LifeStyle Kids
Menjadi Orangtua Tunggal Selasa, 11/09/2007 KELUARGA EFEKTIF, Jalinan kasih sayang dan komunikasi yang erat orangtua-anak, niscaya membantu pembentukan kepribadian anak dalam keluarga single parent. SIAPA pun tak berharap menjadi orangtua tunggal.Keluarga utuh,idaman setiap orang.Bagaimana bila takdir berkata lain? Menjadi orangtua tunggal (single parent) dalam sebuah rumah tangga tentu saja tidak mudah.Terlebih, bagi seorang istri yang ditinggalkan suaminya karena meninggal atau bercerai. Paling tidak, dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan si buah hati, termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Hal ini dialami Yamida, seorang karyawan di kawasan Jakarta Selatan. Ibu muda ini harus membesarkan kedua putra putrinya yang berusia 11 tahun dan 6 tahun,setelah bercerai dengan sang suami tiga tahun silam. Dia mengaku keputusan bercerai memang pilihan terbaik untuk dirinya dan pasangan. Meskipun, pada awalnya anakanak Yamida terutama anak sulungnya sempat bingung dengan keadaan tersebut. "Anak saya yang pertama awalnya sering bertanya, kenapa papa pergi atau bertanya, apakah papa sayang kepadanya. Kalau papa sayang, kenapa dia meninggalkan kami.Biasanya saya selalu jawab semua pertanyaan mereka. Saya lebih banyak terus terang kepada anak-anak tentang keadaan yang dihadapi," ujar Yamida. Ia selalu menekankan kepada anak-anaknya bahwa keadaan apa pun yang dihadapi dalam hidup harus diterima.Yang penting ialah tepat menyikapi segala keadaan tersebut. Kini, orangtua tunggal adalah fenomena yang makin dianggap biasa dalam masyarakat modern. Bagi yang mengalaminya, entah karena bercerai atau pasangan hidupnya meninggal, tak perlu terpuruk lama- lama karena bisa belajar dari banyak hal. Namun, tidak demikian bagi anak yang tibatiba mendapati orangtuanya tidak lengkap lagi. Anak yang belum siap menghadapi rasa kehilangan salah satu orangtuanya akan terpukul, dan kemungkinan besar berubah tingkah lakunya. Ada yang menjadi pemarah,ada yang suka melamun,mudah tersinggung, atau suka menyendiri. Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPT-UI) Irma Gustiana Andriani MPsi membenarkan, anak-anak yang orangtuanya bercerai atau meninggal dunia sering kali mengalami problem perilaku diri dan perilaku sosial. Misalnya, gampang tersinggung dan marah-marah, murung maupun lebih memilih bermain sendiri (soliter). "Untuk anak-anak usia sekolah, biasanya prestasi mereka di sekolah otomatis akan menurun," ujar Irma. Salah satu hal yang harus dilakukan orangtua untuk membantu anak menghadapi kondisi semacam itu adalah mengajarkan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Jika orangtua bercerai, yakinkan anak bahwa keadaan tersebut bukan kesalahannya, melainkan ketidakcocokan ayah dan ibu. Bangkitkan lagi rasa percaya diri anak. "Sedangkan, jika anak harus menghadapi kematian, salah satu dari orangtuanya maka bisa lebih mudah menjelaskan dengan pendekatan agama. Memang untuk anak usia sekolah dan remaja bisa lebih mudah menjelaskan keadaan yang dihadapi,"tutur ibu dari dua anak ini. Untuk mendapatkan pengertian dari anak,lanjut Irma, orangtua dapat mencoba mengubah pola pikir anak.Coba ajak anak untuk mengunjungi panti asuhan. Biarkan anak melihat bahwa masih banyak anakanak yang kurang beruntung tidak memiliki ayah dan ibu. "Sehingga anak berpikir, saat ini ia masih beruntung memiliki satu orangtua yang bisa diandalkan.Namun, jika orangtua tidak bisa memberi pengertian, sebaiknya meminta bantuan orang ketiga,"tegasnya. Membangun Keluarga Efektif PERPISAHAN dengan anggota keluarga baik melalui perceraian maupun kematian adalah hal yang sulit, bagi orang dewasa dan anak. Terutama bagi anak, kehilangan orangtua dapat mengakibatkan gangguan dalam perkembangannya. Pakar ahli jiwa asal Amerika Serikat Dr Stephen Duncan, dalam tulisannya berjudul The Unique Strengths of Single-Parent Families mengungkapkan, pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga dengan orangtua tunggal adalah anak.Anak merasa kehilangan orang yang berarti dalam hidupnya. "Hasil riset menunjukkan bahwa anak di keluarga yang hanya memiliki orangtua tunggal, ratarata cenderung kurang mampu mengerjakan sesuatu dengan baik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga yang orangtuanya utuh," tuturnya. Menurut Duncan, keluarga dengan orangtua tunggal selalu terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Ia berpendapat,sebuah keluarga dengan orangtua tunggal sekuatan utuh. Asalkan, mereka tak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya. "Melainkan, harus secara sadar membangun kembali ke- sekuatan yang dimilikinya," katanya. Sementara, Stephen Atlas, pengarang buku Single Parenting menuliskan, jika keluarga dengan orangtua tunggal memiliki kemauan untuk bekerja membangun kekuatan yang dimilikinya, itu bisa membantu mereka untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seperti dikatakan Dr Archibald Hart dalam bukunya Children and Divorce, umumnya bukan momentum perceraian atau kematian yang menyakiti anak-anak, melainkan konflik yang mengikutinya atau berkurangnya peran ayah dan ibu sebagai orangtua pada kehidupan anak-anak. Duncan menegaskan, beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari upaya itu bagi orangtua maupun anak-anaknya. "Dengan begitu, sebenarnya bukan sebuah halangan bagi wanita yang menjadi single parent untuk mendidik dan memelihara keluarganya," katanya. Menyediakan Waktu Bersama MENJADI orangtua tunggal bukanlah tugas mudah. Sering kali orangtua tunggal dituntut harus bekerja ekstra keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Di sisi lain, orangtua tunggal seharusnya tetap menyediakan waktu bersama dengan anakanaknya. Menurut psikolog dari Alfred I duPont Hospital for Children Wilmington Colleen Sherman PhD, terutama pada waktu-waktu khusus anak meminta perhatian lebih untuk bersama orangtuanya seperti saat liburan sekolah. Saat anak di rumah tanpa ada orangtua di sisinya. "Meskipun anak bisa mengerti alasan orangtuanya harus bekerja,sesekali sulit untuk menerima jawaban orangtuanya yang mengatakan 'jangan sekarang, ayah atau ibu harus bekerja'. Terutama pada saat anak ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan seperti saat liburan," ujar Colleen. Salah satu cara yang dapat dilakukan agar orangtua dan anak dapat bertemu ialah mengadakan pertemuan keluarga. Dalam pertemuan tersebut, semua anggota keluarga diberi kesempatan untuk membicarakan kegiatannya di kantor atau sekolah. Selain itu, di dalam pertemuan tersebut dapat dibicarakan juga mengenai kegiatan wajib masing-masing anggota keluarga yang dilakukan di rumah. "Selain itu,dapat juga diusahakan waktu untuk lebih banyak berkumpul bersama. Misalnya, makan malam bersama, orangtua dapat meminta anak membantu memasak. Atau,jadwalkan orangtua untuk bermain games atau menonton film bersama pada malam hari atau akhir pekan," ujar Colleen. Hal senada diungkapkan psikolog Irma Gustiana Andriani. Ia menekankan agar orangtua tunggal lebih komunikatif kepada anak-anak. Minta anak untuk mengungkapkan perasaannya, baik itu perasaan positif atau negatif. "Orangtua tunggal bukan berarti hubungan dengan anak tidak harmonis lagi. Bahkan, untuk orangtua yang sendiri,harus berusaha menjaga kehangatan di dalam keluarga. Yang dirasakan anak ketika orangtuanya masih lengkap, tidak boleh hilang ketika ia bersama orangtua tunggal,"ungkap Irma. Selain anak yang bercerita kepada orangtua, sebaliknya orangtua juga dapat menceritakan kepada anak apa yang tengah dihadapinya.Tentu dengan gaya bahasa yang mudah dipahami anak, sesuai tingkat usianya. Jadikan anak sahabat agar masing-masing pihak mampu memahami situasi. Satu hal yang ditekankan Irma agar dihindari terutama pasangan suami-istri yang bercerai ialah menggunakan anak sebagai media komunikasi. Artinya, anak menjadi objek pelampiasan kekesalan kedua orangtua. Seharusnya, anak tidak perlu dilibatkan. Cari orang lain yang bisa menjadi media komunikasi. "Selain itu, jangan menjelek- jelekkan mantan pasangan di depan anak. Hal ini bisa berakibat jangka panjang pada anak. Misalnya, anak jadi memiliki pola pikir negatif terhadap lawan jenis," sebut Irma. (ririn sjafriani)
<<image001.jpg>>
<<image002.jpg>>