http://www.republika.co.id/9811/25/122.htm Setelah mengamati perilaku beberapa oknum aktivis mahasiswa Forkot, Famred, dll, ternyata saya melihat beberapa perilakunya tidak berbeda dengan rezim ORBA. Persis seperti pinang dibelah dua, walaupun berada di pihak yang berlawanan. Jika perilakunya seperti itu, saya khawatir negara Indonesia ini tidak akan pernah berkembang jadi lebih baik. Berikut fenomena yang saya lihat: Nampaknya mahasiswa Forkot, Famred, dll yang dimotori oleh mahasiswa Universitas Katolik Atmajaya dan Universitas Kristen Indonesia, Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Trisakti, Universitas Mustopo tanpa agama, meniru perilaku rezim ORBA dalam gerakannya. Saya bukannya menjelek-jelekkan mahasiswa, tapi memang ada oknum mahasiswa yang brengsek seperti tukang nyontek, tukang tawuran, suka mengintimidasi temannya, dll. Lagi pula bukankah para pejabat pemerintah sekarang dulunya juga mahasiswa, misalnya Abdul Gafur, Cosmas Batubara, Adi Sasono, Rahadi Ramelan, Muslimin Nasution, dll yang merupakan aktivis mahasiswa yang berdemo menumbangkan rezim Sukarno. Contoh perilaku mereka yang seperti rezim ORBA adalah mengagung2kan gerakan mereka dan menghina2 gerakan pendahulunya. Dulu ORBA mengagung2kan ORBA dan menghina ORLA, sekarang Reformasipun begitu, mereka mengagung2kan Reformasi dan menghina ORBA. Jika ORBA menjuluki lawan2nya sebagai Komunis, Islam Ekstrim, Fundamentalis, dll, maka Reformasi menjuluki lawan2nya sebagai anti reformasi, antek ORBA, dll untuk membungkam perbedaan pendapat. Kemudian jika aparat ORBA menculik aktivis mahasiswa dan menyiksanya, oknum Mahasiswa Reformasi di Universitas Kristen Indonesiapun tidak mau kalah. Mereka menculik Serma Suratmo yang sedang menjalankan tugasnya (RCTI dan Republika 28 November 1998, Tabloid Tekad, Tabloid Adil), dan menyiksanya di Universitas Kristen Indonesia. Jika baru mahasiswa sudah begitu, bagaimana kalau sudah berkuasa jadi pemerintah? Rasanya tingkah laku mereka tak berbeda dengan rezim ORBA. Kalau ada aparat yang menubruk mahasiswa dengan truknya, ternyata oknum mahasiswa juga tidak kalah dengan menubrukkan mobil VW-nya ke barisan petugas. Akibatnya beberapa petugas langsung masuk rumah sakit. Dulu Suharto berkuasa menggantikan pemerintah Sukarno tanpa Pemilu, sekarang mahasiswa Forkot, Barnas, PDI Mega, dll juga begitu. Mereka mencoba berkuasa tanpa Pemilu juga. PDI Mega tadinya memaksa ikut SI MPR, namun setelah dibujuk Kasum ABRI dan Kasad akhirnya menurut. Suharto pernah merombak MPR dan membentuk sendiri MPRS dengan anggotanya yang dia pilih sendiri tanpa Pemilu. Sekarang Forkot dan Barisan Nasional juga begitu. Mereka mencoba membentuk MPR Reformasi dan Komite Rakyat tanpa Pemilu. Rezim ORBA tak segan2 membantai lawannya. Forkotpun begitu. Paling tidak ada 5 anggota Pam Swakarsa yang dikeroyok mahasiswa Universitas Katolik Atmajaya, UKI, Unpar, Trisakti hingga kepalanya terburai, dan matanya dicongkel. Adakah Indonesia akan jadi lebih baik diperintah oleh orang2 yang biadab seperti ini? Rezim ORBA senang melakukan kekerasan thd lawan politiknya. Oknum mahasiswa juga begitu, contohnya mahasiswa Universitas Bung Hatta Padang bukannya berdialog seperti seorang intelektual malah mencoba mengeroyok dan memukul Mentan Prof. Dr. Saleh Sholahuddin. Apa yang bisa diharapkan dari calon pemimpin seperti itu? Rezim ORBA senang menggunakan senjata untuk meredam lawannya. Mahasiswa Forkot dan Famredpun begitu. Meski mengaku2 sebagai gerakan damai, tapi di TV jelas terlihat mereka melempari petugas dengan batu sebesar kepalan tangan, bom molotov (seperti pada kasus Semanggi), serta menggunakan tiang spanduk untuk menghajar petugas. Kemudian dari tulisan2 yang kurang ajar (kalau "Suharto Koruptor", dll, saya sih masih setuju) serta tindakan joget berjingkrak2 nampaknya sudah bukan tindakan orang yang beradab. Terus terang kalau untuk menggulingkan pemerintah mereka juga berperilaku sama dengan pemerintah yang mereka gulingkan, apa bedanya pemerintah yang baru dengan yang lama jika perilaku keduanya setali tiga wang? Selama ini negara Indonesia tidak pernah terdapat pergantian presiden lewat Pemilu. Sukarno diganti Suharto tanpa Pemilu, begitu pula Suharto. Apakah kita akan terus begini? Selalu mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan aturan main yang berlaku seperti UUD 45, dll? Tanpa Pemilu, pemerintah manapun yang dibuat tidak akan mendapat legitimasi rakyat. Forkot dan Famred serta KOBAR (organisasi buruh Mukhtar Pakpahan, Kristen yg senang pakai peci dg alasan peci itu kebudayaan Melayu) bisa saja membentuk pemerintah baru tanpa Pemilu, tapi bagaimana kalau golongan lainnya seperti Ormas Islam seperti MUI, ICMI, HAMMAS, Kisdi, Furkon dll juga membentuk Presidium sendiri. Apakah kita harus berperang untuk berkuasa sebagai pemerintah seperti di Afghanistan hanya karena ketidak-sabaran menunggu Pemilu yang tinggal 8 bulan lagi (Juni 1999)? Berikut berita dari Republika tentang kronologis versi Hankam (kalau versi TV Swasta dan Media Massa-kan sudah sering kita lihat): http://www.republika.co.id/9811/25/122.htm Kronologi Insiden versi ABRI 1. 10 November 1998. Massa yang terpusat di UKI Jl Diponegoro, UI Salemba dan YAI Jl Diponegoro bergerak menuju Tugu Proklamasi untuk menduduki dan melakukan orasi sehingga terjadi bentrokan fisik dengan kelompok pro-Sidang Istmewa (SI) MPR yang telah lebih dulu menduduki tempat tersebut. Pada saat mahasiswa bergerak, ikut bergabung massa masyarakat yang jumlahnya semakin membesar. Melihat keadaan tersebut aparat keamanan dengan cepat bertindak melerai kedua kelompok dan mengevakuasi kelompok pro-SO dari Tugu Proklamasi. 2. 11 November 1998. Berlangsung orasi dan unjuk rasa gabungan mahasiswa di tugu Proklamasi yang akan menuju Gedung DPR/MPR diikuti sekitar 3.000 mahasiswa dan masyarakat. Gerakan tersebut dihambat petugas di Jl Imam Bonjol. Pada saat itu terjadi insiden ditabraknya aparat keamanan oleh oknum mahasiswa dengan menggunakan mobil VW Safari yang dikendarai Anas Allamuddin (FH UI) didampingi Amrirul bin Bakar yang mengakibatkan sembilan aparat keamanan luka berat. Sebagai ekses kasus tabrak lari tersebut terjadi kontak fisik yang mengakibatkan tga mahasiswa dan empat wartawan luka. 3. 12 November 1998. Massa mahasiswa dan massa lain yang berasal dari kampus Universitas Kristen Indonesia, Yayasan Administrasi Indonesia dan Universitas Indonesia Salemba berada di Tugu Proklamasi bergerak ke Matraman, Senen dan Jatinegara untuk menarik massa menuju DPR/MPR. Gerakan tersebut terhenti di depan Musium Satria Mandala dengan jumlah sekitar 10.000 orang. Massa dapat dibubarkan aparat keamanan pada pukul 17.10 WIB. Gerakan menerobos barikade aparat keamanan tersebut telah mengakibatkan korban 17 mahasiswa dan masyarakat termasuk aparat luka-luka. Dari arah Grogol gabungan massa mahasiswa Universitas Trisakti, Institut Teknologi Indonesia dan KOBAR berhasil dihentikan aparat keamanan di depan gedung Manggala Wanabhakti. Kegiatan yang dilakukan dengan orasi telah menarik massa semakin bertambah mencapai sekitar 5.000 orang. Aksi massa semakin brutal, di antaranya terdapat kelompok yang memprovokasi massa untuk menerobos barikade aparat keamanan tetapi dapat ditindak dan dibubarkan. Dalam insiden tersebut jatuh korban satu orang anggota Brimob Polda Metro Jaya meninggal dan tiga anggota Kodam Jaya terluka. Sedang massa 30 orang terluka. 4. 13 November 1998. Meletus insiden Semanggi. Secara bergelombang massa pengunjuk rasa bergerak mengepung DPR/MPR dari berbagai penjuru. Gerakan massa dilakukan dengan pola berlapis-lapis, lapis pertama terdiri dari mahasiswa murni, kedua kelompok provokasi, ketiga kembali mahasiswa murni dan keempat 'massa cair'. Pada saat aparat keamanan melakukan negosiasi dengan lapis pertama, kelompok provokasi dari lapis kedua maju berhadapan dengan aparat keamanan, mencaci maki, melempari aparat keamanan dengan batu, bom molotov dan kotoran, serta berusaha merebut senjata agar aparat terpancing dan marah. Kelompok provokasi bergerak membuka jalan ke kiri dan ke kanan agar mahasiswa murni dan massa cair maju ke depan berhadapan dengan aparat keamanan. Provokator terus memberi dorongan agar massa lebih agresif melawan petugas. Untuk menghadapi gerakan massa yang semakin brutal, maka diberikan tembakan peringatan dengan peluru hampa. Tetapi massa tidak mundur sehingga aparat memberikan semprotan air dan gas air mata untuk membubarkan massa. Pada saat posisi aparat keamanan telah terancam dan sebagai tindakan membela diri, aparat terpaksa mengeluarkan tembakan dengan peluru karet. Kejadian bentrok antara massa pengunjuk rasa dengan aparat keamanan ini banyak menimbulkan korban. 5. 14 November 1998. Terjadi aksi unjuk rasa oleh kelompok mahasiswa dari berbagai universitas dan kelompok massa lain yang tidak terkendali melakukan kerusuhan, penjarahan bahkan melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan yang terbagi dalam dua gerakan: a. Gerakan massa, provokator dan massa. b. Gerakan kelompok penjarah. Keadaan segera dapat dikendalikan dan diredam sehingga tidak berkembang ke daerah lain. Dalam keseluruhan peristiwa bentrokan selama SI MPR tercatat korban: mahasiswa (4 meninggal, 29 rawat inap dan 201 rawat jalan), masyarakat (8 meninggal, 38 rawat inap, 206 rawat jalan dan anggota ABRI (1 meninggal, 22 rawat inap dan 20 rawat jalan). --------------------------------------------------------------------- To subscribe, email: [EMAIL PROTECTED] To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED] HI-Reliability low cost web hosting service - http://www.IndoGlobal.com