Kisah ini konon terjadi beberapa saat setelah Rasulullah SAW Wafat .... 
________________________________




AIR MATA RINDU

Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang 
kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung 
enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, 
bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan 
sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut 
Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan 
tangisnya.
-----
Waktu shalat telah tiba. Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan 
tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk 
Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang 
selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi 
masjid.

Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah.

Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa 
gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu 
bergetar tak beraturan.

Asy...hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad. ..

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang 
bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak 
sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya 
mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, 
dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak 
bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram 
rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari 
dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah 
Rasul ALLAH.

Asy...ha..du. .annna...

Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat 
yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di 
Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua 
merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua 
menangis, tapi tidak seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua 
penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu 
Bakar ash-Shiddiq ra. tahu. Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas 
mengumandangkan adzan.

Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah SAW 
berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah SAW 
memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia 
teringat bagaimana Rasulullah SAW menjodohkannya. Saat itu Rasulullah 
meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, "Bilal adalah pasangan dari 
surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya." Pria legam itu terenyuh 
mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak 
tampan, dan mantan budak.

Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya 
berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, 
"Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat." lalu ia pun beranjak adzan, muncul 
begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada lagi suara lembut yang 
meminta istirahat dengan shalat.

Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan 
dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, 
Bilal berkata, "Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai 
Rasulullah, saatnya untuk shalat." Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik 
itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena 
sudah diingatkan akan waktu shalat.

Bilal teringat, saat shalat 'Ied dan shalat Istisqa' ia selalu berjalan di 
depan Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. 
Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah SAW. Satu 
diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab ra., satu untuk dirinya sendiri, dan 
satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa 
diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih.

Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu 
dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak 
sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak 
mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk 
meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut 
kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan 
semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota 
itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin 
berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan 
budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.
----
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad SAW, khalifah 
pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi 
penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya.

Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui 
Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun 
yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka 
yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan 
umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya 
mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari 
Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya. 
Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan.

Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah 
menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk. "Hanya sekali", bujuk Umar. "Ini 
semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad 
saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah 
engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?"
Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya 
sekali, saat waktu Subuh..

Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba. Berita tersebut sudah 
tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid 
demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

Allahu Akbar, Allahu Akbar
Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah
Asyhadu anna Muhammadarrasululla h

Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu 
beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang 
indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. 
Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot 
urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis 
secara spontan.

Asyhadu anna Muhammadarrasululla h

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di 
kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab 
kala itu kembali basah akan air mata.

Hayya 'alash-shalah, hayya 'alash-shalah

Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum 
muslimin meningkat dan membuncah.

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau 
takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?

La ilaha illallah

Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia 
telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.
----
Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 
tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, 
menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui 
Rabbnya.
"Jangan menangis," katanya kepada istri. "Sebentar lagi aku akan menemui 
Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku 
akan bertemu kembali dengan mereka esok hari."

Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara 
langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam 
kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini 
ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih 
di dunia.
--------------------http://formasi-fib-ui.org/forum/index.php?topic=62.0


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke