Kawan-kawan,

Pada uraian Francisca Fanggidaej 21 Agustus 2005 perlu diadakan koreksi sebagai berikut;

  1. halaman 2: usia Bung Hatta ‘sedikit lebih tua’ mestinya ‘sedikit lebih muda’.
  2. halaman 3: alinea terakhir baris kedua: Kongres PEMUDA RAKYAT ......bulan Mei 1951 seharusnya: bulan November 1950.

Terima kasih atas perhatian.

Salam,

Moenan

 

PENILAIAN TERHADAP MASAKINI ATAS DASAR PENGALAMANKU MASALAMPAU

 

Pendahuluan

 

Apa yang disebut di sini ‘p e n i l a i a n k u’ bukanlah suatu analisa politik seorang politikus atau seorang peninjau politik melainkan  k e n a n g a n  seorang pejuang biasa yang sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai hari ini, berusaha tidak absen dalam usaha meneruskan perjuangan membela dan menyelamatkan kemerdekaan itu. Walaupun pada usia lanjut sekarang hanya dengan memberikan ceramah, interview dan informasi, ataupun penterjemahan saja.

 

Berdasarkan kenang-kenangan tentang 60 tahun menyertai perjuangan itu, baik di tanahair maupun di pembuangan di negara orang, saya akan mencoba menyimpulkan pengalaman-pengalaman itu untuk kawan-kawan, sahabat-sahabat dan para hadirin yang saya hormati.

 

Selama ini hidup saya diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan mendadak, oleh silih-berganti sukses dan kegagalan, oleh kehilangan dan kemenangan, oleh tawa dan airmata. Tidak mudah menceritakannya dalam beberapa kalimat.

 

Saya kira dalam kehidupan setiap orang ada kalanya sang nasib mengubah arahnya dan kita terpaksa menapaki jurusan lain dalam perjalanan kehidupan kita.

Dalam hidup saya hal itu sudah terjadi beberapa kali, antara lain pada 17 Agustus 1945 dan pada 30 September 1965.

 

Masa 1945 – 1965

 

17 AGUSTUS 1945 tidak hanya mengubah arah perjalanan hidup saya, tetapi juga mengubah identitas serta mentalitas pribadiku. Dari seorang gadis yang tadinya belum lama menganggap dirinya seorang Belanda, berbicara dan berfikir dalam bahasa Belanda di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat umumnya, berpendidikan dan berkebudayaan Belanda --, menjadi  seorang pejuang bangsa Indonesia dan tanahair Indonesia yang berapi-api semangat dan antusiasmenya .....

 

Kata-kata bahasa Indonesia pertama yang saya kuasai adalah: INDONESIA, BUNG KARNO – BUNG HATTA, MERDEKA, dan BENDERA MERAH-PUTIH ....... Pada waktu itu tidak saya pikirkan: apa arti itu semua? Mengapa saya bergabung dengan pemuda-pemuda pejuang itu? Apa yang mendorong saya berkelompok dengan para pemuda itu, mencari mereka, dan merasa harus juga berbuat sesuatu bersama dengan mereka? Jauh kemudian hari saya baru tahu, bahwa pertanyaan-pertanyaan itu sesungguhnya sudah mengandung makna politik, walaupun kata politik dalam praktek tidak saya mengerti.

 

Namun, pelajaran politik pertama saya peroleh adalah ketika saya dipilih menjadi salah seorang anggota delegasi PRI (PEMUDA REPUBLIK INDONESIA) Surabaya  ke KONGRES PEMUDA INDONESIA I dalam alam kemerdekaan di Yogyakarta pada tanggal 6 – 10 November 1945. Sesudah Kongres berakhir saya tidak bisa pulang masuk kembali ke kota Surabaya, karena pertempuran-pertempuran antara rakyat dan pemuda Surabaya dengan pasukan Inggris, Jepang dan Belanda sudah meletus pada 10 November di jalan-jalan dan terowongan-terowongan kota Surabaya. Saya memutuskan untuk bergabung dengan delegasi anggota-anggota PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Saya mengikuti mereka keluar-masuk desa-desa dan kota-kota di Jawa Timur; saya mengikuti kampanye penerangan mereka  tentang arti kemerdekaan dan kolonialisme. Mereka, pemuda-pemuda yang sudah makan garam perjuangan anti-fasis/militeris Jepang dan kolonialisme Belanda, baik dalam masa pendudukan kolonialisme Belanda maupun fasisme Jepang. Penggunaan bahasa Jawa dalam kampanye itu tidak menghalangi saya dengan penduduk desa lainnya ikut disemangati dan dihangati badan, jiwa dan fikirannya!

 

Waktu terus bergulir .... Pemimpin-pemimpin Republik yang muda itu membangun atribut-atribut negara, seperti menyusun pemerintah (kabinet), parlemen (KOMITE  NASIONAL INDONESIA  PUSAT – KNIP), badan keamanan dan tentara (Badan Keamanan Rakyat). Usaha itu mungkin lebih banyak diwarnai semangat dan antusiasme orang muda (Bung Karno ketika itu baru berumur 44 tahun, Bung Hatta sedikit lebih muda, Bung Syahrir 30-an tahun, pemimpin- pemimpin pemuda masih di bawah 30 tahun) ketimbang keahlian dan penguasaan masalah. 

Saya tidak banyak ingat mengenai perkembangan pembangunan atribut-atribut negara Republik muda itu. Misalnya sekitar hiruk-pikuk politik pembentukan berbagai macam kabinet dengan komposisi berbagai macam partai politik.  (Pada bulan November Bung Hatta mengeluarkan  Maklumat mengenai pembentukan partai-partai politik sesuai dengan tatanan demokrasi, yang kemudiannya menghasilkan berdirinya 50-an partai politik.)

Yang terpaku dalam ingatan saya sampai dengan hari tua sekarang, adalah bagaimana semangat, militansi dan kemahiran pemuda di kota dan desa menguasai suasana politik dan mewarnai pemandangan masyarakat di kota dan desa. BKPRI (Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, yaitu federasi organisasi-organiasi pemuda yang dibentuk dalam Kongres Pemuda di Yogyakarta) yang dalam tahun-tahun 1945-1948 bermarkas di Madiun, menjadi tempat bertanya bagi masyarakat dan pemerintahan lokal.

Salah satu kegiatan BKPRI lainnya yang penting adalah siaran Radio ‘GELORA PEMUDA’ di Madiun dalam bahasa Belanda dan Inggris yang ditujukan kepada pasukan-pasukan musuh Belanda dan Inggris dan antara lain berisi opini, pendapat dan komentar orang Indonesia tentang kemerdekaan dan kolonialisme.

 

Pada tanggal 21 Juli 1947,  tepat pada hari di mana Belanda melancarkan Perang Agresi I di Indonesia, saya berangkat ke India untuk meneruskan perjalanan ke Festival Pemuda Sedunia Pertama di Praha. Bersama dengan saya sebagai anggota Delegasi Pemuda Indonesia adalah Soeripno, Ketua Delegasi, wakil mahasiswa Indonesia di IUS (International Union of Students) yang ketika itu sedang berkunjung di Indonesia, dan Sugiono, mewakili organisasi Sarekat Mahasiswa Indonesia.

Di Praha, Indonesia menjadi pusat perhatian wakil-wakil generasi muda pasca Perang Dunia  II yang datang dari segala jurusan di dunia. Semboyan ‘STOP THE WAR IN INDONESIA’ dalam lima bahasa: bahasa Inggris, Prancis, Rusia, Tionghua dan Arab berkumandang di jalan-jalan dan lapangan-lapangan Praha.

Dari Praha saya ke London  dan menerima kawat dari BKPRI agar selesai Festival menuju ke Calcutta untuk mewakili BKPRI di dalam Panitia Persiapan South East Asian Youth & Students Conference yang akan diselenggarakan 21 Februari – 26 Februari 1948 di Calcutta.

Angkatan muda dari India, Pakistan, Indonesia, Vietnam, Tiongkok, Malaysia (ketika itu masih disebut Malaya), Birma, Muangthai, Philippina, Korea datang berkumpul. Delegasi Indonesia diketuai oleh almarhum kawan Soepeno dengan anggota-anggota delegasi Otto Rondonuwu dan Amin dari angkatan muda Andalas (Sumatera) dan saya sendiri.

Di Calcutta saya berjumpa pemuda-pemuda Vietnam. Salah seorang yang ketika itu baru berumur  18 tahun adalah direktur sebuah pabrik senjata di bawah tanah...... Sudah barang tentu informasi itu tidak dia gembar-gemborkan di dalam diskusi umum. Tahun itu adalah tahun 1948 dan Vietnam memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 2 September 1945. Segera, pada tahun 1946, rakyat Vietnam menghadapi perang kemerdekaan melawan Jepang dan KMT, dan Prancis.

Saya juga berjumpa dengan delegasi-delegasi pemuda dan mahasiswa Tiongkok yang datang dari daerah-daerah bebas, yang rakyatnya sedang berada di ambang pintu pembebasan negerinya pada 1 Oktober 1949.

 

Festival Pemuda tahun 1947 dan Festival-Festival berikutnya memperlihatkan betapa bahagia dunia tanpa perang, tanpa lapar dan tanpa rasa takut.

Konferensi Calcutta memperlihatkan bahwa hanya dengan perjuangan dan persatuan rakyat yang tertindas – dan yang lebih penting lagi, terutama dengan ketetapan hati dan semangat pantang menyerah dan jalan terus dari generasi muda – dapat kita ciptakan dunia yang lebih baik dan lebih bahagia. Saya ingat lagi pidato pemuda Vietnam yang sudah saya sebut tadi: “Cinta tanahair saja tidak cukup. Untuk mencapai kemenangan terakhir, bertahan dan bersikeras dalam tuntutan, adalah menentukan.”

 

Kembali di tanahair pada bulan April 1948 saya menghadapi pergolakan politik dalam perjuangan kemerdekaan rakyat Indonesia dengan terjadinya kompromi-kompromi dengan kolonialis Belanda. Kedatangan kembali pak Musso dari Uni Sovyet, pejuang kemerdekaan yang tangguh dari klas buruh Indonesia, berperan untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan konsekuen melawan kolonialisme Belanda.

Namun dengan Peristiwa Madiun bulan September 1948 yang diprovokasi oleh imperialisme AS dan agen-agennya di Indonesia, terjadilah penangkapan dan pembantaian terhadap orang-orang komunis dan hampir semua kader pimpinan partai komunis. .....

 

Berdiri pada suatu hari tahun 1951 di pinggiran kuburan 11 kawan di Ngalihan, Solo, yang masih baru saja digali-buka, melihat ke bawah  di lobang yang menganga di mana saya mengenal kembali beberapa barang-barang kecil: dompet kecil dari kain berbunga  ... sikat gigi .... Saya tidak bisa menangis. Airmata tidak bisa mengimbangi rasa perih, marah dan berontak.  Di depan mata batin saya, saya melihat kawan-kawan itu berdiri tegak di tepi lobang menganga yang mereka gali sendiri: menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan Internasionale, sebelum mereka ditembak mati oleh regu tembak Gubernur Militer Solo, Jendral Gatot Subroto pada malam 19 Desember 1948.  Di antara mereka terdapat Sukarno, Ketua Badan Penerangan DPP PESINDO, berumur 28 tahun, suamiku dan ayah anakku, Nilakandi Sri Luntowati, yang kini sudah almarhumah.

 

Masa muda saya berakhir dengan berlangsungnya Kongres PESINDO  terakhir, sekaligus Kongres PEMUDA RAKYAT pertama pada bulan November 1950. Dalam tahun itu juga bulan Agustus sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pergolakan politik ditandai oleh konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan yang semakin meruncing antara berbagai golongan masyarakat, kelas-kelas dan partai politik. Yang kalau kita menukik ke akar permasalahan, kita menemukan virus yang mematikan yang bersarang di dalam Republik kita, sudah sejak lahirnya, yaitu: imperialisme, neo-kolonialisme dan globalisasi neoliberal.  Banyak dari generasi saya yang hari ini berkumpul di sini, tentu masih ingat peristiwa-peristiwa Provokasi Madiun 1948, Razzia Agustus 1951, Peristiwa 17 Oktober 1952, Pemberontakan PRRI-PERMESTA  1957-1958. Kita juga ingat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Kembali ke UUD 45 dengan Angkatan Darat sebagai pendukung dan motor gerak utama. Kita tidak lupa bagaimana melalui perjuangan Pembebasan Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia, militer lewat konsep penguasaan teritorial dapat mengontrol seluruh negeri. Peter Dale Scott dalam artikelnya berkenaan dengan 100 Tahun Bung Karno, menulis antara lain “semua itu dalam satu grand scenario Perang Dingin yang mengemban missi menyingkirkan PKI sampai kepada Soekarno.”

Masakini

 

1 Oktober 1965 sang nasib sekali lagi mengintervensi dalam hidup saya. Pada tanggal 18 September 1965 Delegasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dipimpin oleh Umar Said dengan anggota-anggota seorang wartawan dari suratkabar SULUH INDONESIA (PNI) dan saya, berangkat ke Santiago de Chili, untuk menghadiri Kongres Internasional INTERNATIONAL ORGANISATION OF JOURNALISTS.  Terjadinya peristiwa 30 September tidak memungkinkan saya pulang ke tanahair.

 

Adalah berkat solidaritas wartawan, rakyat dan pemerintah Tiongkok bahwa kami selama duapuluh tahun memperoleh jaminan kehidupan dan perlindungan hukum. Kami meneruskan usaha untuk mendukung perjuangan rakyat di tanahair. Antara lain kami hadiri Konferensi Trikontinental (Solidaritas Rakyat-Rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin) di Havana, Kuba pada akhir bulan Desember 1965/Januari 1966. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Ibrahim Isa. Konferensi Trikontinental berhasil mengeluarkan suatu dokumen yang mengutuk para jendral yang tangannya berlumuran darah puluhan ribu rakyat Indonesia tak bersalah. Dokumen ini didukung rakyat dan pemerintah Kuba, Fidel Castro dan filosof barat terkenal Bertrand Russell.

Kegiatan kami di Havana menyebabkan paspor Ibrahim Isa dan saya oleh rezim Orde Baru di Jakarta dinyatakan tidak berlaku dan tidak diakui. Tapi kami dengan berbagai cara dan usaha meneruskan perjuangan melawan ketidak adilan dan penindasan di Indonesia.

 

Setelah bermukim di Belanda, karena tetap belum dimungkinkan kembali ke tanahair, pendirian saya tetap, berpegang pada cita-cita yang membawa saya pada 17Agustus 1945 berjuang untuk kemerdekaan rakyat Indonesia.

Perkembangan perlawanan rakyat Indonesia akhirnya menyebabkan turunnya Suharto. Masalah peristiwa 30 September 1965 dan pembantaian ratusan ribu rakyat mulai digugat.

Abdurrachman Wahid (Gus Dur) adalah presiden Indonesia pertama yang memberi perhatian pada tragedi ini. Pada tahun 2000 Gus Dur mengirim menteri kehakimannya Yusril Mahendra ke Belanda dengan tugas untuk memecahkan masalah orang-orang Indonesia yang ‘terhalang pulang’ berkaitan dengan peristiwa G30S.

Dalam pertemuan menteri Yusril dengan ratusan orang Indonesia yang’’terhalang pulang’, Yusril menjanjikan akan memeriksa dan menyesuaikan semua undang-undang serta peraturan yang diskriminatif sehingga membuka kemungkinan pulang bagi mereka ini. Tapi sampai sekarang ini tak ada perubahan apa-apa. ...

 

Meninjau jalan kehidupan saya, saya simpulkan bahwa hukum kehidupan selalu mengandung dua segi pokok: ada yang positif dan ada yang negatif menurut penilaian kita. Yang penting, sikap kita bagaimana? Baik yang positif maupun yang negatif mengandung tantangan. Bagaimana kita memperlakukan tantangan-tantangan itu? Menyerah dan mengalah? Ataukah menatapnya dengan mata terbuka dan dengan tekad mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih kuat dan bisa menimbulkan perubahan yang menguntungkan.

 

Untuk ke-sekian kali saya menutup uraian saya dengan kata-kata Bung Karno: “For a fighting nation there is no journey’s end”. (Bagi bangsa pejuang tiada akhir perjalanan). Saya ingin menambah:  “A fighting nation will face and overcome any challenge which crosses its way”.  (Bangsa pejuang sanggup menghadapi dan mengatasi tantangan apapun yang menghadangnya.)

 

Francisca Fanggidaej

 

21 Agustus 2005




Start your day with Yahoo! - make it your home page

JAKER(Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat)
***************************************
sekretariat:
JL.Tebet Timur Dalam IID No.10 Jakarta Selatan 12820 Indonesia
telp/fax: +62218292842
email:<[EMAIL PROTECTED]>

People's Cultural Network
"Semua orang adalah seniman,setiap tempat adalah panggung!"




SPONSORED LINKS
Culture Indonesia Juli


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke