http://www.suaramerdeka.com/
WACANA

15 Februari 2008
Teologi Lingkungan dan Etika Religius

* Oleh Nazaruddin Latif


Perilaku masyarakat beragama seharusnya ramah terhadap lingkungan, namun 
dalam praktiknya justru mengakibatkan kerusakan
lingkungan. Berarti selama ini ada yang salah dalam pola keberagamaan 
kita, terutama dalam mengimplementasi aspek-aspek ajaran agama (Islam) 
dalam menjaga kelestarian lingkungan.

KERUSAKAN alam yang terjadi di negeri kita sudah sedemikian parah. 
Fenomena banjir dan tanah longsor menjadi tradisi rutin dan terjadi di 
hampir seluruh penjuru Nusantara.
Ironisnya, bangsa kita tidak segera tanggap menyikapi persoalan 
tersebut. Pantas jika di penghujung tahun lalu, kembali terjadi musibah 
banjir dan longsor sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kerusakan alam merupakan persoalan krusial menyangkut keseimbangan dan 
keselamatan hidup semua ekosistem di bumi. Namun jika kerusakan alam 
tetap dibiarkan saja, musibah dan bencana lebih besar pasti akan kembali 
terjadi di masa datang. Karena itu, rekonstruksi terhadap kerusakan alam 
harus segera dilakukan.

Konon kerusakan hutan kita tercatat dalam Guinness Book of World Records 
sebagai negara dengan kerusakan hutan tercepat. Tentu realita ini tak 
sebanding dengan citra hutan kita, yang konon katanya memegang peranan 
sepertiga paru-paru dunia.

Dengan demikian, keberadaan hutan kita mempunyai peranan penting dalam 
menjaga keseimbangan hidup semua makhluk di bumi. Sudah semestinya 
kelestarian hutan ini dijaga dengan sebaik mungkin.
Dalam perspektif teologi Islam, kerusakan alam di negara kita merupakan 
ironi, mengingat mayoritas penduduknya muslim ini. Islam merupakan agama 
pemberi rahmat bagi seluruh alam semesta. Dalam Islam terdapat ajaran 
tentang pelestarian alam. Tapi mengapa tak mampu mengimplementasikannya 
ke dalam kehidupan kita?

Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan dalam hadisnya: ”Kebersihan adalah 
sebagian dari iman”. Namun dalam perilaku sehari-hari, masyarakat justru 
kerap membuang sampah sembarangan. Tanpa merasa berdosa, mereka membuang 
sampah di jalan, selokan, bahkan sungai. Akibatnya menyumbat saluran 
air. Jangan heran jika musim hujan tiba, air meluap menggenangi areal 
persawahan dan permukiman penduduk.

Pohon-pohon dibabat habis sehingga daerah pegunungan dan perbukitan 
menjadi gundul. Celakanya, pembangunan pun tidak memperhatikan tata 
ruang kota, sehingga makin mengurangi daerah resapan air. Akibatnya, 
tanah dan pepohonan yang tersisa tidak mampu menyerap banyaknya limpahan 
air di musim hujan, dan tidak mampu memberikan cadangan air di musim 
kemarau.

Kesadaran Teologis

Ketidaktanggapan dalam merespon persoalan ini merupakan indikasi tidak 
adanya kesadaran teologis untuk menjaga keseimbangan alam semesta. 
Implikasinya, bisa menggeser tingkat keberimanan kita kepada Allah, 
karena pola hidup yang kurang memperhatikan aspek kelestarian 
lingkungan, sebagai wujud rasa syukur kita menikmati anugerah yang telah 
diberikan-Nya.
Kalau dicermati, aspek ini merupakan persoalan yang bersifat substansial 
dalam kajian agama. Sebab ini menyangkut perilaku masyarakat beragama 
yang seharusnya ramah terhadap lingkungan, namun dalam praktik justru 
mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Berarti selama ini ada yang salah dalam pola keberagamaan kita, terutama 
dalam mengimplementasi aspek-aspek ajaran agama (Islam) dalam menjaga 
kelestarian lingkungan.

Satu hal penting yang terlupakan dalam menyikapi kerusakan lingkungan 
terkait perilaku masyarakat beragama adalah hakikat penciptaan manusia 
di bumi. Allah menciptakan manusia agar bisa menjadi khalifah di muka 
bumi. Hal ini telah ditegaskan Allah, ”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman 
kepada para malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang 
khalifah di muka bumi.” (QS al-Baqarah: 30).

Meminjam rumusan Prof Dr Quraish Shihab, paling tidak terma khalifah 
mengandung dua pengertian. Pertama, khalifah diperuntukkan bagi siapapun 
yang diberi kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik wilayah sangat luas 
maupun terbatas. Kedua, khalifah juga berpotensi bahkan secara aktual 
melakukan kesalahan. Karena itu, ia memerlukan petunjuk (wahyu) untuk 
menghindarkan dirinya dari melakukan kesalahan itu.

Penunjukan manusia sebagai khalifah di bumi tak terlepas dari kelebihan 
manusia ketimbang makhluk lain. Karenanya, manusia dikatakan sebagai 
hewan yang berbicara (al-insan hayawan al-nathiq).
Manusia dibekali akal dan nafsu, sehingga bisa berpikir, berkreasi, dan 
mempunyai keinginan untuk memenuhi hasrat egonya. Atas dasar 
pertimbangan inilah, manusia diberi kuasa untuk mengelola dan 
mengeksplorasi bumi.

Tentu manusia juga punya kelemahan yang dapat menjerembabkan dirinya 
melakukan kesalahan dan kealpaan. Sebab, pada dasarnya manusia merupakan 
tempat salah dan lupa (al-insan mahal al-khatha’ wa al-nisyan).
Oleh karena itu, dibutuhkan wahyu Ilahi untuk menunjukkan perbuatan yang 
baik dan buruk kepada manusia. Selanjutnya, tinggal manusia itu sendiri 
diberi kebebasan memilih melakukan perbuatan yang dikehendakinya.
Di sinilah keberadaan etika religius dibutuhkan. Etika religius 
menempatkan kekhalifahan manusia di bumi, sekaligus sebagai hamba (ëabd) 
yang senantiasa menjadikan fungsi kekhalifahan ini sebagai sarana untuk 
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.

Jadi, setiap aktivitas yang dilakukan selalu dilandasi sebagai ibadah. 
Contoh sederhananya adalah berperilaku ramah terhadap lingkungan, 
seperti membuang sampah pada tempatnya. Demikian juga dengan aktivitas 
yang kompleks terkait kebijakan dan kebutuhan manusia dalam skala besar, 
seperti mengeksplorasi bumi beserta isinya harus dilakukan 
sebaik-baiknya, secara bertanggungjawab, tidak melampaui batas, dan 
tetap menjaga kelestariannya.
Persoalannya sekarang, bagaimana etika religius bisa tertanam dalam 
perilaku manusia? Tanpanya, keberadaan etika religius hanya sekedar 
konsep yang tak bisa membumi ke dalam ranah praktis. Hal terpenting yang 
perlu dilakukan adalah menjadikan etika religius sebagai falsafah bagi 
kehidupan manusia, sehingga manusia dalam perilaku sehari-hari 
senantiasa terbimbing untuk berperilaku baik dan ramah terhadap lingkungan.

Setiap aktivitas yang dilakukan pasti mengandung konsekuensi dan 
implikasi yang akan kembali dan dirasakan oleh diri sendiri maupun 
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, setiap aktivitas harus bisa 
dipertanggungjawabkan secara langsung kepada Allah, juga kepada 
kelestarian lingkungan, karena menyangkut kepentingan dan kebutuhan 
semua makhluk hidup.
Dengan demikian, fungsi kekhalifahan yang dijalankan manusia di bumi 
akan berjalan dengan baik, sesuai dengan petunjuk yang ditetapkan Allah. 
Sebagai harapan terakhir, kita berharap agar terhindar dari hukuman yang 
dapat membinasakan manusia dan alam semesta. (32)

–– Nazaruddin Latif, mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


______________________________________________________________________
http://www.numesir.org untuk informasi tentang Cabang Istimewa NU Mesir dan 
KMNU2000, atau info-info seputar Cairo dan Timur Tengah.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kami berharap Anda selalu bersama kami, tapi jika karena suatu hal Anda harus 
meninggalkan forum ini silakan kirim email ke: 
[EMAIL PROTECTED] 
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/kmnu2000/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke