http://www.kompas.com/kompas-cetak/0105/08/iptek/buru27.htm Burung sebagai Maskot Tudingan dan Tuntutan Kompas/rudy badil DAYA tarik burung jalak bali, sungguh sakti. Bali yang sudah memiliki setumpuk daya tarik wisata budaya dan alamnya, kalau ditambah jalak bali yang terkenal sebagai spesies endemik unik dan hanya ada di Bali, pasti makin hebat. Khususnya di alam sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang rusak itu, serta sisa potensi wisata bahari dengan bekas taman laut dan Pulau Menjangan. Tidaklah aneh, potensi wisata bahari plus jalak bali di sana, sungguh menjadi tumpuan daya tarik tambahan datangnya wisatawan asing ke sana.Sayangnya keadaan TNBB kian sulit dikendalikan. Pencurian dan penjarahan isi hutan, termasuk satwa liarnya, sudah menjadi kegiatan selingan dan sehari-hari. Belum lagi ribut-ribut soal status TNBB, serta meluasnya permasalahan gara-gara pemberian izin pengusahaan pariwisata alam (IPPA) yang diduga merusak lingkungan hidup dan mengganggu langsung zona inti TNBB, sebagai habitat satwa liar endemik termasuk jalak bali. Persoalan bertele-tele sejak tahun lalu ini, sampai kini mungkin belum sepenuhnya selesai. Serangan keras berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) terhadap pengorganisasian kerja TNBB, rasa-rasanya belum habis-habis juga. Bahkan di awal tahun ini, barisan LSM dan sejumlah aktivis lingkungan itu, mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, sambil mengadukan hal-hal buruk apa saja yang terjadi di TNBB. Katanya koloni hutan cendana murni di TNBB, kini tinggal tersisa beberapa batang pohon lagi. Kawasan hutan cendana itu telah diubah dari zona rimba, menjadi zona pemanfaatan yang akhirnya digunakan untuk pembangunan resor. Hutan kemasyarakatan diserobot lalu dijualbelikan dengan harga antara Rp 3 juta hingga Rp 6 juta per hektar. Ujung-ujungnya jalak bali menjadi picu ledaknya dengan kalimat klasik khas LSM. "Maskot Bali yang berupa jalak bali (Leucopsar rothschildi) sebentar lagi bukan mustahil hanya tinggal kenangan, menyusul punahnya harimau loreng dan banteng bali yang merupakan cikal bakal sapi bali berwarna coklat ... padahal jalak bali itu diketahui, amat rentan terhadap perubahan lingkungan sekecil apa pun, apalagi jarak antara habitat terakhir di Tanjung Kelor, sangatlah dekat zona pemanfaatan yang dikuasai investor dengan pembangunan resornya ..." *** RAMAI juga kalau membaca edaran LSM ini. Pokoknya apa yang dilihat dan dilakukan pihak lain, itu salah semua, meski tanpa akurasi data penelitian dan sejenisnya. Isu burung dijadikan tuntutan sentral. Jalak bali yang katanya tersisa delapan ekor lagi, menjadi maskot tuntutan dan tudingan ke pihak tertentu. Curik ini menjadi kata sakti untuk memenangkan secara "legal ilmiah", tuntutan yang berbuntut kepentingan penuntutnya juga. Selain pengurus TNBB yang seakan-akan dianggap tidak berdaya, juga patut direformasi pejabat dan kebijakan kerjanya, serta beberapa pihak termasuk pengusaha lainnya yang menjadi "sasaran tembak". Ambil contoh WakaShorea Resor (WSR) sebagai salah satu resor di sekitar TNBB. Kebetulan resor yang dikelola Grup Waka yang asli dimiliki warga Bali, membangun pondokan wisata yang khas WakaShorea di Tanjung Kotal, di zona pemanfaatan yang bertetangga dengan zona rimba inti menurut versi TNBB. WakaShorea yang berkonsep menghindari keramaian atau hide away dan ramah lingkungan ini, bergiat menyewakan pondok sepi yang ekoturisme ini sebagai pusat wisata bahari di seberang Pulau Menjangan, di dalam kawasan TNBB sejak awal tahun ini. Kebetulan sekali, resor ini seperti beberapa resor lainnya, dianggap kecipratan rezekinya salah satu tokoh KKN-nya kelompok Cendana. Titik lemah dugaan KKN itu, memang makanan publisitas. Siapa yang tidak tertarik membaca judul semisal Pemda Kecolongan Proyek Bob Hasan, Kelompok Cendana Garap Proyek Siluman, Konspirasi Merusak Lingkungan di Bali, dan lainnya. Upaya kelompok pejuang reformasi itu untuk menyerang, sekalian melumpuhkan usaha bisnis pariwisata ini, memang ampuh dan sempat membuat opini pro dan kontra. Secara umum, di zaman sekarang ini, siapa saja yang berniat berusaha dan mencari keuntungan bisnis, rasa-rasanya akan menjadi pihak yang "salah". Apalagi kalau masyarakat sekitar lokasi bersangkutan, ikut meramaikan dan meminta haknya sebagai pihak yang mencari keuntungan juga. Yang terjadi di sana hingga muncul pers release dan aksi ke DPRD Bali, dan memakai maskot jalak bali sebagai tuntutan utamanya, sebenarnya gara-gara kepentingan bisnis lokal juga. Bisnis penyewaan perahu tambang, untuk melayani turis menyelam dan berenang diperairan Pulau Menjangan. Pangkalan perahu sewa ini di Labuan Lalang, sebagai lokasi pemberangkatan dan bersandarnya kapal sewaan berwisata bahari, sejak beberapa tahun memang monopoli masyarakat Desa Sumber Klampok. Kebetulan ada sekelompok warga merasa sebagai perintis usaha wisata bahari di Teluk Terima dan Labuan Lalang, menganggap kelompoknya sebagai pengorganisasi penyewaan kapal wisata. Kelompok ini menganggap pengelola resor sebagai "pendatang baru", kurang mulus bekerja sama dengan "penghuni lama". Tidaklah adil dan bukan reformis, kalau pengusaha resor tidak membagi keuntungan buat Paguyuban Pemilik Boat alias pengusaha kapal wisata di Labuan Lalang dan sekitarnya. Untuk lebih dramatis, kelompok "perintis" yang mengatasnamakan 12 tokoh lokal, juga meminta hak pengelolaan atas sebidang lahan sebagai kompensasi dari upayanya merintis wisata bahari di TNBB. Jadi inti tuntutan itu memang UUD, alias "ujung-ujungnya duit". Dalih hancurnya terumbu karang, kerusakan garis empadan pantai, bobroknya pengorganisasian TNBB, gundul dan makin tipisnya hutan, atau menjelabang musnahnya jalak bali, tidak lagi menjadi tuntutan dalam ruang rembukan, antara pengusaha resor dengan "penghuni lama" dan peguyupan kapal. *** JALAK bali yang disebut tinggal delapan ekor, bukan belasan ekor seperti edaran resmi TNBB, tidak disebut-sebut sebagai pangkal tuntutan warga yang didukung LSM tertentu. Raibnya 56 ekor jalak bali hasil penangkaran di Tegal Bunder, juga tidak dipermasalahkan serius lagi. Burung yang memang tinggal sedikit ini, cuma menjadi kata pembukaan suatu konflik kepentingan. Kini tinggallah pemilik resor di sekitaran Teluk Terima, Labuan Lalang dan Tanjung Kotal yang berusaha di bidang kenyamanan pariwisata, nyatanya harus bekerja di bawah "tekanan" yang tidak nyaman sama sekali. "Kami sudah melakukan sesuai ketentuan, baik itu perizinan legal, sampai konsep konservasi alam dan wisata alam," ujar Dhasi Suryawan, wakil pengelola WakaShorea di Tanjung Kotal, awal Februari lalu. "Soal angkutan, kami sudah mengadakan kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak, termasuk turis asingnya." Bayu Wardoyo sebagai arsitek dan staf direksi Grup Waka, mengakui pembangunan resor di tanah enam hektar dari izin 29 hektar, semuanya sudah sesuai konsep konservasi. "Kami meminimalkan pemanfaatan lahan dan bahan alami. Lihat saja, hampir semuanya memanfaatkan bahan kayu bekas. Sekitar 85 persen dari belasan bangunan pondok itu, berbentuk panggung dan beratap rendah. Kecuali restoran yang beratap ilalang lebih tinggi dari pohon lingkungan, selebihnya bangunan lebih pendek dari pohon sekitaran," katanya, saat menerima kunjungan wartawan dan operator tur. Lokasi resor di pantai gersang, tertutup semak dan pepohonan yang di musim kemarau akan meranggas, memang terasa sepi dan cocok bagi turis yang menginginkan hidup "hide away" tanpa bunyi radio, televisi, musik disko dan lampu listrik berlebihan. Air tiap hari didatangkan dari daratan. Sampah nonorganik diangkut dan dibuang ke Labuan Lalang. Sedangkan di resor, memanfaatkan pengolahan limbah dengan sistem EM (efective microorganism). Resor bertarif dolar AS ini, menurut Bayu Wardoyo dan Dhasi Suryawan, cocok untuk wisatawan elite, bukan rombongan turis. Alam pantai sepi, kenyamanan menyelam dan suasana sepi dan kekelaman TNBB di hari gelap, memang kelebihan resor yang memanfaatkan sumber daya manusia warga lokal sekitaran. "Kehadiran resor ini memang kontroversial," ujar Bayu yang menjelaskan upaya perusahaannya mengecilkan konflik. "Paling tidak kehadiran resor ini, menghambat juga nelayan yang masuk taman nasional, mengambil kayu dan mungkin mengganggu satwa liar. Juga operasi bersama dengan pihak TNBB, tidak mustahil mengecilkan aksi pemboman di lautan bebas." Kalau resor ini dianggap ikut merusak kelestarian alam dan satwa TNBB, apakah tidak mungkin resor ini ikut berperan melindungi, atau bahkan ikut memperbaiki kerusakan yang ada. "Kami bisa saja ikut mendanai penelitian, atau mengerahkan tenaga pencinta alam, untuk mengadakan bersih pantai secara berkala. Atau menanami kembali bibit pohon cendana bali. Bahkan kami sudah menjajaki kemungkinan membantu PHPA, mengadakan penangkaran jalak bali seperti di Tegal Bunder," kata Dhasi bersemangat. *** UCAPAN macam ini mengejutkan juga. Bayu dan Dhasi yang sempat mengunjungi pusat penangkaran itu, menyatakan upaya mengembangkan jalak bali dengan penangkaran ex-situ yang in-situ, bukanlah hal mustahil bagi perusahaannya. "Asalkan PHPA memberikan izin, serta petunjuk teknis. Kami akan mendidik SDM sendiri, kalau perlu mencari pakar jalak bali sebagai pengelolanya," kata Bayu. "Apalagi resor kami bertetangga dengan Teluk Brumbun yang ada kandang besar. Anakan jalak bali itu, akan kami berikan ke sana supaya diliarkan lagi." Sambil membaca keterangan buku, Dhasi menyadari anakan jalak bali ini tidak mudah diliarkan dan dikembangkan di habitat baru. "Kami pelihara dan mengembangkan populasinya, di bawah pengawasan PHPA. Proyek ini akan menarik tamu resor. Nama kita akan baik, daripada cuma ditanya mengapa jalak bali makin habis. Kalau memang sudah saatnya dilepas, misalnya hutan TNBB sudah padat dan dijaga bagus, serahkan saja anak burung itu ke negara," kata Dhasi. "Pelepasan jalak bali hasil penangkaran ke alam untuk memperkuat populasi liar, disarankan hanya dilakukan jika jumlah jalak bali liar telah sampai ke jumlah yang sangat kritis. Usaha untuk melepaskan jalak bali tangkaran, seperti juga mengembalikan burung-burung tangkapan liar, memerlukan teknik pelepasan yang baik, walaupun pada kenyataannya hanya sedikit jalak bali yang telah dilepas ke alam bertahan hidup." (Rencana Pemulihan Spesies Jalak Bali, PHPA/BirdLife, 1997) Bayu dan Dhasi menyatakan akan kontak dengan pihak berwenang, juga mencari info siapa pemilik jalak bali yang mau bekerja sama. "Daripada bertengkar dan ujung-ujungnya duit, lebih baik sama-sama ikut memikirkan upaya perlindungan hutan dan konservasi, serta kerja sama pengelolaan yang saling bermanfaat," katanya. Entah bagaimana perkembangan rembukan lokal, antara "pendatang baru" dan "penghuni lama" di TNBB. Entah pula bagaimana keadaan burung jalak bali yang selain maskot Bali, juga maskot berbagai tudingan dan tuntutan kepentingan manusia, bukan kepentingan burung liar yang binatang. Sayang. (pun/bd --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim email ke [EMAIL PROTECTED] Arsip ada di http://www.mail-archive.com/kukilo@lead.or.id