Hegemoni Jawa dalam Praksis Politik Indonesia

Judul: Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di
Indonesia; Penulis: Benedict R O'G Anderson;
Penerjemah: Revianto Budi Santoso; Penerbit: Mata
Bangsa, Yogyakarta, 2000; Tebal: (viii + 634) halaman;
Harga: Rp 45.000


------------------------------------

DALAM khazanah ilmu-ilmu sosial di Asia Tenggara
Profesor Benedict R O'G Anderson (Ben Anderson) adalah
ahli Indonesia (istilah akademisnya: Indonesianis)
yang karya-karyanya menjadi bacaan wajib bagi para
peneliti Indonesia.Pengaruh Ben Anderson sebanding
dengan George Mc Turnan Kahin, Clifford Geertz,
Herbert Feith, Lance Castle, Bernard Dahm, Denys
Lombard, James T Siegel, Dwight Y King, Daniel S Lev,
dan R William Liddle. Ini semua menunjukkan betapa
signifikan kedudukannya sebagai pembentuk wacana.

Ben Anderson, mengingat pendekatan empatinya, dikenal
sebagai ahli yang banyak menyoroti sisi subtil
kebudayaan Jawa dalam praksis politik Indonesia
modern. Indonesianis Cornell University AS, yang
puluhan tahun dicekal oleh penguasa Orde Baru karena
menulis Cornell Paper ini adalah ilmuwan (pekerja
keras) yang tekun. Tak heran bila karya akademiknya
bermutu tinggi.

Beberapa karyanya, mengenai kecenderungan politik
Indonesia sejak Orde Lama hingga Orde Baru, yang
mengantarkannya mencapai status klasik sebagai
Indonesianis, antara lain A Preliminary Analysis of
the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971), Java in
the Time of Revolutions (1972), Imajined Communities:
Reflections on the Origin and Spread of Nationalism
(1983), Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia (1990), dan The Spectre of
Comparisons: Nationalism, Southeast Asia, and the
World (1998).


***
LANGUAGE and Power: Exploring Political Cultures in
Indonesia merupakan kumpulan esai Ben Anderson
sepanjang tahun 1966-1985. Edisi Indonesia buku ini
dipublikasikan oleh penerbit Mata Bangsa dengan judul
Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia
(2000), terdiri dari delapan bab dan dirinci dalam
tiga bagian. 

Tiga bab bagian pertama mendiskusikan isu-isu
kekuasaan Jawa. Tiga bab bagian kedua mengelaborasi
hubungan politik dengan bahasa Indonesia. Dua bab
bagian akhir mengulas sejarah mentalitas cendekiawan
Jawa akhir abad ke-18 hingga dasa warsa pertama abad
ke-20.

Menurut Ben Anderson, bahasa Indonesia telah
kehilangan etos kerakyatan alias menjadi sangat
elitis. Bahasa kebangsaan ini terperosok dalam imaji
priayi Jawa tentang politik yang bergelimang
aling-aling, ethok-ethok, dan topeng. Bahasa Indonesia
mengalami kramanisasi-penekanan terpadu pada prinsip
kehalusan. Bahasa dipakai tidak langsung ke masalah,
dan, ditopang praktik yang menghargai
ketidakterusterangan.

Itulah tesisnya pada bab IV buku ini Bahasa-bahasa
Politik Indonesia (The Language of Indonesia Politics)
dan bab V Kartun dan Monumen Evolusi Komunikasi
Politik di Bawah Orde Baru (Cartoons and Monuments:
The Evolution of Political Communication Under the New
Order).

Tesis Ben Anderson, sebagaimana buah pemikirannya yang
lain, mempunyai bobot argumen yang kukuh. Harus
diakui, dalam bahasa Indonesia memang terdapat
perbendaharaan kata yang halus dan berderajat tinggi.
Misalnya tunawisma, pariwisata, swasembada,
saptamarga, masa bakti, purna tugas, dan sebagainya.

Masalahnya adalah, sankritisasi, penghalusan, dan
kecenderungan bahasa topeng, yang merambah bahasa
Indonesia, cukup memadai buat menyimpulkan bahasa
nasional itu mengalami kramanisasi? Benarkah anggapan
bahwa Indonesia semakin menjadi kerangka dengan daging
yang semakin Jawa?

Pengkajian seksama atas perkembangan pemakaian bahasa
Indonesia, sebagaimana dikerjakan Mochtar Pabottingi
(Prisma, No 2, 1991), justru menghasilkan gugatan atas
tesis Ben Anderson. Analisis Ben Anderson tersungkup
dalam modalitas bahasa priayi. Setali tiga uang dengan
analisisnya tentang kekuasaan Jawa yang terperangkap
ideologi priayi.

Justru di kalangan masyarakat menengah, kelompok
sosial yang diduga menjadi tempat berkecamuknya
kramanisasi, tesis Anderson mendapat sanggahan. 

Pertama, praktik berbahasa yang menghargai
ketidakterusterangan umumnya tidak berlaku (dinafikan)
kalangan sastrawan. Ambil contoh karya-karya Chairil
Anwar, Armijn Pane, Achdiat Kartamihardja, Taufik
Ismail, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, NH Dini,
Sutardji Calzoum Bachri, Gerson Poyk, Titis Basino,
Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Ayu Utami, Joni Aryadinata,
Agus Noor, dan Indra Tranggono.

Putu Wijaya, guna mengefektifkan teror mental terhadap
khalayak malah menggunakan perbendaharaan kata tanpa
tedeng aling-aling seperti menyembelih, menggorok,
coro, menyetubuhi, megap-megap, bangsat, bunting,
gombal, dan bajingan. Penulis lakon teater itu rupanya
merasa jengah dengan gaya hidup Jawa yang nguler
kambang alias alon-alon waton kelakon.

Kedua, bahasa bergincu juga tidak berlaku di
lingkungan cendekiawan. Tulisan-tulisan Sartono
Kartodirdjo, Sutandyo Wignyosubroto, Ignas Kleden,
Kuntowijoyo, Mochtar Pabottingi, Syamsuddin Haris,
Onghokham, YB Mangunwijaya, Kwik Kian Gie, Wahono
Nitiprawiro, Azyumardi Azra, Arief Budiman, Ariel
Heryanto, bahkan Lukman Ali pakar bahasa, semua
merepresentasi bahasa rakyat. Idiom-idiom mereka
cenderung membongkar budaya adiluhung yang tak jarang
jadi kedok praktik hegemoni dan dominasi para elite
politik.

Ketiga, modus bahasa tidak terus terang juga dikuliti
oleh kalangan agamawan. Tokoh-tokoh puritan sangat
terlatih membongkar borok-borok kehidupan
sosial-politik. Dengan wacana ex-negativo (membeberkan
aib) untuk kemudian mengarahkan kehidupan ke jalan
mulia, para pemuka agama, seperti KH Zainuddin MZ, dan
KH Alawy Muhammad dari Sampang Madura, misalnya,
memperoleh tempat terhormat di hati umat.

Ben Anderson sendiri, dalam Bab VI, Sembah-Sumpah:
Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa (Courtesy and
Curses: The Politics of Language and Javanese
Culture), mengakui adanya konsistensi semangat
berbahasa egaliter di kalangan Muslim Jawa. 

Ia menyatakan bahwa di kalangan Islam Jawa ada
insulasi yang menyelamatkan praktik bahasa dari
kramanisasi (baca: pengkastaan masyarakat). Insulasi
ini terbukti kemudian tidak hanya ditemukan dalam
Islam Jawa melainkan pada mayoritas Muslim Indonesia.
Bahkan ditemukan dalam komunitas agama-agama lain yang
persepsi religinya kuat dan mati hidupnya tidak
tergantung birokrasi.

Masih ditambah satu kelompok lagi, yakni bahasa kaum
muda, yang bentuk ekstremnya ditampilkan bahasa prokem
(Jakarta), dan basa walikan (Yogyakarta dan Malang).
Bahasa ini jelas-jelas anti unggah-ungguh, menerjang
gradasi. Ekspresi kebahasaan mereka dijiwai semangat
bebas, nakal, dan jorok-tempat segala otoritas
membelenggu, apalagai korup disingkirkan.

Praktik bahasa terbuka dan tidak berjenjang pada
keempat kelompok sosial di atas jelas menggambarkan
semangat berbahasa berbagai kalangan non-birokrasi.
Kelompok-kelompok sosial itu, dengan berbagai caranya
sendiri, terus menerus menghidup-hidupi (ngampakake
dayaning urip) bahasa Indonesia. Ujung-ujungnya tidak
akan muncul masalah kata ganti (seperti kowe,
sampeyan, panjenengan, dan ngarsa dalem) yang secara
khusus menjadi distingsi bahasa Jawa.


***
APA relevansi buku, yang ditulis ilmuwan berkebangsaan
Irlandia kelahiran Cina, dibesarkan di Inggris dan
Amerika, berbicara dengan aksen Inggris kuno, tetap
memegang paspor Irlandia, tinggal di Amerika, dan
membantikan hidup sepenuhnya untuk Asia Tenggara?

Ben Anderson, melalui bab I buku ini Gagasan tentang
Kekuasaan dalam Budaya Jawa (The Idea of Power in
Javanese Culture), mengajak bangsa Indonesia mencari
inspirasi ke masa silam guna menata kembali pondasi
politik-ketatanegaraan Indonesia yang ambrol di
sana-sini.

Konsep nasionalisme yang mendasari terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) perlu dikaji ulang
karena telah lama terkontaminasi imaji politik orang
Jawa. Soekarno di zaman Orde Lama ingin mengembalikan
keemasan Majapahit. Soeharto menginginkan reinkarnasi
Mataram terutama zaman Sultan Agung dengan konsolidasi
tentaranya.

Orde Baru merupakan pelanjut setia yang kreatif rezim
kolonialisme Belanda. Seperti negara kolonial, Orde
Baru bekerja lebih karena dorongan-dorongan dari
dirinya sendiri ketimbang melayani tuntutan rakyat.
Semua kebijakan Orde Baru di bidang politik, ekonomi,
sosial, dan keamanan digiring bagi penguatan
state-qua-state atau state-for-itself. Negara telah
menjadi dirinya sendiri (a state of its own) terlepas
dari berbagai kepentingan dan kehendak rakyat banyak.

Negara dalam paham kekuasaan Jawa, menurut analisa Ben
Anderson, tidak ditentukan oleh wilayah periferi,
melainkan oleh pusat. Integrasi tidak dimengerti
sebagai kesatuan wilayah politis melainkan
keagungbinataraan Jakarta. 

Paham kekuasaan Jawa sangat gandrung konsep negara
kesatuan. Padahal konsep ini, dielaborasi Prof Soepomo
dari pemikiran Benedicto Spinoza dan Adam Muller,
mengandung benih-benih totalitarianisme. Konsep
unitarianisme itu ketika diterapkan Hitler di Jerman
dan Musollini di Italia terbukti mendorong timbulnya
kejahatan negara atas hak asasi manusia (HAM).

Mohammad Hatta sebenarnya sejak awal sudah
mengingatkan, bila negara Indonesia berbentuk kesatuan
akan menuai persatean nasional bukan persatuan
nasional. Kekhawatiran Hatta akan paham unitarianisme
yang Java-centris terbukti benar. 

Begitu sang patriarch (Soeharto) bangkrut, banyak
masyarakat terang-terangan mempertontonkan sentimen
anti-Jawa. Aceh dan Irian Jaya menyatakan ingin bebas
dari kolonialisme Jawa. Semua ini, meminjam istilah
John Pemberton, dalam On the Subject of "Java" (1994),
merupakan cultural effect Jawanisasi politik
Indonesia.

Pemikiran Ben Anderson, jelas tetap relevan dan
kontekstual untuk mencegah agar Indonesia tidak
dikeping-keping disintegrasi hingga menjadi belasan
republik kecil yang kerjanya bertikai melulu seperti
negara-negara eks Yugoslavia di Semenanjung Balkan.


(J Sumardianta, guru SMU Kolese de Britto Yogyakarta
dan editor Galang Press Yogyakarta 





____________________________________________________________________
Get free email and a permanent address at http://www.netaddress.com/?N=1


____________________________________________________________________
Get free email and a permanent address at http://www.netaddress.com/?N=1

RantauNet http://www.rantaunet.com
================================================Mendaftar atau berhenti menerima 
RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke / To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email / Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
- mendaftar: subscribe rantau-net [email_anda]
- berhenti: unsubscribe rantau-net [email_anda]
Ket: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
================================================WebPage RantauNet dan Mailing List 
RantauNet adalah
servis dari EEBNET http://eebnet.com, Airland Groups, USA
================================================

Kirim email ke