Wah, setuju sekali mas Agung Priyo. Sampeyan ini rasa humornya tinggi, tapi 
'kena'. Dgn menambah, misalnya, kata 'malu', maka menjadi jelas bhw yg dimaksud 
adalah 'nilai-nilai (values). Dengan demikian, masing-masing dari kita akan 
introspeksi,  akah kira2 masuk dalam dalam Daftar mas Agung. Selama ini kalau 
kita bicara ttg budaya, sering dipersepsikan hanya sebagai seni-budaya saja.

Salam,
Luluk
  
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

-----Original Message-----
From: "agung priyo wibowo" <udanda...@gmail.com>

Date: Fri, 19 Dec 2008 12:24:02 
To: <artculture-indonesia@yahoogroups.com>
Subject: Re: [ac-i] Tahun Budaya Malu 2009


Untuk Pak Luluk Sumiarso



Pengajuan usulan tahun 2009 sebagai Tahun Budaya  berdasarkan hasil Kongres
Kebudayaan  2008 cukup menarik. Lebih menarik lagi diusulkan tahun 2009
sebagai:



*Tahun Budaya Malu 2009*



Malu:



   1. melakukan pembongkaran bangunan kuno bersejarah,
   2. tak melestarikan  kesenian tradisi,
   3. berbuat korupsi,
   4. melakukan penebangan pohon secara liar,
   5. melakukan penyelewengan hokum,
   6. mengkerdilkan arti pendidikan,
   7. melakukan penyimpangan politik,
   8. mengerdilkan keberagaman
   9. dan lain-lain.





Sampai kini kata 'budaya' belum menjadi sebuah kata kerja yang tepat di
negeri ini. Kata budaya selalu disikapi dengan gegap gempita seremonial
belaka. Dengan menambahkan kata sifat 'malu' menjadi sebuah kata kerja pada
tiap individu di negeri ini akan mempunyai dampak besar. Adakah keberanian
pemerintah dan kita semua Indonesia mendukung Tahun Budaya Malu 2009?



Salam takzim,

Agung PW








2008/12/18 agung kurniawan <agungleak2...@yahoo.com>

>     saya kiri pernyataan saya tentang kanan dan kiri adalh sebuah contoh
> bagaimana selama ini para intelektual dan "budayawan" telah terjebak dalam
> iklim parokhial yang sangat parah. Ketika membicarakan sebuah kongres
> kebudayaan persoalan terpenting yang menggangu "kepentingan nasional" yaitu
> homogenisasi pola pikir tidak diangkat. Bahkan dianggap semata-mata
> persoalan kesenian.
> Lepas dari apakah persoalan kebudayaan akan bicara tentang banyak hal, akan
> tetapi keheningan para pelaku dan penggiat kongres kebudayaan tentang UU
> pornografi dan hadirnya hukum berdasar salah satu agama tertentu, dan
> jelas-jelas tidak sejalan dengan "kepentingan nasional" (negara indonesia
> berdasarkan atas keberagaman) menyisakan pertanyaan besar.
>
> Mengapa ketika kepentingan akan indonesia yang beragam diusik tidak ada
> satu rekomendasipun mengenai hal itu? Mengapa justru yang muncul rekomendasi
> tentang tahun kebudayaan? Apakah panitia dan peserta tidak bisa memilih mana
> yang urgent dan mana yang tidak?
>
> Kalau itu tak terjawab jangan-jangan kita para budayawan dan intelektual
> kampus tak lebih dari budak-budak kepentingan orang lain (pemilik modal,
> teknokrat pemerintah, politisi busuk dan lain sebagainya).
>
> Tolong pertanyaan yang terus saya persoalankan dijawab; bagaimana respon
> resmi dari kongres kebudayaan tentang homogenisasi indonesia melalui
> cara-cara pemberlakuan hukum yang bertentangan dengan tujuan dan kepentinga
> nasional?
>
> kalau itu tidak terjawab mengapa kita harus mendukung tahun kebudayaan
> 2009?
>
> agung kurniawan
>
> --- On *Wed, 12/17/08, mangoenpoerojo roch basoeki <elrob...@yahoo.com>*wrote:
>
> From: mangoenpoerojo roch basoeki <elrob...@yahoo.com>
> Subject: [ac-i] BUDAYA SALAH KAPRAH
> To: "budaya art" <artculture-indonesia@yahoogroups.com>
> Cc: "artculture-indonesia moderator" <
> artculture-indonesia-ow...@yahoogroups.com>
> Date: Wednesday, December 17, 2008, 12:15 AM
>
>   Sekaligus menanggapi seluruh komentar tentang "perlunya tahun
> kebudayaan" yang dilempar oleh mas Luluk Suniarso.
>
> 1. mari kita akhiri budaya saling menyalahkan dengan menyadari bahwa semua
> kesalahan yang sedang berjalan (berkenaan dengan penyelenggaraan negara)
> adalah SALAH KAPRAH yang membudaya. Siapapun yang memimpin negeri ini akan
> terjebak oleh kesalah-kaprahan itu. Kita ingin perubahan tanpa tahu apa yang
> mau diubah, diubah menjadi seperti apa, dan dimulai dari mana.
>
> 2. menurut saya, dari segi pola pikir, harus dimulai dari pola "penggunaan
> ilmu pengetahuan" (lihat saran mas profesor bambang hidayat). Ilmu
> pengetahuan yang semakin spesialissasi, hendaknya tidak digunakan untuk
> memaksakan perilaku masyarakat agar melakukan sesuatu sesuai tuntutan
> spesialis.  IP hendaknya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
> dalam arti kemampuan dan tuntutan dari masyarakat yang senyata-nyatanya. So,
> dengan IP itu kita harus berupaya dulu untuk tahu sebenar-benarnya kemampuan
> masyarakat kita yang tidak banyak tuntutan itu. Ilmu manakah yang harus kita
> gunakan..... (menurut pengembaraan saya, antropologi adalah ilmu utama untuk
> masyarakat kita).
>
> 3. Dari segi politik (agar tidak terjebak akan issue KIRI VS KANAN, mas
> Agung), kita harus bersepakat tentang TUJUAN NASIONAL. Untuk kita sadari
> bahwa kita sebagai sebuah bangsa yang katanya besar, ternyata tidak punya
> tujuan (makanya sering kita dengar "mau kemana negara ini"). Mari kita baca
> baik-baik apa kata pendiri negara "kenapa kita harus merdeka" di dalam
> Pembukaan UUD.
>
> 4. Akibat dari tidak punya tujuan nasional adlah TIDAK PUNYA "KEPENTINGAN
> NASIONAL". Dalam segala kasus, kita dihadapkan pada tarik-menarik kekuatan
> antar sesama. Contohnya, demokrasi dan HAM apakah benar-benar merupakan
> kepentingan nasional. Pemihakan pada pemilik modal dalam kasus krisi global,
> apakah kepentingan nasional? OK, contoh yang tidak berkonotasi politik yaitu
> soal ROKOK. Asap rokok adalah racun kehidupan manusia perokok maupun
> non-perokok ; tetapi industri rokok juga menghidupi jutaan keluarga manusia
> dan negara (pajak). Bagaimanakah negara ini bersikap terhadap rokok, manakah
> yang disebut KEPENTINGAN NASIONAL?
>
> Begitulah sekedar masukan.
> salam, robama.
>
>
> 
>

Kirim email ke