Sejak dulu saya tidak percaya bahwa Musik bisa meningkatkan kecerdasan. Justru 
dengan sering membaca Al Qur'an (suami dan istri) ketika hamil itulah yang 
terbaik. Yang paling penting juga bagaimana "bahan"-nya. Lihatlah Ulama-ulama 
terdahulu karena dibuat dari "bahan" bagus. Adakah Nabi-nabi yang diutus oleh 
Allah mempunyai "bahan" yang buruk (baik dari silisilah suami atau istri)?
---------------------------------

Menggugat Manfaat Efek Mozart pada Kecerdasan 
Erie Setiawan 
 
Wolfgang Amadeus Mozart adalah nama yang tidak asing bagi pencinta musik 
klasik. Selama ini, berbagai syair, struktur, melodi lagu, bahkan latar 
belakang kreatornya tak luput dari kajian para ahli. Karya Mozart, yang 
kemudian dalam berbagai kajian dikenal dengan nama Efek Mozart, dianggap mampu 
memberikan nilai positif bagi kinerja otak. Benarkah demikian adanya? 
 
Pada awalnya, Efek Mozart (EM) hanyalah sebuah eksperimen saintifik alamiah 
saja. Dalam buku ini dipaparkan: "Francis Rauscher dan Gordon Shaw pada tahun 
1993 adalah dua orang pertama yang melaporkan bahwa mendengar Sonata in D Mayor 
untuk dua piano karya Mozart selama 10 menit dapat meningkatkan kemampuan siswa 
sekolah menengah dalam memecahkan masalah spasial temporal" (hal 45). 
 
Kedua orang di atas ialah neurobiolog dari UCLA. Namun, selama satu dekade EM 
telah berkembang menjadi mode (atau endemi) yang dipercaya mampu meningkatkan 
kecerdasan bayi dan anak oleh sebagian pendidik musik dan masyarakat di 
berbagai negara, termasuk Indonesia. 
 
Menjadi mode karena "hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur musik Mozart 
sama dengan pola otak manusia" (hal 138). Di samping itu, EM juga dipercaya 
sebagai stimulan yang ampuh untuk mencerdaskan janin dalam kandungan ketika ibu 
yang sedang hamil diperdengarkan musik Mozart. 
 
Don Campbell, dalam buku yang ditulisnya, The Mozart Effect, dianggap sebagai 
orang pertama yang menyebarluaskan pengaruh EM ke seluruh dunia hingga EM 
menjadi tren dan mode yang dipercaya sekaligus dikagumi. Hal itu dilakukan 
tidak sekadar sensasi ilmu pengetahuan, tetapi juga bisnis dan industri 
popularitas seperti laiknya budaya pop. 
 
Namun, kebenaran EM tidak bisa begitu saja dipercayai orang terutama para 
ilmuwan karena pengetahuan selalu berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karena 
itu, para ilmuwan pun meneliti ulang agar kesahihan empiris EM dapat 
dipertanggungjawabkan. 
 
Setelah buku The Mozart Effect beredar, misalnya, salah seorang neurolog dan 
musikolog dari Medical Centre University of Illionis, John Hughes, memberi 
pernyataan keras, "Musik Mozart meningkatkan kinerja otak? Ah, itu cuma di atas 
kertas saja." 
 
Oleh sebab itu, makin banyak pula penelitian yang dilakukan untuk menguak 
kebenaran EM melalui "penelitian komparatif" yang hasilnya kemudian dimuat 
dalam berbagai jurnal ilmiah dan salah satunya seperti buku yang ditulis oleh 
pengarang ini. 
 
Buku ini terbilang kontroversial, diberi judul Matinya Efek Mozart. Apakah buku 
ini membuktikan bahwa Efek Mozart tidak berguna lagi? Dan menegaskan bahwa 
mulai sekarang jangan menggunakan musik Mozart untuk kepentingan kecerdasan 
lagi? 
 
Sebenarnya, buku ketiga Djohan ini, setelah Psikologi Musik (2003) dan Terapi 
Musik (2006), tidak lain adalah ungkapan "kritik" yang cukup keras atas 
menjamurnya EM (terutama) di Indonesia. Pengarang adalah doktor alumnus 
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) berprofesi sebagai tenaga 
edukasi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta berkonsentrasi dalam bidang 
psikologi musik. Ia secara kritis mencoba menguak kebenaran berbagai pendapat 
atau teori yang mengklaim bahwa EM dapat dipercaya. 
 
Bukan segalanya 
 
Pengarang, di satu sisi, juga ingin membuktikan bahwa musik Mozart bukanlah 
segala-galanya. Bahkan, orang dianggap terlalu naif apabila hanya memercayai EM 
semata tanpa berusaha mengerti bahwa kecerdasan adalah proses pembelajaran 
secara kontinu ketika berevolusi dalam kehidupan, yang tidak (mudah) diraih 
hanya dengan mendengarkan Sonata Mozart. Padahal, EM sudah telanjur dipercaya 
sebagian masyarakat yang tahu (belum tentu paham) tentang EM. 
 
Bagaimana pengarang membaca ketelanjuran semacam ini? Beredarnya kaset-kaset 
yang berisi rekaman musik Mozart dengan "iming-iming" meningkatkan kecerdasan 
janin dan anak adalah salah satu faktor yang membuat ibu hamil dan kalangan 
keluarga muda percaya. Siapa yang tidak ingin anaknya pintar dan cerdas dengan 
cara yang mudah tanpa perlu menggenjot untuk kerja keras dan belajar? Semua 
tentu menginginkan. 
 
Yang lebih menarik, dalam sampul kaset yang kini masih banyak beredar di 
toko-toko kaset itu juga disertai "pernyataan-anjuran" dengan kalimat 
meyakinkan dari ahli kesehatan masyarakat dan psikolog serta desain cover yang 
menarik. Oleh sebab itu, EM pun dipercaya dan bahkan dipuja-puja bagai "dewa 
kecerdasan" sesaat. 
 
Salah satu kritik dari para ilmuwan adalah mungkin saja musik Mozart dapat 
memberi dorongan yang kuat kepada orang tertentu. Tetapi, amat tergantung pada 
jender, cita rasa musikal, latihan, kemampuan spasial, dan latar belakang 
budaya (hal 61). 
 
Tentunya, hal yang pantas dipertanyakan dan dikuak kembali oleh para ilmuwan, 
termasuk pengarang; mengapa hanya musik Mozart? Apakah tidak bisa musik yang 
lain? Bagaimana (seandainya) jika janin dalam perut ibu hamil diperdengarkan 
musik karya Ismail Marzuki, Ki Tjokrowarsito, Nartosabdho, Amir Pasaribu atau 
musik lain "karya" orang Indonesia asli? 
 
Yang jelas-jelas, empu-empu di atas tahu betul seperti apa Indonesia dengan 
pernak-pernik kebudayaannya, daripada percaya begitu saja pada musik impor yang 
belum tentu dapat diapresiasi dengan baik dan benar. 
 
Apakah karya musik komponis Indonesia juga bisa membantu peningkatan kecerdasan 
anak? Elemen apa yang sesungguhnya terkandung dalam musik Mozart, sehingga 
(seolah-olah) hanya Mozart yang disebut sebagai komponis yang turut 
"mencerdaskan bangsa", sementara kehidupan Mozart dikenal kacau balau dan 
pemabuk (kontradiktif?). Ada apa sesungguhnya di balik musik itu sendiri? Harus 
punya "modal" apa ketika orang mendengar musik? 
 
Ubah persepsi 
 
Memang berbagai penelitian telah membuktikan EM. Namun, buku Matinya Efek 
Mozart ini lebih dari sekadar itu. Pengarang punya kehendak yang lain, yaitu 
berusaha mengajak dan mengubah persepsi orang yang telanjur percaya kepada EM, 
dan bukan mengajak orang Indonesia untuk makin percaya dengan EM. 
 
Informasi, sanggahan, jawaban yang berupa kritik keras atas rentetan pertanyaan 
dan keraguan di atas dapat dengan mudah ditemukan dalam buku ini. Pengarang 
juga menggunakan berbagai referensi yang aktual dari aspek: musikologi, 
psikologi, sains, dan neurobiologi. Sehingga ide cemerlangnya yang tertuang 
dalam buku ini (sangat) dibutuhkan dan layak diapresiasi. 
 
Satu paragraf yang merupakan pernyataan keras dari pengarang untuk menyanggah 
EM di buku ini berbunyi demikian, "Sekali lagi, karya besar musik Mozart sama 
sekali tidak berkaitan dengan hal menjadi cerdas, atau mendatangkan kekuatan. 
Musiknya adalah berbicara tentang bagaimana menjadi manusia dan hidup. Seperti 
salah satu lirik dalam musiknya, in domine Domini. Itu seharusnya yang menjadi 
EM sesungguhnya. 
 
Impresi seni dalam musik Mozart sangat bagus, gemuruh yang menakutkan dari Don 
Giovanni, gempita kebahagiaan The Magic Flute, keruwetan harmoni simfoninya, 
dan akhirnya yang transenden Ave Verum Corpus, La Clamenza di Tito, dan 
Requiem—semua makna musikal ini seolah hilang oleh penulis buku The Mozart 
Effect bernama: Don Campbell" (hal 128). 
 
Apa pun yang dikehendaki penulis dalam buku yang berisi 5 bab berikut lampiran 
artikel adalah kerja kerasnya menjelajahi debut ilmiah di dunia psikologi 
musik—sebuah bidang yang belum terlalu populer di Indonesia. Menurut saya, 
Djohan pantas disebut pelopor dan ilmuwan psikologi musik di Indonesia. 
 
Buku ini dikemas ringkas, sederhana, dan mengena, meski di beberapa halaman ada 
istilah dan pernyataan yang sulit dipahami. Namun, agaknya pengarang cukup 
berhasil membuat "sentilan", bahkan pancingan kontroversi di Indonesia, yang di 
kemudian hari (barangkali) mampu memutarbalikkan persepsi kepercayaan EM yang 
telah lama berjangkit, sehingga orang yang percaya terhadap EM (telanjur 
terkecoh) bisa berpikir sebaliknya. 
 
Tentunya, tanpa harus beranggapan buruk terhadap kebesaran nama Mozart dan 
musiknya yang sudah abadi dan masih bisa mengajarkan kita untuk menjadi manusia 
dan hidup; yang musiknya belum habis diapresiasi untuk kepentingan yang lebih 
logis. 
 
Harapannya: menginformasikan kepada masyarakat agar paham bahwa kecerdasan 
manusia adalah sebuah proses panjang yang tidak bisa datang begitu saja seperti 
berharap bintang jatuh dari langit. 
 
Erie Setiawan, Musikolog Bermukim di Surakarta

 
---------------------------------
It's here! Your new message!
Get new email alerts with the free Yahoo! Toolbar.

Kirim email ke