Djuanda dan Visi Negara Kepulauan

KBR68H
14-08-2008

Tak banyak yang kenal Djuanda Kartawidjaja, meski namanya diabadikan
jadi nama jalan, bendungan, stasiun kereta api serta bandar udara di
Surabaya.

Padahal perannya banyak, dari guru sampai pembangun infrastruktur
kereta api, juga penjaga lautan Indonesia. Reporter KBR68H Irvan
Imamsyah menulis profil Djuanda berikut ini.

Jatiluhur320.2.jpg14 Kali jadi menteri
Djuanda Kartawidjaja punya banyak predikat. Guru, insinyur, pejuang,
tokoh Muhammadiyah, perunding ulung menghadapi Belanda, pembangun
infrastruktur kereta api, perdana menteri, bahkan pejabat presiden.
Saking seringnya menjabat menteri, ia sampai dijuluki 'menteri
marathon'. Dari 1946 sampai 1963, dalam kurun waktu 17 tahun, Djuanda
pernah sekali menjabat menteri muda, 14 kali sebagai menteri dan
sekali perdana menteri. Sejarawan Anhar Gonggong.

Anhar Gonggong: "Sejak awal kemerdekaan dia selalu punya peranan. Dia
orang pertama yang diangkat dari sekjen dewan perancang nasional,
cikal bakal Bappenas. Lalu kemudian memasuki arena politik, menjadi
menteri non partai"

Anhar Gonggong mencatat hal-hal istimewa dalam diri Djuanda: tidak
partisan serta lebih banyak bekerja ketimbang bicara.

Anhar Gonggong: "Itu juga tidak menjadi merk yang menyebabkan dia jadi
politikus yang ini. Mungkin ada kekhasan pribadi beliau yang perlu
diteliti secara political psikologi, beda dia dengan Yamin. Yamin
sering menampakan diri dengan seorang independen. Tapi orang orang
tahu Yamin dekat dengan orang Murba. Tapi Djuanda nggak pernah ada
orang katakan dia dekat dengan ini atau dengan itu. Semua orang
menganggap dia dekat sengan siapa saja"

Waduk Jatiluhur
Salah satu bukti kerja Djuanda adalah membangun sistem kereta api
semasa menjabat menteri muda perhubungan. Djuanda jugalah tokoh di
balik pembangunan Waduk Jatiluhur. Cucu Djuanda, Sahandra Hanitoyo.

Shahandra Hanitoyo: "Juga untuk PU yang terkait dengan Djuanda adalah
waduk Jatiluhur. Itu kan Waduk Insinyur Haji Djuanda. Dua hal yang
lumayan sering. Karena bolak balik ganti jabatan di kabinet. Waktu itu
pernah jadi menteri keuangan, PU dan perhubungan. Tapi ada dua menteri
yang saya perhatikan sering digunakan Bung Karno untuk menaruh dia
pada posisi tersebut"

Lulus Institut Teknologi Bandung, Djuanda mengawali karir di
pemerintahan ketika diangkat sebagai Menteri Muda Perhubungan di
Kabinet Sutan Sjahrir pada 1946. Sejak itu ia menjabat menteri di
sejumlah kabinet, seperti Kabinet Amir Sjarifuddin, Bung Hatta,
Republik Indonesia Serikat, dan Muhammad Natsir. Wartawan tiga masa,
Rosihan Anwar.

Rosihan Anwar: "Ya, karena dia tak punya musuh banyak, dia orang
pintar. Dia punya prinsip tetap mengabdi, bakti kepada bangsa dan
tanah air. Tokoh-tokoh lain sudah jelas, atau dia pro Soekarno atau
dia anti Soekarno. Jadi siapa yang bisa dipilih? Dia. Dia artinya
netral. Dia punya kualifikasi bagus. Dia dijadikan perdana menteri.
Dia harus laksanakan keputusan Soekarno yang tak menyenangkan. Hei
gebuk orang-orang militer yang berontak. Dia yang laksanakan bersama
Nasution. Dalam hatinya juga gak senang, tapi dia tetap lakukan"

Ketika Djuanda menjabat Perdana Menteri pada 8 April 1957, hubungan
Bung Karno dan Bung Hatta renggang. Hatta tak setuju dengan niat Bung
Karno memberlakukan Demokrasi Terpimpin. Dwi Tunggal Soekarno-Hatta
akhirnya pecah setelah Hatta mundur pada 1956. Untuk mendamaikan Dwi
Tunggal, Djuanda menggelar Musyawarah Nasional. Kembali sejarawan
Anhar Gonggong.

Meredam pergolakan
Anhar Gonggong: "Mungkin kemampuan mengolah hubungan pribadi itu yang
lebih memungkinkan dia dekat dengan Soekarno, kemudian dekat dengan
siapa saja, dengan Hatta. Ketika situasi kacau tahun 1950an, ketika
Bung Hatta mengundurkan diri dia berusaha mengadakan musyawarah
nasional untuk mendekatkan Soekarno dengan Hatta. Meski gagal tapi dia
berhasil menciptakan piagam yang di tandatangani Soekarno-Hatta bahwa
kedua pihak harus bekerjasama.Musyawarah ini juga bertujuan meredam
berbagai pergolakan daerah. Misalnya pemberontakan DI/TII di Jawa
Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan; juga pemberontakan Republik Maluku
Selatan, RMS"

Setelah ketegangan pusat daerah reda, Djuanda kembali menancapkan
prestasi dengan mencanangkan deklarasi yang menyatukan wilayah
kepulauan dan laut menjadi satu, yaitu Indonesia. Ini dikenal sebagai
Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda: "Segala perairan di sekeliling dan di antara
pulau-pulau di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
daratan dan berada di bawah kedaulatan Indonesia".

Negara kepulauan
Dengan deklarasi ini, demikian sejarawan Anhar Gonggong, Indonesia
menyatakan diri sebagai negara kepulauan. Deklarasi Djuanda diprotes
antara lain oleh Amerika Serikat dan Australia. Alasannya, kawasan
laut yang semula bebas digunakan berbagai negara, kini diubah menjadi
satu wilayah Indonesia. Tapi protes-protes itu berhasil diredam oleh
Djuanda, sang diplomat ulung.

Anhar Gonggong: "Di situ lagi keunggulan diplomasi dia. Bagaimana dia
bisa menggerahkkan diplomat kita untuk meyakinkan negara lain menerima
itu. Amerika salah satu yang menentang. Sampai sekarang pun Amerika
tak terlalu happy dengan deklarasi Djuanda. Tapi ternyata Djuanda
berhasil. Artinya apa kemampuan dia gunakan sumber daya diplomasi kita
untuk yakinkan hak kita. Hak perairan kita. Itu yang hebatnya diƤ"

Berkat kegigihan Djuanda, konsep negara kepulauan ditetapkan Konvensi
Hukum Laut PBB tahun 1982. Berdasarkan Deklarasi Djuanda, wilayah laut
Indonesia bertambah sekitar 5.8 juta kilometer persegi. PBB juga
mencatat ada 17.500 pulau di negara kepulauan Indonesia, dikelilingi
garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer.

Kehilangan hak
Tapi Deklarasi Djuanda seolah tak bernyawa ketika Indonesia kehilangan
hak atas pulau dan terus bersengketa soal batas wilayah. Kini yang
disorot adalah kemampuan para penerus untuk menjaga dan mengelola apa
yang sudah diklaim Djuanda. Pulau Sipadan dan Ligitan di Kalimantan
Timur lepas dari Indonesia sesuai keputusan Mahkamah Internasional
PBB. Ahli Hukum Laut, Hasyim Djalal.

Hasyim Djalal: "Kita gak pandai. Misalnya ikan. Kurang kita jaga,
kemampuan kita tidak tumbuh sebanyak itu. Jadi kalau kekayaan alam
Indonesia yang diklaim Djuanda diberikan kemudian hasil perjuangan
hukum laut itu. Barang kali di laut saja lebih dari enam puluh kali
lebih luas dari pada yang ada waktu proklamasi, pertanyaannya,
kemampuan kita menjaga dan memeihara tumbuhkan 60 kali. Soalnya laut
indonesia sekitar enam juta kilometer persegi"

Sayangnya kemampuan diplomasi memperjuangkan batas wilayah ini masih
lemah. Apalagi pemerintah juga belum selesai menamai sekitar 6700an
pulau terluar Indonesia. Jika dibiarkan tanpa nama, pulau-pulau
tersebut sangat mungkin dituntut oleh negara lain. Ahli hukum laut dan
bekas perunding kedaulatan wilayah Indonesia di PBB, Hasyim Djalal
mengatakan, Indonesia butuh Djuanda baru untuk mengobarkan lagi
semangat menjaga wilayah perbatasan.

Pemikiran jangka panjang
Hasyim Djalal: "2008 Seratus tahun keindonesiaan kita. Dan lima puluh
tahun kita mencoba mengimplementasikan keindonesiaan itu setelah
kemerdekaan kita diakui PBB. Saya itu ingin lihat visi kita 50 tahun
yang akan datang paling tidak apa. Jadi kalau visi 50 tahun pertama
pemuka-pemuka bangsa kita mencoba menjatidirikan Indonesia menjadi
satu bangsa dan satu negara, 50 tahun kedua dia mencoba menikmati itu
dalam satu negara yang merdeka dengan kewilayahnnya, maka 50 tahun
ketiga apa ke mana? Atau seratus tahun kedua ke mana? Saya tak lihat
ada pemikiran seperti itu, karena sekarang pemikiran terarah lima
tahun yang akan datang"

Daratan dan lautan Indonesia butuh Djuanda baru, supaya kedaulatan
tetap terjaga.

Rompas: "Sekarang apakah pemimpin kita punya kekuatan begitu, punya
visi? Itu yang dipersoalkan. Bukan tidak ada, boleh saya katakan visi
Djuanda belum ada yang bisa turuti. Kita perlu orang yang demikian,
harus berani. Karena geopolitik sekarang tidak lewat udara, tidak
lewat darat, tapi lewat laut dan ini akan mengancam negara kita"

Anhar Gonggong: "Terus terang aja tidak ada. Kapasitas pemimpin kita
taka da yang bisa menyamai tahun 1950-an. Gak ada, terus terang saja.
Kita sekarang kelemahannya karena kita tidak punya pemimpin yang
visioner. Pemimpin kita sekarang kan hanya sekarang yang dia lihat.
Akibatnya apa yang terjadi, anggota DPR korupsi semua, kan?"

Citation: http://www.ranesi.nl/tema/budaya/negara_kepulauan080814

Kirim email ke