|
|
|
Sosok & Tokoh
2004-11-09 18:07:37 WIB Penyair Aceh Zainal Afif
Oleh : A.Kohar Ibrahim
Seorang penyair asal Medan, Chalik Hamid, yang bermukim
di negeri Kincir Angin menyampaikan berita duka kepada saya. Berita
yang cukup mengejutkan sekaligus mengusik kenangan yang selama ini
terpendam. Tentang seorang penyair yang saya kenal sejak lama : Z.
Afif. Penyair Indonesia yang mengidap kecintaan luarbiasa pada
daerah tanah tumpah-darahnya : Aceh. Sedemikian rupa, sehingga untuk
puterinya pun diberi nama yang kental makna kesayangan : Nyala
Baceh. Nyala dari paduan cinta Batak-Aceh.
« Barusan, pagi
subuh jam 03.30 tanggal 28 Oktober 2004 waktu Belanda, » demikian
kata Chalik Hamid mengawali surat elektronikanya, « saya menerima
telepon dari Rondang Erlina Marpaung (isteri Z. Afif) yang bertempat
tinggal di Sweden. Dalam pembicaraan di telepon, Rondang mengatakan
bahwa :
« Pagi subuh jam : 02.30 waktu Sweden, tanggal 28
Oktober 2004, bertempat di salah satu rumah sakit di kota Stockholm,
Z. Afif telah meninggal dunia dengan tenang. Z. Afif menderita sakit
kangker di paru-paru. Di samping seorang isteri, Afif juga
meninggalkan seorang puteri Nyala Baceh…. »
Tanggal 2
November 2004 saya terima pemberitahuan resmi dari isteri dan puteri
almarhum bahwa, Zainal Afif kelahiran Lhok Sukon, Aceh Utara, 25
April 1936 dengan tenang telah mengakhiri perjalanan hidupnya di
rumah sakit Huddinge, Swedia, pada tanggal 28 Oktober 2004.
Pemakaman akan diselenggarakan pada hari Jumat, tanggal 19 November
2004 di S :t Botvids Kyrkogard, Huddinge.
Oktober dan
November sungguh merupakan bulan yang sarat beragam kisah bermakna
lagi bersejarah. Apakah yang menyangkut diri orang perseorangan atau
rakyat dan bangsa Indonesia. Kisah kisah dengan saling kaitannya
satu sama lain. Termasuk kisah kisah sementara orang Indonesia yang
terpaksa menjadi pengelana buana atau menurut istilah Gus Dur
sebagai « orang orang yang kelayaban » di mancanegara.
Kenapa ? Tak lain tak bukan lantaran pada 1 Oktober 1965
telah terjadi perubahan sikon drastis di Indonesia. Yakni terjadinya
kudeta militer yang menumbangkan rezim orla Bung Karno demi tegaknya
rezim orba Suharto. Sejak itu, banyak orang Indonesia yang kebetulan
berada di mancanegara karena satu atau lain macam urusan dalam aneka
ragam bidang kehidupan, terpaksa tidak bisa pulang kembali ke
Indonesia. Dari sekian banyaknya itu adalah kami, delegasi pengarang
indonesia yang diundang oleh Himpunan Pengarang Tiongkok untuk
menghadiri perayaan nasional berdirinya RRT : 1 Oktober 1949-1965.
Rencana kunjungan kebudayaan yang hanya untuk sebulan itu akhirnya
berkepanjangan… !
Delegasi Pengarang Indonesia itu terdiri
dari 5 orang yang terpilih dari beberapa asal daerah yang ketuanya
adalah Aziz Akbar, « orang Padang » ; sekretarisnya Z. Afif, « orang
Aceh ». Sedangkan anggota-anggotanya adalah Kusni Sulang, « orang
Dayak » ; Sukaris, « orang Madura » ; dan saya sendiri, « orang
Betawi ».
Sudah bisa diperkirakan dengan mudah, bahwasanya
bagi sebagian besar generasi muda, kelima pengarang itu tidak
dikenalnya. Meski apapun terjadi, dengan segala suka-duka hidup di
tanah rantau yang berkepanjangan, mereka tetap eksis. Eksis sebagai
insan biasa maupun sebagai seniman. Dan terutama sekali hasil kreasi
mereka takkan bisa dipisah apalagi dihapuskan dari lembaran sejarah
kesusastraan Indonesia. Mereka adalah bagian dari rakyat dan bangsa
Indonesia, yang diperkokoh dengan hasil kreativitas sastra mereka
pula. Hasil sastra pertanda kongkret pengayoman bahasa Indonesia.
Apalagi orang macam Afif yang memang ahli bahasa Indonesia.
Seperti diketahui, Z. Afif selain sebagai penulis yang
menyiarkan tulisannya di beberapa media massa cetak, juga sebagai
penyiar dan tenaga pengajar bahasa Indonesia. Sebagai penyiar, dia
pernah menangani siaran sastra di Radio Republik Indonesia Jakarta.
Di luar negeri, pernah bertugas di pemancar radio Korea Utara dan
Vietnam Utara. Sedangkan sebagai ahli bahasa, dia pernah menjadi
tenaga pengajar bahasa dan sastra Indonesia di Guangzhou Institut of
Foreign Languages di Kanton, China. Dalam kesempatan itu pulalah dia
menerbitkan bukunya berjudul « Sastra Indonesia, Angkatan dan
Periodisasi ». Sebagai salah satu judul dari beberapa buku-bukunya
yang belum kesempatan diterbitkan. Seperti « Sastra Indonesia
Klasik, Apa dan Bagaimana Akronim dan Singkatan Indonesia » ; «
Berkelana di Bumi Zhongguo » dan « Arus dan Darah », sebuah kumpulan
sajak.
Selama tinggal di Eropa, seberkas tulisan Afif kami
siarkan di majalah seni & sastra « Kreasi ». Diantaranya mengisi
buku kumpulan puisi berjudul « Di Negeri Orang » yang diterbitkan
bersama oleh YSBI Amsterdam dan Amanah Lontar Jakarta tahun 2002.
Saya manfaatkan kesempatan ini untuk menurunkan beberapa
sajak-sajaknya sebagai berikut :
Musim Dingin
angin musim dingin
kering dan
beku
sepiala arak maotai
belum apa-apa
mendekat
ke nyala tungku
dalam luar
hangat menjalar
Kuil
merentang dawai-dawai mentari binar
berbinar
juntai willow – lenggok pucuk
cemara
menari-nari di bening telaga
gending bergending
lonceng alit dipetik angin
iringi gaung suara berkisah
zaman
nasib mereka para pereka dan pencipta
Rindu
sibayak sinabung
ale baya kunandung
bila
rindu terkurung
kabar saja tiba ke kampung
(Dipetik
dari kupuisi « Di Negeri Orang », AKI).
Seketika saya
pun merindu. Kita merindu – seperti kerinduan Bang Afif. Seberkas
kenangan membekas yang layak ditimang-timbang sayang. Semasa di
Nusantara. Semasa di Mancanegara. Seperti harimau mati meninggalkan
belang, nama Zainal Afif kan tergores abadi dalam lembaran sejarah
kesusastraan Indonesia. (AKI)
|