAM akan bisa memberi salah satu terobosan atas kebuntuan 
penanganan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. 

                  Sebagaimana terlihat dalam implementasi UU No 26 tahun 2000 
melalui proses Pengadilan HAM Tanjung Priok, Timor Timur dan Abepura serta 
proses penyelidikan dan penyidikan dugaan pelanggaran berat HAM lainnya (kasus 
Mei 98, Trisakti - Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa dll), UU No 26 tahun 
2000 terlihat mandul dan kelemahannya sering dimanfaatkan oleh para pelaku 
pelanggaran HAM. Hal ini terjadi terutama karena UU No 26 tahun 2000 tidak 
mengadopsi KUHP (rules of procedures) dan unsur-unsur pidana (elemets of 
crimes) ICC yang ada pada Statuta Roma.

                  Ketiga, ratifikasi ICC oleh Indonesia pada saat ini akan 
menjadikan Indonesia memiliki akses untuk berpartisipasi dalam berbagai proses 
dan operasional ICC yang berkedudukan di Den Hague  ini semisal dalam 
pencalonan hakim, penuntut, Victim Trust Fund, dan badan-badan ICC yang lain. 
Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga menjadikan Indonesia sebagai negara pihak 
untuk aktif dalam pertemuan Dewan Negara Pihak (Assembly of States Parties - 
ASP). Sebagai negara pihak, Indonesia juga bisa berperan sangat aktif dalam 
Review Conference yang diadakan pada tahun 2008 atau 2009. Sebagai peserta 
dalam Review Conference, Indonesia bisa memberikan berpartisipasi secara 
maksimal dalam memberikan masukan tentang perubahan-perubahan mendasar yang 
mungkin dilakukan terhadap ICC. 

                  Dari itu semua, percepatan ratifikasi ICC oleh Indonesia akan 
menjadikan Indonesia bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dalam 
komitmen yang sama dalam mewujudkan keadilan global. 


                  Perlunya komitmen nyata

                  Proses ratifikasi ICC yang sudah dicanangkan Indonesia memang 
mengalami kemajuan. Namun ucapan berbusa baik itu oleh pemerintah maupun DPR 
tidak akan memberikan kemajuan berarti, karena yang diperlukan adalah kerj a. 
Dan karena adalah DPR dan pemerintah yang musti merumuskan naskah ratifikasi, 
kerjasama keduanya adalah sesuatu yang mutlak. Komitmen pemerintah dan DPR 
harus segera direalisasikan sebagaimana pesan yang disampaikan Mantan Sekjen 
PBB Kofi Annan, dalam pidato sambutannya di hadapan Parlemen Swedia pada bulan 
Mei 1999 "... Saya mendesak Anda dan anggota parlemen Anda di seluruh dunia 
untuk mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Jangan sampai kita kehilangan 
momentum untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa ini secepat mungkin."

                  Selain itu, ratifikasi juga bukan merupakan akhir dari 
pekerjaan ICC. Untuk memastikan ICC bisa berjalan, peraturan pelaksanaannya 
juga perlu dirumuskan. Belum lagi ketika pemerintah nanti dihadapkan pada 
lobi-lobi Amerika untuk mengecualikan warga negara mereka dalam yurisdiksi ICC 
melalui BIA (Bilateral Immunity Agreement) atau NSA (Non Surrender Agreement) 
untuk Indonesia yang sebetulnya tidak begitu kental lagi dalam konstelasi 
politik Amerika saat ini.


                  Penutup

                  Secara formal, Ratifikasi ICC oleh Indonesia tidak secara 
langsung menjadikan kasus-kasus besar pelanggaran berat HAM seperti kasus 
tragedi 1965, Tanjung Priok 1984, Lampung 1989, Mei 1998, Trisakti-Semanggi I 
dan II, Penghilangan Paksa 1998 dan kasus-kasus 'masa lalu' lainnya bisa dibawa 
ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag. Akan tetapi, ratifikasi ICC akan 
menjadikan dasar yang kuat bagi dilakukannya perubahan (amandemen) fundamental 
bagi perundangan mengenai HAM dan pengadilan HAM, terutama bagi UU No 26 tahun 
2000 tentang Pengadilan HAM. 

                  Ratifikasi ICC oleh Indonesia juga akan menjadi monumen 
peringatan (warning) bagi para  calon dan residivis diktator dan penjahat HAM 
untuk tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan HAM sebagaimana mereka lakukan 
pada masa lalu, kecuali mereka mau meghadapi pengadilan di Den Haag. 

                  Ratifikasi ICC Secepatnya!
                   


                    
--------------------------------------------------------------

                  [1]   Makalah singkat disampaikan dalam Seminar Publik 
tentang Mahkamah Pidana Internasional dalam rangka CICC Asia Strategy Meeting, 
kerjasama CICC, Forum Asia, Elsam dan IKOHI, 9 Mei 2007

                  [2]   Penulis adalah Ketua IKOHI dan AFAD, sekaligus anggota 
Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabdetabek.






                 
                    
           
            [EMAIL PROTECTED]    
     





[Non-text portions of this message have been removed]



Bersatu Rebut Kekuasaan: Hancurkan Kapitalisme, Imperialisme, Neo-Liberalisme, 
Bangun Sosialisme!

Situs Web: http://come.to/indomarxist
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/indo-marxist/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke