Masalah Izin Rumah Ibadah
(oleh Salahuddin Wahid, Ketua Majelis Pengurus Pusat (MPP) Ikatan 
Cendekiawan Muslim se-Indonesia / ICMI )
Republika, Opini, 25 Oktober 2005


Beberapa waktu lalu, di Jawa Barat, terjadi banyak penutupan ''rumah 
ibadah''. Yaitu rumah tinggal yang dipergunakan sebagai ''gereja''. 
Tetapi ada juga perusakan terhadap sebuah gereja yang sesungguhnya 
di Semarang, yang tentu punya izin. Tidak heran kalau banyak kecaman 
terhadap aksi tersebut. Gus Dur, karena jengkelnya, mengecam Front 
Pembela Islam (FPI) yang dianggap bertanggung jawab. Dan FPI 
langsung membantah tuduhan itu.

Untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, saya meminta 
beberapa kawan untuk mengunjungi beberapa lokasi tempat kejadian itu 
di Purwakarta dan Bandung. Fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa 
aksi penutupan itu adalah prakarsa warga setempat yang lalu 
menghubungi Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP). Yang ditutup itu 
adalah rumah tinggal yang digunakan sebagai gereja tanpa izin.

Banyak tokoh membuat tulisan atau pernyataan yang menyalahkan aksi 
penutupan itu dan meminta Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri 
tentang Izin Mendirikan Rumah Ibadah di cabut. Gus Dur menyatakan 
bahwa SKB itu ialah akal-akalan untuk menghalangi pendirian gereja. 
Yang lain menyatakan bahwa SKB Dua Menteri itu bertentangan dengan 
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E. 
Karena itu harus segera dicabut atau dibatalkan.

Tampaknya Pemerintah tidak akan mencabut SKB itu tetapi 
menyempurnakannya.Peraturan bersama dua menteri itu antara lain akan 
mengatur semacam forum antar pemuka umat beragama yang akan 
memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam masalah 
pemberian izin rumah ibadah.



Kasus Jatimulya
Awal Oktober 2005 saya bertemu dengan Pendeta Anna dari Gereja 
Kristen Indonesia (Gekindo) dan beberapa pendeta lain dari Huria 
Kristen Batak Protestan (HKBP)yang menyampaikan permasalahan yang 
mereka hadapi yaitu aksi penutupan rumah tinggal yang dipergunakan 
untuk gereja, yang terletak di RW 11, Desa Jatimulya, Kecamatan 
Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

Tanggal 9 Oktober 2005 saya mengutus kawan dari Pergerakan Mahasiswa 
Islam Indonesia (PMII) untuk mencari fakta di tempat kejadian. Kawan 
itu menyaksikan jema'ah gereja melakukan kebaktian di jalan 
dekat "gereja" yang telah ditutup jalan menuju ke situ, sehingga 
mereka tidak bisa masuk kedalam ''gereja''. Kebaktian itu 
mendapatkan protes dari warga setempat yang merasa terganggu.
Kejadian semacam itu telah berlangsung sejak 11 September 2005 lalu.

Apa yang terjadi itu telah menjadi berita di koran Sinar Harapan dan 
Suara Pembaruan dan juga diliput oleh TV. Beberapa tokoh menyatakan 
bahwa tindakan menutup gereja itu melanggar hak umat Kristiani untuk 
beribadah yang bertentangan dengan UUD dan berpotensi menggoyahkan 
sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hari Minggu, 23 Oktober 2005 sore, saya meninjau lokasi dan sempat 
berdialog dengan warga di mushalla. Antara lain dengan ketua RW 11 
dan wakilnya serta ketua RT 18. Saya melihat bahwa ''gereja'' itu 
adalah beberapa rumah tinggal kecil di jalan selebar kira-kira lima 
meter. Salah satu rumah tengah dibangun bertingkat. Pembangunan itu 
yang kemudian diketahui oleh warga untuk dijadikan gereja telah 
memicu warga untuk menutup ''gereja'' itu. Di seberang jalan gereja
itu berdiri sebuah masjid lengkap dengan sekolah Islam. Dari dialog 
itu saya mendapat informasi bahwa permohonan mendirikan gereja telah 
ditolak oleh Pemda dengan alasan mendapatkan penolakan dari warga 
setempat. Menjawab pertanyaan saya, ketua RW 11 menjelaskan di 
Jatimulya ada delapan RW dengan 1.200 keluarga, sekitar 80 kepala 
keluarga (KK) beragama Kristen.

Saya jelaskan bahwa di Bali, di mana umat Islam menjadi minoritas, 
dibutuhkan minimal 40 keluarga Muslim untuk mendirikan sebuah 
masjid. Ada yang harus menempuh tujuh kilometer untuk menuju masjid. 
Saya bertanya apakah 80 keluarga Kristen itu tidak berhak mendirikan 
gereja di sekitar Jatimulya, bukan di lokasi sekarang yang menurut 
saya memang tidak tepat? Mereka menjawab bahwa tidak jauh dari 
Jatimulya --sekitar satu kilometer, tetapi di desa lain-- ada 
gereja. Juga ada gereja lain di Desa Jatimulya, tetapi sedikit lebih 
jauh. Warga tidak melarang mereka beribadah, tetapi dipersilakan 
untuk beribadah di gereja yang disebutkan di atas. Ketua RW juga 
menjelaskan bahwa umat Kristen yang tinggal di Jatimulya kebanyakan 
tidak ke gereja di situ, dan jema'ah yang ke gereja di situ
kebanyakan berasal dari luar Jatimulya.

Masalahnya, di kalangan Kristen terdapat kelompok yang punya gereja
sendiri-sendiri. Mereka tidak terbiasa pergi ke sembarang gereja, 
tetapi ke gereja di mana mereka menjadi jema'at. Tidak seperti umat 
Islam yang pergi ke masjid mana saja. Karena itu akhirnya banyak 
berdiri gereja yang rasionya besar kalau dibandingkan jumlah 
penduduk.

Apakah keadaan ini tidak dapat diubah? Ketua Persekutuan Gereja-
gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Yewanggoe, menulis di Suara 
Pembaruan yang antara lain mengusulkan supaya berbagai kelompok itu 
bisa bergabung dan mendirikan gereja untuk dipakai bersama. Dia 
menjelaskan bahwa di Belanda ada keharusan seperti itu yang ternyata 
bisa dijalankan.


Bersama mencari solusi
Terakhir saya ingin mengulangi pernyataan para wakil masyarakat 
setempat bahwa tidak ada maksud mereka untuk melarang umat Kristen 
beribadah, tetapi mempersilahkan mereka beribadah di gereja yang 
sudah ada --yang tidak terlalu jauh letaknya. Mereka merasa sedih 
dituduh bertindak anarkis dan mungkin menyebabkan keutuhan NKRI 
terganggu, apalagi tuduhan itu datang dari tokoh Islam.

Rumah tinggal yang dipakai menjadi gereja itu ditutup secara resmi 
oleh Pemda. Kegiatan kebaktian di jalan telah berlangsung lama dan 
suasananya sudah semakin panas. Kalau ini terus berlangsung, 
dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Mudah 
sekali bagi pihak yang tidak bertangung jawab untuk memanfaatkan 
situasi. Diharapkan semua pihak bisa menahan diri dan bersikap
waspada.

Pemda dan pihak aparat keamanan seyogyanya mengantisipasi 
kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Akan lebih baik apabila 
anggota DPR dan para tokoh yang berkomentar di media tentang kasus 
Jatimulya menyempatkan diri untuk meninjau secara langsung ke lokasi 
dan lalu mencari solusi bersama-sama dengan Pemda, aparat keamanan 
dan semua pihak yang terkait, termasuk Komnas HAM.

Saya yakin akan bisa diperoleh solusi yang baik kalau semua pihak 
mau berdialog dengan hati lapang dan tidak emosional. Kalau di 
Jatimulya kita bisa memperoleh solusi yang baik, Insya Allah di 
tempat lain juga tidak akan terlalu sulit.







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke