http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/01/06/93875/KB.dan.Kesehatan.Reproduksi

PEREMPUAN

06 Januari 2010
KB dan Kesehatan Reproduksi
Oleh Benni Setiawan
APA kabar program keluarga berencana (KB)? Setelah Soeharto lengser,
program ini sepertinya mulai ditinggalkan. Kini program KB kembali
mendapat perhatian publik.

Selain diancang untuk mewujudkan tatanan keluarga kecil bahagia,
program ini juga menekan pertumbuhan penduduk dunia.

Namun, banyak feminis dan pengamat masalah perempuan menyatakan KB
harus sesuai dadn berpihak pada perempuan. KB harus dimaknai dalam
konteks kesehatan reproduksi.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana KB dalam konteks
kesehatan reproduksi?

Tercatat, tahun 2007 peserta KB mencapai 5,6 juta, diikuti peningkatan
pada tahun 2008 menjadi 6,5 juta akseptor. Sepanjang 2009, sampai
dengan Juli, akseptor di RSUP Dr Kariadi Semarang mencapai 1.188
akseptor.

Penggunaan KB itu terinci atas metode IUD (intrauterine device) 61
orang, vasektomi 127 orang, suntik 79 orang, pengguna pil 41 orang,
dan yang paling besar  pengguna kondom sebesar 880 orang.

Peningkatan akseptor KB searah dan sebangun dengan meningkatnya
anggaran dari pemerintah. Anggaran untuk Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2006 hanya Rp 700 miliar.

Tahun 2007 meningkat menjadi Rp 1,04 triliun. Dan, tahun 2008
meningkat lagi menjadi Rp 1,2 triliun. Sementara tahun anggaran 2009
sebesar Rp 1,6 triliun.

Setelah rezim ini runtuh, program KB semakin redup terdesak oleh
agenda penyelamatan sosial ekonomi dan politik bangsa.

Program KB kembali menjadi perbincangan dan agenda menginggat
banyaknya usia produktif putus sekolah. Sesuai budaya masyarakat desa,
anak-anak yang sudah tidak sekolah, biasanya langsung dinikahkan.

Pernikahan di usia produktif mengakibatkan terjadinya ledakan penduduk
(baby boom).
Angka kelahiran di Indonesia rata-rata 2,6% atau setiap keluarga
memiliki 2,6 anak. Beberapa daerah angkanya bahkan lebih besar,
sehingga harus dikendalikan.
Masalah Sosial Kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan
seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan
mengakibatkan masalah sosial.

Lebih lanjut, ledakan jumlah penduduk tidak dibarengi oleh perluasan
lahan bumi. Artinya, bumi yang stagnan akan semakin sempit dan berat,
karena meningkatkan jumlah penduduk bumi.

Tujuan demografis inilah yang menjadi latar belakang adanya program KB.
Namun demikian, tujuan demografis seringkali mengalahkan aspek
kemanusiaan dan moral.

Peserta KB (akseptor) yang notabene perempuan seringkali belum
memperoleh hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Kesehatan
reproduksi mereka sering diabaikan oleh pemerintah.

Kesehatan reproduksi haruslah dilihat dalam konteks kesehatan menurut
Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), di mana Indonesia juga
menjadi anggota. Kesehatan menurut WHO adalah keadaan sehat fisik,
mental, dan sejahtera secara sosial, bukan hanya tidak adanya penyakit
atau kecacatan.

Dengan demikian, kesehatan reproduksi adalah kondisi di mana proses
reproduksi dicapai dalam keadaan sehat fisik, mental, dan sejahtera
secara sosial dan bukan sekadar tiadanya penyakit atau kelainan proses
reproduksi.

Dengan konsep ini, tujuan KB akan sejalan seiring dengan konsensus
Kairo ICPD yang mengintegrasikan isu kependudukan, pembangunan, dan
hak asasi manusia ke dalam cetak biru 20 tahun Program Aksi.

Konsensus ini menyebutkan, penduduk stabil akan tercapai dengan
sendirinya bila kebutuhan layanan KB dan kesehatan reproduksi bagi
semua individu terpenuhi.

Untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut, perlu langkah nyata dalam
menggalakkan program KB dalam bingkai kesehatan reproduksi. Yaitu,
dengan pertama, menggratiskan KB. Program KB gratis mungkin masih
kalah pamor dengan program sekolah gratis dan kesehatan gratis.

KB gratis akan mendorong seseorang (terutama penduduk miskin) dengan
sukarela datang ke bidan atau puskesmas. Keengganan masyarakat untuk
KB, salah satu faktornya masih mahalnya biaya program ini.

Kedua, meningkatkan peran serta BKKBN dalam menyosialisasikan program
KB. Sudah menjadi rahasia umum jika koordinasi dan implementasi
program BKKBN sangat lemah. Peran serta, koordinasi, dan implementasi
BKKBN semakin tidak berdaya di tengah berlakunya otonomi daerah.

Ketiga, mengajak akseptor KB laki-laki. Hingga kini KB identik dengan
perempuan. Namun, pada dasarnya KB dapat juga dilakukan oleh
laki-laki. Walaupun masih rendah, peran serta kaum laki-laki dalam
menyukseskan program KB menjadi penting.

Kesediaan laki-laki ber-KB akan semakin mendorong kaum perempuan untuk
turut serta dalam program ini. KB merupakan program mulia. Namun,
aspek kemanusiaan dan moral juga penting untuk menjamin kualitas hidup
akseptor KB. (37)

- Benni Setiawan, penulis, tinggal di Sukoharjo.

Kirim email ke