fyi
Bacaan senggang
Negara
Kita Lebih Kapitalis
dari Negara Kapitalis
Publikasi: 23/08/2004 08:05 WIB
http://www.eramuslim.com/br/an/48/12648,1,v.html
eramuslim -
“Jika
sistemnya baik tapi manusianya tidak baik, maka manusia itu justru akan
mengubah sistem dalam pelaksanaannya. Sedangkan jika sistem
yang ada tidak baik tetapi faktor manusianya baik, maka si manusia itu yang
malah akan memperbaiki sistem.” Roeslan
Abdulgani, mantan menteri luar negeri RI tahun 1956-1959.
Putri kedua seorang teman yang tinggal di negara Selandia
Baru mengungkapkan keheranannya melihat saya yang masih muda (usia 17 tahun plus) asik ber-chatting ria dengan ibundanya
pada saat dia beserta saudaranya yang lain sedang asik menyaksikan Olympic
game yang sedang diselenggarakan di Yunani.
Dengan berat hati saya jawab pertanyaannya
bahwa tidak ada satupun stasiun TV Indonesia yang membeli hak siar olimpiade. Entah
apa yang dipikirkan bocah berusia 14 tahun itu ketika membaca
jawaban saya, kalauo tidak salah dia hanya menjawab ”ic”.
Adapun alasan mengapa stasiun TV kita tidak
membeli hak siar karena pertimbangan keuntungan. Menurut
mereka pemirsa Indonesia tidak menyenangi acara multievent, tapi menyenangi
acara single event seperti pertandingan sepak bola Euro 2004 yang lalu,
sehingga tujuan bisnis utama yaitu uang, tidak akan didapat bila harus membeli
hak siar acara multievent ini.
Praktisi pertelevisian kita adalah
contoh keadaan kita, betapa kita telah menjadi negara kapitalis
sejati, secara tidak sadar mungkin. Jika kita tengok
negara-negara yang aslinya memang kapitalis,
untuk urusan kepentingan mendidik anggota masyarakatnya mereka rela
mengeluarkan dana besar, seperti membeli hak siar
olimpiade dan mengirim beberapa wartawan peliput, walaupun negaranya tidak
menjagoi salah satu cabang olah
raga dalam event tersebut. Contohnya negara teman saya ini, saya lihat di koran negaranya belum mendapatkan perolehan medali satupun,
lebih beruntung kita yang
untuk sementara meraih medali emas, perak dan perunggu masing-masing 1 medali.
Mungkin pemerintah negara Selandia Baru berpikir, walaupun
tidak ada satupun warganya yang menjadi juara dunia, tapi dengan disiarkannya
pesta olahraga dunia itu akan menjadi suatu sarana
untuk menyemangati para warganya untuk meningkatkan prestasi. Contoh lain negara kapitalis yang
tidak membabi buta menerapkan prinsip sistem ekonominya adalah Jerman dan Swiss
yang menyelenggarakan pendidikan gratis
untuk semua jenjang pendidikan bagi
warganya.
Memang di setiap lini kita sedang
terpuruk, (mungkin) pembangunan SDM adalah yang paling terburuk di negara kita,
jangankan di dalam bidang olahraga dunia, dalam bidang pendidikan saja
masyarakat kita yang
buta huruf berjumlah 18,5 juta, jumlah ini sama dengan jumlah seluruh penduduk
Australia, anak putus sekolah berjumlah 6 juta, jumlah ini sama dengan setengah
jumlah penduduk Singapura, belum lagi dari segi kecerdasan akademik dengan
mengacu kepada NEM tahun 1989-1997 untuk tingkat SLTP nilai rata-rata secara
umum berkisar pada angka 3,85-4.95.
Dari segi prasarana fisik pendidikan,
puluhan atau mungkin ratusan bangunan gedung sekolah rusak berat, jika
diperbaiki semuanya akan menelan biaya 13 trilyun, jumlah itu sama dengan
besarnya anggaran pendidikan
nasional tahun 2002 yang sampai sekarang hanya berkisar 4.4 persen dari APBN. Pembangunan SDM kita lemah
karena di sini segala sesuatunya sudah dikomersilkan. Komersialisme adalah ciri praktek kapitalisme.
Yang mem-booming
di negara kita apa lagi kalau bukan industri yang bisa mendatangkan
keuntungan yang besar, tidak peduli apakah industri itu merusak tatanan
masyarakat dan lingkungan di masa depan. Industri hiburan dan
pertambangan adalah salah satu contoh praktek kapitalisme
sejati di negara kita.
Banyak remaja yang ingin meraup
rejeki dengan menjadi entertainer sejati bak meteor, maka dibuatlah acara-acara
untuk mengorbitkan mereka di industri ini. Acara ini
sekarang bagaikan jamur
di musim hujan karena apresiasi dan animo masyarakat tinggi sekali, lihat saja
pada grand final AFI II panitia menyediakan 3000 tiket yang berharga 200.000
per tiket terjual habis 4 hari sebelum acara digelar. Kita memang
memerlukan para penghibur tapi negara ini sangat memerlukan banyak orang pintar
untuk mengangkat keterpurukan kita di
segala bidang. Tapi ternyata
yang merasa negara kita sedang terpuruk hanyalah orang-orang marginal, yang hanya bisa
menjadi penonton segala parade pamer kekayaan yang digelar hampir di setiap
stasiun TV kita.
Di bidang industri pertambangan pun
kita menjadi kapitalis sejati. Demi kepentingan
ekonomi ekonomi jangka pendek, kita
korbankan hutan lindung penyerap CO2 untuk bisa ditambang. Juga pemberian izin membuang limbah logam berat ke laut kepada
pengusaha pertambangan telah berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
Seharusnya kita berkaca
pada tragedi yang menimpa Republik Nauru, negara di sebelah timur pulau Papua,
pada tahun 2000 mengalami kebangkrutan akibat kerakusan perusahaan pertambangan
fosfat. Keuntungan memang pernah
dinikmati negara berpenduduk 12 ribu jiwa itu dengan pendapatan perkapita mencapai
17 ribu dolar pada tahun 1981 dan tercatat sebagai salah satu negara terkaya di
dunia, tapi setelah itu mereka harus membayar mahal ulah sendiri, yaitu
kerusakan lingkungan. Mereka harus mengimpor air, makanan dan
juga berhutang. Praktek kapitalisme
sejatinya itulah yang mengantarkan Nauru pada kebangkrutan.
Seperti yang dikemukakan tokoh
pelaku sejarah di awal tulisan ini,
selain bergantung pada aspek sistem juga bergantung pada manusia sebagai
pelaku, tapi justru aspek manusia menjadi faktor yang menentukan. The man behind something
ternyata lebih penting.
Pemerintah kita masih
jauh panggang dari api untuk menjalankan amanat UUD
45. Pasal 33 ayat 2 dan 3 juga pasal-pasal lainnya telah
dilaksanakan tapi hanya rakyat dari pihak swasta dan birokrat yang
menikmatinya. Jadi suka tidak suka, walaupun kita gembar
gembor bahwa kita menganut sistem ekonomi kerakyatan tapi dalam prakteknya kita harus
mengakui bahwa kita adalah kapitalis sejati, negara kapitalis yang
berpraktek brutal melebihi negara-negara yang memang sudah aslinya kapitalis.
Iswanti