Islam membenci tirani dan kekuasaan yang dijalankan
dengan cara diktator dan 'tangan besi'. Karenanya itu, pilihlah pemimpin Anda
mendatang yang berboptensial 'tangan besi' dan tirani
Da'wah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam selalu menentang tirani.
Karena keadilan adalah musuh semua tirani. Sedangkan inti syari'at Islam
adalah keadilan maka semua penguasa tiranik pasti akan membenci tegaknya
ajaran ini di bumi yang diinjaknya. Dengarlah diantara ucapan Uthbah bin
Rabi'ah, seorang utusan kafir Quraisy kepada Rasulullah Saw:
".. kalau dengan da'wah yang Anda lakukan itu anda
menginginkan kedudukan raja, kami bersedia menobatkan anda menjadi raja kami
.." (HR Ibnu Ishaq).
Ini adalah tawaran yang sangat cerdik, sebab jika saja Rasulullah Saw mau
mengambil kekuasaan dengan meninggalkan da'wah, maka pastilah ia akan
memerintah dengan kezhaliman. Kenyataannya Rasulullah Saw tidak mengincar
kedudukan itu. Bahkan posisi keduniaan orang-orang yang diseru da'wah
Muhammad Saw sesungguhnya tidak akan diganggu gugat sama sekali jika saja
mereka mau menjalankannya di atas jalan syari'at Allah.
Itulah ungkapan yang beliau tulis kepada Heraklius, Kaisar Romawi yang
dikirimi surat da'wah dari Rasulullah Saw.
Orang-orang kafir Quraisy Makkah sangat memahami jika iklim kebebasan mereka
buka selebar-lebarnya maka da'wah Islam akan mengancam kepentingan dan
kedudukan mereka. Oleh karena itu mereka pun melakukan tindakan-tindakan
terror kepada kaum muslimin dengan alasan yang dicari-cari untuk menutup
ruang interaksi dan simapati manusia dengan kaum muslimin.
Maka konflik di bawah permukaan sebenarnya terjadi diantara tokoh-tokoh
jahiliyah yang "radikal" semodel Abu Jahal, Abu Lahab, Uthbah bin
Rabi'ah, dan lain-lain dengan tokoh-tokoh jahiliyah yang "moderat"
dan "demokratis" semodel Abu Thalib, Muth'am bin Ady, Hisyam bin
Amir, dan lain-lain. Muth'am bin Ady memberikan perlindungan kepada Muhammad
Saw tatkala sepulang dari da'wah ke Thaif orang-orang kafir Quraisy menolak
beliau untuk dapat masuk kota Makkah.
Hisyam bin Amir adalah orang pertama yang merasa prihatin dengan tiga tahun
pemboikotan kepada kaum Muslimin dan Bani Muthalib.
Ketika Rasulullah Saw merasa harus mencarikan tempat perlindungan bagi kaum
muslimin dari tindakan terror orang-orang kafir Makkah beliau berfikir
tentang wilayah Habasyah, bukannya Romawi atau negeri lainnya.
Bukan sekadar wilayah ini lebih dekat dengan Makkah tetapi juga iklim politik
negeri itu yang lebih kondusif bagi da'wah Islam. Terkait dengan Habasyah,
Rasulullah SAW berkata :
"Alangkah baiknya jika kamu dapat
berhijrah ke negeri Habasyah, karena disana terdapat seorang raja yang adil
sekali. Di bawah kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya
.."
Kaum kafir Quraisy segera mengirim Abdullah bin Abi Rabi'ah dan Amr bin Ash
(sebelum masuk Islam) untuk mempengaruhi pemikiran moderat Najasyi, raja
Habasyah yang disebut-sebut Nabi Saw. Tetapi, walaupun berbekal
bermacam-macam hadiah, utusan itu tak berhasil mengubah sikap Najasy.
Negara Egaliter vs Negara Otoriter
Kekuasaan yang baru muncul dan tumbuh berkembang di Jazirah Arabia sangat
menggentarkan negara-negara lain di sekitarnya.
Bukan karena jumlah tentara kaum Muslimin yang besar, tetapi budaya
egalitarian yang hidup di kalangan mereka merupakan ancaman serius bagi
kelangsungan negara-negara tiranik di sekitarnya.
Akhlaq Muhammad Saw dan pengikutnya tersebar kemana-mana dan menghembuskan
angin harapan bagi masyarakat-masyarakat tertindas di wilayah kekuasaan
Romawi dan Persia. Itulah sebabnya konspirasi
timbul untuk menghentikan da'wah Islam. Perang Mu'tah dan Perang Tabuk
terjadi dalam menghadapi negara pimpinan Kaisar Heraklius itu. Sedangkan
Kaisar Persia pernah mencoba melakukan
pembunuhan politik kepada diri Nabi Muhammad Saw melalui antek-anteknya dari
Yaman.
Tetapi usaha untuk menghentikan laju da'wah Islam itu tidak berhasil bahkan
sedikit demi sedikit wilayah-wilayah kedua negara itu jatuh ke tangan kaum
Muslimin.
Bayangkan, betapa tidak tergetar para penguasa Romawi di wilayah Mesir
tatkala mendengar salah seorang mata-mata mereka menuturkan laporan
intelijennya perihal keadaan kaum Muslimin yang menjadi musuh mereka : "Kami
menyaksikan suatu kaum yang cinta mati. Keramahannya mengimbangi
keangkuhannya. Duduknya bersila di tanah. Pihak atasan tidak berbeda dengan
pihak bawahan. Mereka tidak mengenal perbedaan antara mulia dengan hina, dan
antara tuan dengan sahaya. Bila datang waktu kebaktian (shalat) maka tidak
seorang pun yang tidak mengerjakannya .."
Ketika akhirnya tiba perutusan kaum Muslimin kepada mereka tokoh yang
memimpin mereka adalah Ubadah bin Shamit, seorang Negro berperawakan tinggi
besar dengan kulit hitam legam. Maokakis, pembesar Mesir, menolak Ubadah,
tetapi anggota perutusan yang lain berkata :
"Tokoh hitam ini adalah pemuka kami,
termulia di lingkungan kami, pemimpin perutusan ini, ditunjuk dan diangkat
oleh panglima kami. Kami menghargai ilmunya dan buah pikirannya. Apa yang
dikatakannya adalah pendirian kami semua."
Melawan Otoritarianisme Bangsa Sendiri
Tetapi, suatu hal yang harus dicatat adalah syari'at Islam juga tidak dapat
diterapkan dalam lingkungan tiranik yang diciptakan oleh kekuasaan kaum
Muslimin sendiri. Terjadinya suatu jarak antara kaum Muslimin dengan syari'at
Islam adalah sebuah keniscayaan, bahkan hal ini menjadi kerisauan tersendiri
bagi Rasulullah Saw tatkala memikirkan masa depan ummatnya.
Beliau bersabda : "Tiada
seorang penguasa yang mengemban amanat Allah berupa rakyat kecil, kemudian ia
mati di tengah-tengah rakyat yang ditipu olehnya, kecuali Allah mengharamkan
sorga baginya." (HR Bukhari dan Muslim)
Para khalifah yang bijaksana senantiasa mengevaluasi posisi dirinya karena
khawatir termasuk ke dalam golongan yang diancamkan Nabi Saw. Sebab, boleh
jadi seorang penguasa yang secara formal tercatat berposisi sebagai pihak
yang seharusnya menjadi penegak syari'at Islam, dalam kenyataannya justru
menjadi musuh bagi tegaknya keadilan Islam itu sendiri.
Khalifah Umar bin Khattab Radhiallaahu 'anhu suatu hari berkata kepada para sahabatnya : "Demi
Allah, aku tidak tahu apakah aku ini khalifah atau seorang raja? Andaikan aku
ternyata adalah seorang raja, tentu hal ini merupakan masalah yang besar
(bagi diriku)."
Diantara para sahabatnya ada yang menjawab: "Wahai
Amirul Mu'minin, tentu diantara keduanya terdapat perbedaan. Seorang khalifah
tidak mengambil kecuali yang benar dan tidak meletakkan kecuali pada yang
benar. Dengan puji Allah, begitulah keadaan engkau. Sedang seorang raja suka
menindas manusia. Ia mengambil dan memberi kepada orang semaunya."
Umar bin Khattab hanya diam mendengar hal ini, kemudian ia bertanya kepada
Salman: "Khalifah atau rajakah aku ini ?" Salman al Farisi Ra menjawab: "Apabila
engkau mengambil secara paksa satu dirham, atau kurang dari itu dari bumi
orang-orang Islam, kemudian engkau letakkan bukan pada tempatnya, maka engkau
adalah seorang raja, bukan khalifah!" (HR Ibn Saad)
Tetapi tidak semua pemimpin Islam memiliki sensitivitas setinggi Umar bin
Khattab Ra yang senantiasa mengontrol dirinya sendiri melalui muhasabah yang
diminta dari para sahabatnya. Tidak sedikit khalifah dalam sejarah Islam yang
menjadi lupa daratan karena bergelimang kekuasaan yang besar dan harta yang
begitu melimpah.
Dalam kondisi seperti ini harus ada pihak-pihak yang berlaku kritis kepada
para pemimpinnya. Tanpa adanya kontrol yang ketat dan seimbang, kekuasaan
akan senantiasa membawa kepada ketiranian. Para ulama dan pemangku da'wah
memiliki peranan yang sangat penting dalam terealisirnya syari'at Islam dalam
kehidupan nyata di negara-negara berpenguasa orang-orang muslim.
Tanpa daya kritik mereka, Syari'at Islam dapat terpuruk hanya menjadi sebuah
simbol semata-mata yang tidak ada artinya dan tidak membawa kemaslahatan bagi
ummat Islam, apalagi ummat manusia.
Dalam sebuah pertemuan di Istana Baghdad Al-Hasan bin Zaid, gubernur Madinah,
meminta seorang ulama saleh bernama Ibnu Abi Dzuaib yang ada di ruang
pertemuan itu untuk menilai Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur. "Apa yang engkau katakan tentang diriku?"
tanya khalifah Abbasiyah itu. "Engkau
bertanya kepadaku seakan-akan kamu tidak tahu tentang dirimu sendiri?"
Abi Dzuaib balik bertanya . "Demi Allah, engkaulah yang memberitahu
aku," kata Abu Ja'far menegaskan. Abu Dzuaib akhirnya
berkata, "Aku bersaksi engkau telah
mengambil harta benda dengan cara tidak benar, lalu engkau memberikannya
kepada orang yang tidak berhak atas harta itu. Aku juga bersaksi bahwa
kezaliman merajalela di pintu rumahku."
Mendengar hal itu Abu Ja'far bangkit dari tempat duduknya lalu memegang tengkuk
Ibnu Abi Dzuaib seraya berkata, "Demi
Allah, andai kata aku tidak sedang berdiam di tempat ini, tentu sudah kuambil
negeri Persia, Romawi dan
Turki dengan jaminan tengkukmu ini." Abi Dzuaib dengan tenang berkata, "Wahai Amirul Mukminin, Abu Bakar dan Umar
telah menjadi pemimpin. Mereka berdua melaksanakan kebenaran, berbuat dengan
adil, mencengkram tengkuk orang-orang Persia dan Romawi
serta dapat menonjok hidung mereka." Abu Ja'far melepaskan tangannya dari
tengkuk Ibnu Abi Dzuaib seraya berkata, "Demi
Allah, kalau bukan karena engkau orang yang jujur, tentu aku akan
membunuhmu." Abi Dzuaib berkata, "Demi Allah wahai Amirul Mukminin, aku memberi nasehat kepadamu
lantaran anakmu, Al Mahdi." (Diriwayatkan oleh Imam Asy
Syafi'iy)
Sultan Al Malikuz Zhahir yang berkedudukan di Damaskus sesudah bangsa Tartar
meninggalkan negeri itu menganggap hampir semua ladang-ladang di Syam adalah
milik pemerintah. Maka ia segera memerintahkan untuk memasang patok-patok
pembatas, melepaskan hak milik dan mengukuhkan sertifikat tanah-tanah itu
atas nama raja.
Akhirnya orang-orang datang kepada Syaikh An Nawawi di Darul Hadits
mengadukan persoalan mereka. Imam Nawawi kemudian menulis surat kepada Sultan yangisinya
menuntut Sultan untuk melepaskan tanah-tanah itu kepada rakyat agar tidak
terjadi bencana yang besar.
Membaca surat itu Al Malikuzh Zhahir murka
dan memerintahkan agar gaji syaikh itu dipotong dan kedudukannya diturunkan.
Tetapi para pejabat mengatakan An Nawawi tidak mendapat gaji dan tidak
mempunyai jabatan pemerintahan. Karena suratnya tak mendapat tanggapan An
Nawawi akhirnya mendatangi Sultan untuk berbicara secara langsung. Hampir
saja Sultan menyiksanya, tetapi kemudian Allah melunakan hatinya dan
tanah-tanah kemudian dikembalikan kepada rakyat.**
(Untung Wahono. Tulisan ini
diambil dari Majalah Hidayatullah
edisi bulan Januari 2003
|