apakah jaman sekarang masih ada budak?
seperti definisi budaknya di jaman kanjeng nabi?

salam,
ananto


On 11/22/06, Kang-Nceps <[EMAIL PROTECTED]> wrote:



---------- Forwarded message ----------
From: Baz <[EMAIL PROTECTED]>
Date: Nov 7, 2006 8:27 PM
Subject: Pandangan Islam tentang Budak Wanita 1


   Pandangan Islam tentang Budak Wanita
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz ykh., selama ini yang saya fahami adalah bahwa ketika seorang
muslim memiliki budak wanita maka dia boleh menyetubuhi budak tersebut
tanpa lebih dulu menikahinya. Saya mohon ustadz menjelaskan apakah
pemahaman saya itu benar dan kalau salah bagaimana sebenarnya pandangan
Islam tentang hal ini. Atas jawaban ustadz saya haturkan jazakumullah
khair.

Wass. wr. wb.

Acep


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang anda sebutkan itu memang benar dan dibenarkan langsung oleh
Al-Quran Al-Karim, kitab suci yang kita absolutkan itu. Dalam banyak
ayatnya, Al-Quran memang membolehkan laki-laki menyetubuhi budaknya
sendiri. Tetapi bukan budak orang lain.

Hal itu antara lain terdapat dalam ayat-ayat ini:

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal
ini tiada tercela. (QS Al-Mu'minun: 5-6)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan
yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS An-Nisa: 3)

Dan wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.
Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya, sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa
bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS An-Nisa: 24)

Pembolehan itu kalau kita lihat di masa sekarang ini, sekilas memang
terasa aneh dan tidak sesuai dengan rasio kita. Sebab kita hidup di abad
21, di mana perbudakan sudah menjadi barang yang asing. Kalau sampai
kita membaca ayat Al-Quran yang seolah menerima konsep perbudakan,
bahkan pemiliknya sampai boleh menyetubuhinya, tentu saja kita akan
merasa sangat heran.

Namn pahamilah bahwa status budak itu amat hina. Budak dianggap sebagai
makhluk setengah binatang dan setengah manusia. Maka tindakan
menyetubuhi budak di masa itu jangan dianggap sebagai kenikmatan, justru
sebaliknya, masyarakat di masa itu memandangnya sebagai sebuah tindakan
yang hina dan kurang terhormat. Meski pun dihalalkan oleh Al-Quran.

Dan ketika Al-Quran menghalalkan laki-laki menyetubuhi budaknya, hal itu
merupakan dispensasi atau keringanan belaka. Terutama buat mereka yang
tidak mampu menikahi wanita terhormat dan mulia. Masyarakat sendiri
tidaklah memandang bahwa menyetubuhi budak itu sebagai sebuah fasilitas
penyaluran aktifitas seksual yang 'wah' di masa itu. Sebab memang sudah
menjadi konvensi bahkan sebuah kelaziman.

Berbeda dengan zaman sekarang, kalau kita mendengar kebolehan
menyetubuhi budak, seolah kita merasakan kehebohan tersendiri. Padahal
para budak wanita itu bukan sekedar wanita murahan atau rendahan, bahkan
dianggap sebagai separuh binatang. Anda bisa bayangkan, mana ada orang
di masa itu mau menyetubuhi makhluk setengah manusia dan setengah
binatang. Pastilah mereka lebih memilih untuk menikah dengan para wanita
mulia, ketimbang menggauli budak. Kalau sampai ada yang menyetubuhinya,
mereka pun merasa kurang terhormat.

Mari kita renungkan kembali keadaan sosiol kemasyarakatan di masa itu,
yakni abad ketujuh masehi, tentu pandangan kita akan berbeda jauh.

Ketahuilah bahwa perbudakan itu sendiri bukan produk agama Islam.
Perbudakan itu sudah ada jauh sebelum Al-Quran ini diturunkan. Di zaman
Romawi dan Yunani Kuno, Persia kuno, China dan hampir seluruh peradaban
manusia di masa lalu telah dikenal perbudakan. Dan semua itu terjadi
berabad-abad sebelum Islam datang.

Sedangkan negeri Arab termasuk negeri yang belakangan mengenal
perbudakan, sebagaimana belakangan pula dalam mengenal kebejadan moral.
Minuman keras, pemerkosaan, makan uang riba, menyembah berhala, poligami
tak terbatas dan budaya-budaya kotor lainnya bukan berasal dari negeri
Arab, tetapi justru dari peradaban-peradaban besar manusia.

Ini penting kita pahami terlebih dahulu sebelum memvonis ajaran Islam.
Negeri Arab adalah peradaban yang terakhir mengenal budaya-budaya kotor
itu dari hasil persinggungan mereka dengan dunia luar. Karena orang
Makkah itu biasa melakukan perjalanan dagang ke berbagai negeri. Justru
dari peradaban-peradaban 'maju' lainnya itulah Arab mengenal
kejahiliyahan. Perlu anda ketahui bahwa berhala-berhala yang ada di
depan ka'bah yang berjumlah 360 itu adalah produk impor. Yang terbesar
di antaranya adalah Hubal yang asli produk impor dari negeri Yaman.

Saat itu dunia mengenal perbudakan dan belaku secara international.
Yaitu tiap budak ada tarif dan harganya. Dan ini sangat berpengaruh pada
mekanisme pasar dunia saat itu. Bisa dikatakan bahwa budak adalah salah
satu komoditi suatu negara. Dia bisa diperjual-belikan dan dimiliki
sebagai investasi layaknya ternak.

Dan hukum international saat itu membenarkan menyetubuhi budak milik
sendiri. Bahkan semua tawanan perang secara otomatis menjadi budak pihak
yang menang meski budak itu adalah keluarga kerajaan dan puteri-puteri
pembesar. Ini semua terjadi bukan di Arab, tapi di peradaban-peradaban
besar dunia saat itu. Arab hanya mendapat imbasnya saja.

Dalam kondisi dunia yang centang perenang itulah Islam diturunkan. Bukan
hanya untuk dunia Arab, karena kejahiliyahan bukan milik bangsa Arab
sendiri, justru ada di berbagai peradaban manusia saat itu.

Maka wajar bila Al-Quran banyak menyebutkan fenomena yang ada pada masa
itu termasuk perbudakan. Bukan berarti Al-Quran mengakui perbudakan,
tetapi merupakan petunjuk untuk melakukan kebijakan di tengah sistem
kehidupan yang masih mengakui perbudakan saat itu.

Dan ingat, tidak ada jaminan bahwa fenomena perbudakan itu telah hilang
untuk selamanya. Karena kejahiliyahan itu selalu berulang. Tidak ada
jaminan bahwa kebobrokan umat terdahulu yang telah Allah hancurkan, di
masa mendatang tidak kembali melakukannya. Termasuk perbudakan.

Kebetulan saja kita hari ini hidup di masa di mana perbudakan
kelihatannya sudah tidak ada lagi. Tapi ingat, perbudakan baru saja
berlalu beberapa ratus tahun yang lalu di Barat yang katanya modern.
Jadi tidak ada ayat Al-Quran yang habis masa berlakunya.

Di sisi lain, perhatikan Al-Quran dan Sunnah, hampir semua hukum yang
berkaitan dengan perbudakan itu berintikan pembebasan mereka. Semua
pintu yang mengarah kepada terbukanya pintu pembebasan budak terbuka
lebar. Dan sebaliknya, semua pintu menuju kepada perbudakannya tertutup
rapat. Dengan demikian, secara sistematis, jumlah budak akan habis
sesuai perjalanan waktu.

Sementara itu, perbudakan tidaklah semata-mata penindasan, tapi
pahamilah bahwa di masa itu perbudakan adalah komoditi. Harga budak itu
cukup mahal. Seseorang dalam sekejap akan jatuh miskin bila secara
tiba-tiba perbudakan dihapuskan oleh Islam. Seorang tuan yang memiliki
100 budak, akan menjadi fakir miskin bila pada suatu hari perbudakan
dihapuskan. Padahal dia mendapatkan budak itu dari membeli dan
mengeluarkan uang yang cukup besar serta menabung bertahun-tahun. Bila
hal itu terjadi, di mana sisi keadilan bagi orang yang memiliki budak,
sedangkan dia ditakdirkan hidup di zaman di mana perbudakan terjadi dan
menjadi komoditi.

Karena itu Islam tidak secara tiba-tiba menghapuskan perbudakan dalam
satu hari. Islam melakukannya dengan proses kultural dan 'smooth'.
Banyak sekali hukuman dan kaffarah yang bentuknya membebaskan budak.
Bahkan dalam syariah dikenal kredit pembebasan budak. Seorang budak
boleh mencicil sejumlah uang untuk menebus dirinya sendiri yang tidak
boleh dihalangi oleh tuannya.

Dengan cara yang sistematis dan proses yang alami, perbudakan hilang
dari dunia Islam jauh beberapa ratus tahun sebelum orang barat
meninggalkan perbudakan.

Kalau hari ini ada orang yang bilang Al-quran mengakui perbudakan, maka
dia perlu belajar sejarah lebih dalam sebelum bicara. Pendapatnya itu
hanya akan meperkenalkan kepada dunia tentang keterbatasan ilmunya dan
pada gilirannya akan menjadi bahan tertawaan saja.

Dengan sudah berakhirnya era perbudakan manusia oleh sebab turunnya
agama Islam, maka otomatis urusan kebolehan menyetubuhi budak pun tidak
perlu dibicarakan lagi. Sebab perbudakannya sendiri sudah dileyapkan
oleh syariah.

Mungkin ada yang bertanya, kalau perbudakan sudah lenyap, mengapa
Al-Quran masih saja bicara tentang perbudakan?

Untuk menjawab itu kita perlu melihat lebih luas. Marilah kita membuat
pengandaian sederhana. Seandainya suatu ketika nanti entah kapan,
terjadi perang dunia yang melumat semua kehidupan dunia. Lalu pasca
perangitu peradaban umat manusia hancur lebur, mungkin juga peradaban
manusia kembali lagi menjadi peradaban purba, lantas umat manusia yang
jahiliyah kembali jatuh ke jurang perbudakan manusia, maka agama Islam
masih punya hukum-hukum suci yang mengatur masalah perbudakan.

Wallahu a'lam bishshawab wassalamu 'alaikum warahmatllahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

*************************************

Kirim email ke