MEDIA INDONESIA
Senin, 04 Juli 2005

Wacana Rotasi Panglima TNI
Aris Santoso, pengamat TNI


BARU-BARU ini Panglima TNI Jenderal E Sutarto mengintroduksi sendiri, tentang 
kemungkinan pergantian Panglima TNI, sebagai pengganti dirinya. Pada kesempatan 
yang sama, Jenderal Sutarto juga merilis pernyataan, bahwa ia tidak setuju bila 
jabatan Panglima TNI diisi secara bergiliran (rotasi) dari ketiga kepala staf 
yang ada.

Meski kita tidak tahu pasti, kapan persisnya pergantian Panglima TNI itu 
terjadi, cepat atau lambat, pergantian pasti akan terjadi juga. Sekadar 
perkiraan waktu, setidaknya pada Hari TNI mendatang, kita telah melihat 
Panglima TNI yang baru.

Dua isu yang dirilis Panglima TNI tersebut, yakni soal pergantian Panglima TNI 
dan wacana rotasi, menarik untuk dibahas. Pergantian Panglima TNI kali ini 
memiliki arti tersendiri, karena merupakan pergantian pertama pascadisahkannya 
UU No 34/2004 (lebih populer sebagai UU TNI).
Calon panglima TNI

Sebagaimana diketahui, merujuk pada UU TNI tersebut, bahwa calon Panglima TNI 
akan direkrut dari pati yang pernah menjabat kepala staf. Ketentuan ini semakin 
meningkatkan posisi strategis kepala staf, karena salah satu di antara KSAU, 
KSAL, dan KSAD yang sekarang, kelak akan menjadi Panglima TNI periode 
berikutnya. Ditambah mantan KSAD yang masih berstatus perwira aktif, yaitu 
Jenderal Ryamizard.

Ketentuan ini merupakan langkah maju. Dengan cara seperti itu, maka pihak 
pemerintah dan DPR, termasuk publik, memiliki gambaran siapa kira-kira calon 
Panglima TNI berikutnya. Tidak seperti di masa Orde Baru, berkat kekuasaan yang 
tanpa batas, Presiden Soeharto bisa menunjuk seorang Panglima TNI, dengan 
argumentasi yang sebenarnya tidak logis. Misalnya mengangkat Jenderal M Yusuf 
(1978) sebagai Pangab (kini Panglima TNI), padahal M Yusuf sudah belasan tahun 
tidak berdinas aktif sebagai militer.

Pertanyaan utamanya kini, siapa yang kelak akan menggantikan Jenderal E Sutarto 
sebagai Panglima TNI? Tampaknya lagi-lagi 'arah angin' kembali menuju ke matra 
darat, dan itu maksudnya adalah KSAD Jenderal Djoko Santoso.

Untuk menjelaskan bagaimana prosesnya, hingga akhirnya mengarah ke satu nama 
(Jenderal Djoko Santoso), memang agak rumit. Sebenarnya karier perwira adalah 
sebuah misteri. Kalau sudah proyeksi untuk pos Panglima TNI dan kepala staf, 
faktor nasib baik dan politis, acap kali ikut menentukan. Karena kalau 
ukurannya kualitas dan kepandaian, tentu semua kepala staf sudah mumpuni. Dan 
kita tak perlu ragu soal itu.

Sudah menjadi pengetahuan umum, kalau Djoko Santoso memiliki kedekatan khusus 
dengan Presiden SBY (Media Indonesia, 28/6). Faktor kedekatan inilah yang bisa 
dikategorikan 'nasib baik' dan modal politis bagi Jenderal Djoko Santoso, untuk 
promosi pada pos yang lebih tinggi.

Tentu riskan bagi Presiden SBY untuk memilih perwira yang tidak satu 
'frekuensi' dengannya. Terlebih untuk posisi sestrategis Panglima TNI, SBY 
harus benar-benar yakin pada figur yang dipilihnya. Oleh karena itu, pilihannya 
jatuh pada Djoko Santoso. Pendeknya, Djoko Santoso adalah alter ego dari SBY.

Kalau arahnya kembali ke matra darat, bagaimana tentang peluang mantan KSAD 
Jenderal Ryamizard? Dengan sempat ditempatkan sebagai pati non job (tanpa 
jabatan), menjadikan peluangnya mengecil. Kita baru paham kini, bahwa 
penempatan Ryamizard sebagai pati tanpa jabatan tempo hari, memang modus untuk 
menutup peluangnya sebagai Panglima TNI.

Mengingat pengalaman selama ini, untuk pos Panglima TNI dan kepala staf, tidak 
pernah diambil dari pati tanpa jabatan. Harus diambil dari perwira dengan 
jabatan pasti, sehingga ketika ditempatkan pada posisi baru, adaptasinya tidak 
terlampau lama.

Alasan politis lain soal posisi matra darat. Walau bagaimanapun posisi matra 
darat masih dominan ketimbang matra lain. Ini yang membuat matra lain masih 
harus bersabar. Kesempatan itu kelak akan datang juga, sembari mengupayakan 
adanya perubahan cara pandang di tingkat makro. Semisal, cara pandang dalam 
aspek kepemimpinan, bahwa pada dasarnya semua kepala staf adalah setara. 
Demikian juga bila dikaitkan dengan aspek strategi pertahanan.
Wacana rotasi

Bila benar posisi Panglima TNI kelak akan diambil dari matra darat (KSAD), 
bukan berarti semangat rotasi Panglima TNI menjadi surut. Justru di masa 
transisi ini, wacana itu perlu terus digulirkan, sebagai masukan untuk pimpinan 
yang akan datang. Bahkan Panglima TNI Jenderal Sutarto sampai perlu 
menyempatkan diri, menyampaikan pendapatnya soal ini, yang intinya Jenderal 
Sutarto tidak setuju bila posisi Panglima TNI diberikan secara bergilir. 
Jenderal Sutarto menambahkan, yang dibutuhkan adalah figur yang tepat, dan 
karena itu tidak harus bergilir.

Mengingat UU TNI sendiri tidak secara tegas mengatur soal rotasi ini, maka 
sebenarnya perdebatan tentang rotasi ini masih terbuka. Bila ada aspirasi yang 
menghendaki adanya rotasi bagi jabatan Panglima TNI, agar keseteraan 
antarangkatan merupakan sebuah realitas, bukan sekadar konsep. Tersedia 
argumentasi untuk mendukung aspirasi itu.

Salah satunya bersandar pada asumsi (pepatah) nobody perfect. Bila seseorang 
telah menjadi kepala staf, apa pun matranya--tentu perwira dimaksud merupakan 
pilihan terbaik. Kalau bukan figur yang berkualitas, bagaimana mungkin ia bisa 
menjadi kepala staf. Dengan kata lain, kekurangan atau kelebihan antarkepala 
staf menjadi sangat relatif, bahkan mungkin tidak ada. Secara umum, kemampuan 
seorang kepala staf di atas rata-rata, baik aspek teknis, staf umum, 
intelektual, wawasan, dan (utamanya) kepemimpinan.

Konkretnya, adakah peluang bagi seorang KSAU menjadi Panglima TNI kelak, 
mengingat matra udara belum pernah mendapat giliran sebagai Panglima TNI. Ada 
cukup alasan logis untuk mendukung KSAU sebagai Panglima TNI, yang semata-mata 
bukan faktor giliran belaka.

Pertama adalah soal apresiasi terhadap iptek. Kita tahu TNI-AU adalah matra 
yang paling sarat teknologi. Secara umum, alutsita (alat utama sistem 
persenjataan) AU lebih canggih ketimbang angkatan lain. Dan untuk menangani 
alutsita semacam itu, diperlukan SDM dan infrastruktur yang memadai pula. Tentu 
akan lebih baik, bila pertimbangan untuk menjadi Panglima TNI, bukan 
berdasarkan alasan politis belaka, melainkan ada pertimbangan berwawasan 
teknologi. Iptek ialah pencerahan untuk masa depan, terlebih bagi bangsa kita 
yang masih banyak tertinggal ini.

Alasan kedua ialah berhubungan dengan strategi pertahanan masa depan. 
Sebenarnya kita pun sadar, bahwa sistem pertahanan atau perang masa depan, 
lebih bertumpu pada kecanggihan teknologi. Karena itu, kekuatan matra udara 
harus optimal. Pandangan selama ini, di mana kemungkinan ancaman selalu berasal 
dari dalam negeri, yang menjadikan matra darat lebih dominan, kelak akan jadi 
asumsi usang.

Demikian juga bila seandainya KSAL yang menjadi kandidat Panglima TNI. Selain 
berdasarkan alasan yang sama dengan matra udara, yakni aspek teknologi dan 
strategi pertahanan jangka panjang. Ada aspek lain dari matra laut, yakni latar 
belakang kultural. TNI-AL bisa dianggap sebagai personifikasi tradisi maritim, 
yang sangat mengakar pada bangsa kita. Aspek kultural TNI-AL ini bisa menjadi 
penyeimbang bagi TNI-AD, sebagai personifikasi tradisi agraris.

Bagaimana kira-kira respons matra darat, seandainya nanti benar-benar akan 
muncul Panglima TNI yang berasal dari matra lain. Kiranya mereka bisa berbesar 
hati, untuk menerima kepemimpinan ini, berdasarkan pertimbangan aspek strategi 
pertahanan jangka panjang. Juga untuk kepentingan citra TNI sendiri. Bila matra 
dalam TNI bersedia dipimpin oleh matra yang lain, akan menunjukkan TNI itu 
solid.***

[Non-text portions of this message have been removed]



Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke